“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Angan-angan tentang negara Islam di Indonesia (pemikiran ibnu taimiyah)


Oleh : Koento Wijanarko (Mahasiswa HI UMM)

Cerita pendek ini bermula dari percakapan seorang anak kepada bapaknya, alkisah keluarga ini adalah keluarga yang menganut agama Islam dan bisa dibilang sangat taat dengan islam, disisi lain mereka adalah warga indonesia yang nasionalis mereka juga ingin Indonesia menjadi negara yang maju dalam fenomena sosial dan kemajuan politik.
Anak: yah, akhir-akhir ini saya menilai Indonesia sangat bobrok dalam masalah moral dan yang saya tau, seluruh warga Indonesia kan memiliki agama? Tapi kenapa banyak dari mereka masih tidak menghiraukan ajaran-ajaran yang di anjurkan oleh agama mereka? Seperti banyaknya kasus pembunuhan yang ada di Indonesia. Apa mereka tidak berfikir bahwa membunuh itu dosa?
Ayah: sebenarnya banyak penyebab mereka melakukan dosa itu nak, salah satunya karena ajaran masing-masing agama hanya bersifat hukuman di alam nanti, dengan kata lain mereka tidak dihukum langsung di dunia secara cepat seperti jika kita melakukan pelanggaran di negara kita? Kita akan langsung dihukum dan mungkin di masukkan ke penjara.
Anak: jadi, sebagai warga negara yang taat hukum dan sebagai umat beragama, apa yang harus kita lakukan ayah agar kita dapat memperbaiki atau setidaknya mengingatkan warga lainnya untuk memperbaiki moral mereka?
Lantas ayah mengambil sebuah buku yang berjudul “Pemikiran Ibnu Taimiyah” lalu  membacakan beberapa point penting tentang pemikiran Ibnu Taimiyah.
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme (salah satu gagasan Ibnu Taimiyah). Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim.

Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, ibnu Taimiyah melanjutkannya ke lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat ditelusuri oleh berbagai faktor. Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan masyarakat yang hiterogen. Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam adat istiadat, tradisi, prilaku dan alam pikiran.
Panjang lebar ayah menjelaskan tentang pentingnya pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kosmopolitanisme dimana negara harus menjunjung tinggi tentang keadilan, sebenarnya pemikiran ini sedikit banyak berasal dari al-qur’an nak tegas ayah kepada anaknya.
Anak: ayah? Apakah pemikiran seperti ini dapat di terapkan di Indonesia yang notabennya multi-religi ? apa dampak dari pemikiran ini terhadap negara kita? Apakah negara kita akan mengalami disintegrasi juga seperti negara-negara arab yang diceritakan di kisah Ibnu Taimiyah ?
Ayah: sebenarnya jika kita telaah lebih jauh, Indonesia ini adalah negara dengan nasionalisme yang tinggi karena walaupun banyak agama,budaya dan kepercayaan Indonesia memiliki satu tujuan yang sama dan tujuan itu jelas belum mereka raih selama ini yaitu mendapatkan pemimpin yang adil yang dapat memimpin rakyatnya secara merata dan tidak menganak emas kan suatu golongan. Menurut ayah itu yang setidaknya dapat menyatukan kita yang berbeda.
Sembari menjelaskan tentang pemikiran Ibnu Taimiyah, ayah membuka halaman berikutnya,dan kembali bercerita tentang Pemikiran Ibnu Taimiyah yang lainnya.
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, merupakan sesuatu yang dapat menjadi picuan kita akan tujuan nasionalisme. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.
Ibnu Taimiyah dalam penjelasannya juga menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut  kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita.
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Ayah: bagaimana nak? Apakah kamu mengerti akan penjelasan Ibnu Taimiyah ini ?
Anak: mengerti tapi saya agak bingung di masalah tentang apakah pemimpin itu harus selalu memaksa agar rakyatnya mau mematuhi peraturan yang ada? Bukankah itu akan mengekang kebebasan dari masyarakatnya itu sendiri ?
Ayah: maksud dari hakikat Ibnu Taimiyah adalah bagaimana kekuasaan yang memaksa adalah agar semua masyarakat tidak menggunakan egoisme mereka dalam menentukan dan menggunakan hak mereka dengan semaunya mereka. Pemimpin yang baik menurut Ibnu taimiyah adalah pemeintah memiliki aturan yang dapat di patuhi oleh masyarakat agar mereka memiliki satu pemikiran, yaitu pemikiran tentang negara yang baik. Dan untuk menentukan aturan, masyarakat dan pemimpin harus merumuskan sesuatu dengan mufakat agar adil.
Anak: oh, bagus sekali pemikiran itu jika dapat di aplikasikan di Indonesia, ayah? Apakah ada cerita yang lain tentang Ibnu taimiyah, ayah ?
Ayah lantas membuka halaman berikutnya dan bergegas untuk menceritakan kisah selanjutnya dengan semangat.
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas publik (waliyat)” seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil. Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan.
Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Dasar pandangan ini dikatakan berasal dari Rasulullah Muhammad (?) yang bersabda bahwa 70 tahun kehidupan sosial di bawah kekuasaan refresif masih lebih baik dari hidup sosial tanpa ada kepemimpinan atau (lebih baik) dari anarkhi.
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrem yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah.
Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.
Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelasan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.
Ayah: sebenarnya menurut ayah mengenai pemikiran Ibnu taimiyah ini sebenarnya baik, karena tanpa mengesampingkan pentingnya agama di dalam dunia politik namun membatasi perannya agar dapat tetap berjalan bersama-sama dengan perpolitikan.
Anak: apakah hanya Ibnu taimiyah yang berpikiran seperti ini yah? Melihat dari pemikiran beliau tentang kosmopolitanisme saya menjadi semakin tertarik mempelajari bagaimana berjalannya suatu negara berdasarkan pemikiran suatu pemikir yang handal seperti Ibnu Taimiyah.













Angan-angan tentang negara Islam di Indonesia
(pemikiran ibnu taimiyah)


MUHAMMAD FAUZAN
201010360311085

JURUSAN  HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar