“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Kepentingan Amerika Serikat Dalam Konflik Serbia-Kosovo



Kelompok I
Ricky Saputro (08260014), Dwita Amrilia (09260011), Adamry Muis (09260027), Ridwan Iskandar (09260066), Galih Wisnu Aji (09260079), Ajen Feriandi (201110360311028), Taufiqurrahman (201110360311002)

1.0. Latar Belakang
Kosovo merupakan negara yang merdeka pada tanggal 17 Februari 2008,[1] dimana sebelum merdeka, Kosovo merupakan provinsi dengan otonomi khusus di wilayah Serbia. Kosovo sempat bersitegang dengan Serbia yang sampai ini masih menganggap Kosovo sebagai provinsi di dalam negara Serbia. Konflik Serbia-Kosovo muncul pada tahun 1981 ketika Kosovo masih tergabung dalam Republik Serbia, yaitu salah satu republik yang berada di wilayah negara Socialist Federal Republic of Yugoslavia.[2]
Konflik Serbia-Kosovo bermula ketika meninggalnya Presiden Josip Broz Tito pada tahun 1980.[3] Kosovo melakukan protes karena masalah pencabutan otonomi khusus Serbia atas Kosovo di masa pemerintahan Slobodan Milosevic pada tahun 1989. Meninggalnya Tito telah menciptakan situasi vakum politik di Yugoslavia dan menunjukan bahwa stabilitas negara Yugoslavia bergantung sepenuhnya pada kemampuan pemimpin kharismatik dalam harmonisasi hubungan antar etnik. Kekerasan etnik yang terjadi di Kosovo awal tahun 1981, merupakan fenomena awal konflik antar etnik sepeninggal Tito yang paling krusial bagi stabilitas Yugoslavia.

Latar belakang konflik Serbia-Kosovo adalah konflik berbeda etnis yang mendiami Republik Serbia. Etnis Serbia yang dominan di dalam Republik Serbia beragama Kristen Ortodoks, sementara etnis Albania yang mendiami sebagian besar wilayah di daerah otonomi Kosovo beragama Islam.[4] Konflik ini semakin besar ketika pada tahun 1989 terjadi demonstrasi besar-besaran yang menunjukkan rasa kecewa etnis Albania terhadap pemerintahan Serbia. Kosovo merasa otonomi propinsinya banyak di kurangi semenjak Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic. Kerusuhan memuncak kala pemerintah Serbia mengesahkan amandemen undang-undang yang menyatakan bahwa otonomi Kosovo berada dalam pengawasan pemerintah Serbia. Padahal sebelum diubah, Serbia tidak punyai wewenang terhadap propinsi otonominya.[5] Otonomi khusus Kosovo sendiri telah dibuat sejak tahun 1974 ketika Tito masih menjabat sebagai kepala negara Yugoslavia.
Pada tahun 1999, pihak luar, yaitu Amerika Serikat dengan kendaraannya yang bernama NATO datang untuk membuktikan ultimatum yang pernah mereka berikan terhadap Milosevic, yaitu untuk membebaskan Kosovo dari serangan etnik Serbia, namun ultimatum yang diberikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya tidak dihiraukan, dan hal ini menimbulkan kemarahan Amerika Serikat yang dengan segera melakukan invasi terhadap Serbia. Dalam invasi ini Amerika Serikat mengatasnamakan intervensi kemanusiaan untuk menghentikan konflik di Kosovo untuk menyelamatkan etnis Albania dari serangan etnis Serbia yang menginginkan membentuk Serbia Raya yang terhalang oleh etnis Albania yang merupakan etnis mayoritas di Kosovo. Untuk mewujudkan Serbia Raya etnis Serbia ingin menyingkirkan etnis Albania dari Kosovo. Etnis Albania tidak hanya berdiam diri, namun melakukan aksi untuk menghentikan etnis Serbia dengan menginginkan otonomi daerah penuh untuk mengatur daerahnya.



2.0 Landasan Konsep
2.1 Konsep National Interest
National Interest adalah kepentingan suatu negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti kebebasan, kemerdekaan, ataupun keamanan. Interests seringkali dihubungankan dengan pertahanan negara, kemakmuran ekonomi, dan kekuasaan politik.[6] National interests tidak jauh dengan hal kemiliteran, jadi sangat penting bagi suatu negara untuk dapat menguasai militer demi mendapatkan kepentingan nasionalnya ataupun mempertahankan negaranya dari serangan negara lain.
Menurut Carl von Clausewitz, semua sikap negara di dunia internasional ini termotivasi dalam kebutuhannya untuk survive dan mensejahterakan negaranya. Untuk menjaga interests-nya tersebut, negara secara rasional harus memutuskan untuk pergi ke medan perang. Tak ada alasan lagi untuk tidak pergi ke medan perang demi kepentingannya tersebut.[7]
Donald Neuchterlin juga turut menjelaskan bahwa terdapat 4 macam national interest berdasarkan relative intensity.[8] Rumusannya adalah sebagai berikut :
Basic Interest at Stake merupakan kepentingan suatu negara, yaitu : mempertahankan negara, kemakmuran ekonomi, kekuasaan, serta mempromosikan hal-hal yang dimiliki. Keempat kepentingan nasional tersebut kemudian dianalisis dengan Intensity of Interest, yaitu ‘Survival’ (keamanan negara agar dapat bertahan dari ancaman negara lain), ‘Vital’ interest (bahaya serius akan terjadi kecuali mereka menggunakan kekuatannya, seperti tentara), ‘Major’ interest (hampir sama dengan vital interest, namun tidak menggunakan kekuatan militer dalam mempertahankan negaranya), dan ‘Peripheral’ interest (berdampak terhadap semua kepentingan negara, tetapi tidak mengancam negara secara keseluruhan).[9]
Dalam hal ini, Amerika Serikat membawa national interest-nya, terutama vital interest, dimana negara Paman Sam mempertimbangkan untuk melakukan invasi militer ke Serbia untuk membantu Kosovo. Jika tidak melakukan hal ini, Amerika Serikat akan mendapati Kosovo hancur dibawah serangan terus menerus dari pihak Serbia. Selain kepentingan untuk membantu Kosovo, Washington juga memiliki kepentingan sendiri disana, yaitu untuk mendapatkan simpati negara yang pernah masuk dalam ideologi komunisme ketika Uni Soviet masih ada. Dengan bantuan yang diberikan kepada Kosovo, kemungkinan besar Kosovo akan memihak ke Washington, sehingga mereka mendapatkan sahabat baru yang dahulu pernah menganggap mereka sebagai musuh utama.
3.0 Pembahasan
Setelah Yugoslavia terpecah pada tahun 1991 dan menjadi negara-negara baru di semenanjung Balkan,[10] Serbia menjadi negara sendiri pada tahun 2006 (setelah sempat menyandang nama Federal Republic of Yugoslavia hingga 2003 dan Serbia & Montenegro hingga tahun 2006) dan Kosovo masih menjadi provinsi di Serbia barat daya. Namun keinginan Kosovo untuk membentuk negara sendiri sangat kuat, karena mereka merasa berbeda bangsa dengan orang-orang mayoritas Serbia yang memeluk Kristen Ortodoks, sementara etnik minoritas Kosovar Albanian di Kosovo beragama Islam. Mereka menginginkan kemerdekaan karena mereka tidak ingin akan terjadi rasisme oleh etnis Serbia kepada mereka lagi.
Dalam invasi Amerika Serikat ke Kosovo pada tahun 1999, Washington membawa kepentingan nasionalnya untuk menekan hegemoni komunisme yang pernah berjaya di Yugoslavia pada masa Perang Dingin. Serbia sendiri merupakan pecahan dari Yugoslavia dan kemungkinan besar masih ada yang menganut ideologi Yugoslavia yaitu ideologi komunis. Seperti Perang Dingin yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan ideologi antara liberalisme dan sosialisme dimana Amerika Serikat menolak adanya komunisme dan menginginkan dunia mengikuti paham liberal yang mereka perkenalkan. Untuk mencapai tujuannya, kehadiran komunisme di Serbia menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan menjadi hambatan bagi Amerika Serikat dalam memperkenalkan sistem ekonomi kapitalisme yang mereka bawa.
Kehadiran Amerika Serikat ini tentu akan menempatkan tentara militer dan mendapatkan simpati dari pihak Kosovo yang tentu menjadi kesempatan bagi Amerika untuk membendung komunisme. Kehadiran Amerika Serikat ini sebenarnya tidak mendapatkan persetujuan dari pihak PBB, namun karena mengedepankan kepentingan nasionalnya hal itu diabaikan oleh Amerika Serikat demi mendapatkan kepentingan nasionalnya.
Tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mendapatkan simpati di Kosovo ini mengupayakan perdamaian yang dibawa oleh duta perdamaian Amerika Serikat Richard Holbrooke yang membujuk Presiden Yugoslavia untuk mendamaikan etnis Albania dengan memberikan otonomi khusus bagi Kosovo dan penempatan pasukan penjaga perdamaian namun Milosevic tidak menyetujuinya.[11] Sebelumnya NATO juga sudah memberikan ultimatum kepada Milosevic untuk segera menyelesaikan konflik di Kosovo namun Milosevic tetap tidak menyetujuinya. Dengan tidak adanya persetujuan Milosevic dan Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara seharusnya tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi karena ada kepentingan realis dibalik serangan ke Serbia yang mengatasnamakan intervensi kemanusiaan, apapun dilakukan oleh Amerika Serikat meskipun tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan PBB yang lain.
Kepentingan Amerika Serikat dalam membantu Kosovo untuk mendapatkan kemerdekaan adalah melakukan perlawanan terhadap sisa-sisa komunisme di negara-negara bekas Yugoslavia. Mereka ingin agar Kosovo yang dahulu berada dalam rezim komunis Republik Sosialis Yugoslavia dapat dijadikan teman agar tidak ada lagi komunisme di Kosovo atau negara-negara sekitarnya. Letak Kosovo memang sangat strategis, yaitu di tengah-tengah semenanjung Balkan yang membuat tempat ini sangat tepat untuk dijadikan home base Amerika Serikat dalam menguasai negara-negara yang dahulu pernah menganut komunisme.
3.1 Alasan Diberlakukannya Intervensi Kemanusiaan di Kosovo
            Masalah Intervensi kemanusiaan hingga kini masih terjadi perdebatan di kalangan dunia internasional, karena sampai saat ini tidak ada aturan yang sifatnya mengikat dan berlaku universal mengenai intervensi kemanusiaan. Intervensi yang dilakukan oleh NATO dan AS yang meskipun awalnya adalah hanya sebagai bantuan untuk Kosovo, namun pada kenyataannya intervensi yang dilakukan juga sarat akan kepentingan nasional AS dan anggota NATO. Adapun kepentingan itu meliputi :
3.1.2 Kepentingan Politik[12]
            Tujuan keterlibatan AS dalam kasus Kosovo didasari oleh upaya untuk menghentikan secara penuh peran Rusia sebagai penguasa di kawasan Eropa Timur serta sebagai super power  terhadap kepentingan-kepentingan global. Selain itu, isu pemberian bantuan ekonomi kepada negara yang mengalami konflik seperti Kosovo ini guna memperbaiki situasi dalam negeri juga menjadi alat penekan bagi AS untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Umtuk mendapatkan kucuran dana , maka wilayah yang menjadi tempat konflik harus melakukan kerja sama dengan pengadilan international kejahatan perang, dimana mereka harus menyerahkan penjahat perang agar dapat diadili. Upaya ini dimaksudkan untuk memperluas pengaruh AS dan memaksa negara penerima bantuan untuk menuruti keinginan AS.
3.1.2 Kepentingan Militer[13]
            Kepentingan negara-negara Nato dan AS juga meliputi kepentingan militer. Adapun tujuan ini untuk menghentikan laju produk-produk industri militer negara Balkan yang mengancam produk negara-negara Barat. Selain itu konflik Kosovojuga menjadi ajang pembuangan senjata-senjata dan amunisi serta peralatan militer pihak Barat yang seharusnya dihancurkan dengan biaya yang sangat mahal namun sebaliknya mendapat keuntungan besar, karena tidak harus menghancurkan tapi bisa dilempar guna mempersenjatai kelompok-kelompok pemberontak di Kosovo. Selain itu Kosovo juga menjadi ajang transaksi bisnis senjata produk-produk negara Barat serta menjadi ajang uji coba bagi penemuan-penemuan senjata-senjata dan perlengkapan militer barat baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.1.3 Kepentingan Ekonomi[14]
            Kawasan Balkan juga memiliki arti penting bagi jerman, terutama untuk pelemparan hasil-hasil produksi industri Jerman, untuk mendapatkan sumber bahan baku serta kemungkinan pelemparan sampah-sampah nuklir serta jalur menuju negara-negara sumber minyak di laut tengah. Dengan menciptakan wilayah Balkan yang aman setidaknya dapat mempermudah upaya jerman untuk mencapai tujuannya tersebut.

4.0 Kesimpulan
            Keberadaan Intervensi kemanusiaan dalam upaya penyelesaian konflik masih menjadi sesuatu yang mungkin tidak lepas dari kepentingan actor pelaku intervensi. Keterlibatan AS dan NATO dalam menyelesaikan konflik Kosovo lebih banyak mempergunakan jalan kekerasan, karena menurut mereka cara-cara damai hanya akan menghabiskan waktu dan memberi kesempatan bagi Serbia untuk melakukan tawar menawar seperti yang dikatakan oleh Realis yaitu negara yang mempunyai power adalah negara yang mapan dalam semua hal dan bisa mempengaruhi negara lain. Konsep Realis ini lah yang bisa digunakan untuk memandang kasus Kosovo ini dengan turut campurnya negara-negara yang mempunyai power dan menggunakan kekuasaaannya untuk mengintervensi negara-negara yang sedang konflik khusunya Kosovo ini yang sebenarnya semua yang dilakukan AS dan NATO yang mengatas namakan intervensi kemanusiaan, semua itu tentu ada maksud dan tujuan lain.
            Disamping itu NATO dan AS juga merasa berhak untuk melakukan intervensi dalam konflik Kosovo, karena di kosovo dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dimana terdapat usaha pemusnahan etnis Albania atas etnis Serbia yang secara tidak langsung dikomandoi oleh Slobodan Milosevic. Amerika Serikat juga mempunyai kepentingan tersendiri dalam intervensi tersebut, yaitu ingin menghapuskan sistem komunis yang mana sebelumnya dianut oleh Kosovo dan AS ingin mendapatkan simpati dan berusaha membendung hegemoni Rusia yang cukup berpengaruh juga di kawasan Eropa Timur.
Intervensi Amerika Serikat yang mengatasnamakan kemanusiaan, hanya sebagai alasan belaka. Tidak mungkin sebuah negara melakukan tindakan karena moral (realisme). Pastinya ada motif ingin mencapai kepentingan nasional. Kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap Kosovo yaitu menguasai minyak melalui pembangunan pipa minyak ke Timur Tengah melalui semenanjung Balkan. Dimana Kosovo menjadi batu loncatan untuk mewujudkan kepentingan tersebut karena letak geografisnya yang strategis.


[2] Hingga 1991, Yugoslavia merupakan satu negara yang terbagi menjadi 6 republik, yaitu Slovenia, Kroasia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Montenegro, dan Macedonia. Serbia masih terbagi lagi menjadi 2 wilayah otonomi, Kosovo dan Vojvodina.
[3] Tito and Yugoslavia dalam http://cidc.library.cornell.edu/dof/yugoslavia/yugo.htm diakses pada tanggal 5 November 2012
[4] Florian Bieber dan Zidas Daskalovski. 2005. Understanding the War in Kosovo. Frank Cass Publishers. London hal 183
[6] John W. Mountcastle dalam Michael G. Roskin. 1994. National Interest: From Abstraction To Strategy
[7] Carl von Clausewitz dalam Michael G. Roskin. 1994. National Interest: From Abstraction To Strategy. hal. 2
[8] Donald Neuchterlin dalam Stephen D. Sklenka. 2007 Strategy, National Interests, And Means To An End. hal. 4
[9] Ibid
[10] Serbia, Montenegro, Slovenia, Kroasia, Bosnia & Herzegovina, dan Macedonia
[11] Frontline Interviews with Richard Holbrooke http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/kosovo/interviews/holbrooke.html diakses pada tanggal 5 November 2012
[12] Indro Dwi Haryono, Intervensi Kemanusiaan Dalam Konflik Kosovo, PDF
[13] Ibid hal. 8-9
[14] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar