“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Israel dan Amerika Srikat


Di Amerika Yahudi menanamkan Pengaruhnya begitu dalam. Seluruh kegiatan politik baik itu yang berkaitan dengan dalam mauoun luar negeri sepenuhnya dalam pantauan AIPAC

YAHUDI MASA OBAMA
Keyakinan bahwa pemikiran Obama tidak akan jauh berbeza dengan Bush dalam urusan Negara Palestin, beberapa minggu setelah kemenangan Obama dalam pemilihan, sedikit demi sedikit terlihat bahawa Obama memilih tokoh-tokoh Yahudi AS sebagai kumpulannya. Beberapa diantaranya adalah David Exelrod sebagai kepala strategi dan Dennis Ross sebagai badan penasihat isu-isu Timur Tengah.

Yang cukup mengejutkan, Obama menunjuk Rahm Emanuel, seorang mantan tentera Israel pada masa Perang Teluk sebagai badan staff Gedung Putih. Emanuel dikenali sebagai seorang Yahudi dikenali "Rahmbo" oleh lawan-lawan politiknya. Emanuel pula yang menemani Obama saat memberikan pidato pro Israelnya di hadapan AIPAC sekaligus mengatur pertemuan antara Obama dan jajaran eksekutif AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) kelompok Yahudi yang sering mempengaruhipemikiran  luar negera AS, terutama yang berkaitan dengan kawasan Timur Tengah.

Ada beberapa tokoh Israel yang berpendapat Obama harus mampu melawan tekanan-tekanan Yahudi seperti AIPAC, jika ia ingin lebih adil pada Palestin. Akiva Eldar, penulis editorial dan ketua penulis politik di surat khabar Israel Haaretz mengatakan, Obama seharusnya tidak perlu takut menghadapi kelompok Yahudi sayap kanan.


"Obama memiliki semua yang untuk terbebas dari tekanan Yahudi di AS," kata Eldar. Apatah lagi saat ini di AS, tegasnya, muncul generasi baru politik yang memprovokasi penglibatan AS dalam proses perdamaian di Timur Tengah, dipelopori oleh J. Street dan sikap mereka berbeza dengan AIPAC.
Pendapat serupa dilontarkan wartawan senior Haaretz lainnya, Gideon Levy. Levy yang pernah menjadi juru bicara Shimon Peres dalam tulisannya berharap Obama tidak seperti presiden sebelumya selama ini menunjukkan sokongan kepada Israel.

Ketika Obama mengatakan "sahabat Israel" tambah Levy, seharusnya ia mampu mengakhiri blockcade di Gaza dan boikot terhadap Hamas, mampu mendorong perdamaian antara Suriah dan Israel, bisa mendorong kesepakatan damai antara Israel dan Palestin.[1]

Rujukan : 

Michael Massing di The New York Review of Book edisi 8 Juni 2006 menulis, kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert Asher, Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg. Celakanya, empat pengusaha kaya-raya yang dikenal sebagai “Gang of Four” ini, menurut editor di Columbia Journalism Review itu, tak peduli terhadap mayoritas Yahudi di AS yang cinta damai.[2]
Freeman
Meski sangat populer di AS dan dunia internasional, termasuk Indonesia, Presiden Barrack Obama pekan lalu ternyata berhasil dipukul Knock Out (KO) oleh loby Yahudi-American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC) yang terkenal sangat digdaya dan mampu mendiktekan kepentingan Israel di US Congress. Kekalahan telak Obama terjadi ketika dia mengajukan mantan Duta Besar AS untuk Arab Saudi, Charles Freeman untuk menjabat sebagai Direktur National Intelligence Community- Ketua Dewan Intelijen Nasional (NIC) yang sangat strategis dan penting.
Ini adalah ujian yang pertama kalinya bagi kepemimpinan Obama. Orang nomor satu di Paman Sam ini harus berhadapan dengan tekanan Yahudi di Gedung Putuh. Freeman sangat fasih berbahasa Arab karena selain pernah menjabat sebagai duta besar, ia akrab dengan pejabat di Arab Saudi. Koneksinya dengan para pemimpin Arab juga dikenal sangat luas, sehingga dikuatirkan lebih pro-Arab.
Sejumlah media massa seperti New York Times menilai Freeman merupakan contoh pejabat karier diplomat yang disebut sebagai ‘Arabist’ karena suka mengkritik Israel. Padahal, seperti diungkap Prof Stephen J Walt, penulis buku “The Israel Lobby”, kritik yang diungkap Freeman biasa saja, bahkan kalau di Israel Freeman bisa menjadi kolumnis koran Haaretz, koran kritis yang oplahnya paling besar di sana. Memang, Freeman sebagaimana mayoritas rakyat AS, sangat kritis dengan kebrutalan Israel di Palestina. Bahkan menurut Freeman, kekejaman Israel ini akan menghancurkan negeri Yahudi itu sendiri dan tidak memungkinkan terjadinya perdamaian di Timur Tengah. Dengan demikian, apa yang dilakukan Israel itu sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Henry Waxman, anggota Kongres dari Partai Demokrat asal Negara bagian California mengatakan bahwa Freeman memang akan menempati posisi yang sensitif.
Tetapi bahwa Freeman sampai bisa dinominasikan dalam posisi strategis menunjukkan ada tekad kuat pemerintahan Obama untuk melakukan perubahan, khususnya dalam politik di Timur Tengah. Obama memilih Freeman bukannya tanpa pertimbangan yang matang. Selain berpengalaman di Timur Tengah, suatu kawasan yang dianggap sensitif dan banyak persoalan untuk AS, Freeman juga punya koneksi luas di Cina dan kawasan timur jauh lainnya. Pengalaman dan pengetahuan Freeman yang sangat luas di Timur Tengah dan Cina itulah yang dipandang merupakan aset penting. Sebagai Direktur Dewan Intelijen Nasional, dia akan mampu memverivikasi dengan baik laporan intel AS di dunia Arab.
Sudah menjadi rahasia umum, invasi AS terhadap Iraq didasarkan pada laporan intelijen ngawur dan bahkan ada yang dipalsukan. Kabarnya, agen-agen Israel ikut memalsukan, khususnya mengenai cerita bahwa Saddam Husein membeli “Yellow Cake” alias uranium dari Nigeria yang ternyata merupakan laporan palsu. Kasus ini di Washington DC terkenal dengan skandal Valerie Palme. Belakangan diketahui, ada unsur-unsur intelijen Israel yang ikut memalsukannya dengan tujuan agar AS menyerang Iraq.
Invasi AS yang sudah menelan korban jiwa yang sangat besar ini merupakan blunder politik dan kebobrokan CIA yang luar biasa. Namun demikian, masih banyak pihak-pihak di AS yang mencoba menyembunyikan dari publik. Sebuah buku berjudul “Curveball” yang terbit beberapa waktu lalu menyebutkan bagaimana seorang defector Iraq yang kemudian terbukti berbohong, ternyata menjadi sumber utama laporan CIA bahwa Iraq mempunyai program senjata nuklir. Meski IAEA atau badan pengawas tenaga atom nasional sudah menegaskan tidak ada bukti Saddam membuat bom nuklir, CIA tetap ngotot dengan laporan palsunya.
Laporan CIA yang berdasar sumber palsu itu langsung menjadi santapan kaum konservatif yang berkuasa di zaman George Bush. Laporan itu menjadi dasar pembenaran serangan AS ke Iraq. Akibatnya, ribuan tentara AS tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka. Di pihak Iraq, ratusan ribu tewas atau hilang dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi ke luar negeri. Sampai sekarang AS terpaksa menempatkan ratusan ribu tentara lainnya untuk menjaga keamanan Iraq.
Menurut pemenang nobel ekonomi Joseph Stiglitz, biaya perang di Iraq ini sangat membebani bangsa AS. Sampai hari ini, ditaksir sudah habis sekitar 3 triliun dollar. Jumlah ini akan semakin membengkak manakala pemerintah Obama tidak bisa menemukan jalan keluarnya atau yang disebut exit strategy. Akibat pengeluaran militer yang sangat besar, maka ketika Bush mulai berkuasa pada tahun 2002, AS mempunyai surplus APBN sekitar 46 miliar dollar tetapi kini sudah defisit ratusan miliar dollar.
Jelas, pemerintah Obama menyadari tidak akan mungkin mampu terus melanjutkan pendudukan di Iraq dan juga di Afghanistan. Oleh karenanya, Gedung Putih berketetapan untuk segera menyelesaikan persoalan Iraq dan Afghanistan dengan baik. Untuk itu, mereka memerlukan tokoh seperti Freeman yang dianggap mampu menganalisa situasi di Timur Tengah dengan baik. Freeman jelas akan bisa mengecek laporan intel yang ABS dan yang tidak. Selain koneksinya yang luas dengan pejabat di dunia Arab, dengan mudah dia juga bisa membaca Al-Ahram, Akhbar al-Yaum atau Al-Hayat yang merupakan media terkemuka di Timur Tengah. Jelas dia merupakan pilihan yang tepat dan terbaik meski sangat tidak disukai AIPAC yang merupakan lembaga loby ternama Israel di AS.
Stephen J Rosen salah satu tokoh AIPAC kabarnya sangat gusar dengan penunjukan Freeman ini. Dengan dukungan tokoh-tokoh konservatif di Senat, dia akhirnya sukses menghadang Freeman yang terpaksa mundur dari pencalonan.[3]



[1] http://alamdunia066.blogspot.com/2010/04/siapakah-barack-obama-boneka-israel.html
[2] http://ujungpenayoga.blogspot.com/2011/07/antara-obama-israel-dan-konflik-timur.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar