“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Pandangan Universal Terhadap Islam dan Demokrasi


Oleh : Koento Wijanarko (Mahasisawa HI UMM)

Abstrakasi
Penulis disini akan mencoba menganalisa dua pandangan dari dunia Internasional kontemporer terhadap kesesuaiannya antara Islam sebagai agama dengan Demokrasi sebagai system perpolitikkan. Dua pandangan dari dunia Internasional ini tidak bisa serta merta disatukan begitu saja, karena dua pandangan ini memiliki pendapat dan bukti yang sama-sama kuat untuk mempertahankan pendapatkan sehingga dunia Internasionalpun mengelempokkan dua pendapat ini menjadi Sekulerisme yang digagas oleh Samuel P. Huntington dan Modernisme diusung oleh Sayed Khatab dan Gary D. Bauma. Sekulerisme artinya  menganggap bahwa agama dengan politik tidak dapat disatukan, inkompetible islam dan demokrasi sehingga agama disini sama sekali tidak mempunyai peran yang penting di struktur kepemerintahan maupun dalam pengambilan keputusan di Negara yang bersangkutan, sedangkan Modernisme melihat nilai-nilai agama tetap harus ada dan mengikuti perkembangan zaman melihat islam kompetible dengan demokrasi, dan di era globalisasi saat ini kita melihat Demokrasilah yang berhasil memenangi pertarungan ideology.
Kata kunci :Kompetible, Islam, demokrasi, kelompok sekulerisme dan modernisme.
PENDAHULUAN
          Yang menimbulkan permasalahan disini adalah terdapatnya dua pendapat besar yang sama-sama kuat antara demokrasi kompetible apa tidak dengan Islam dan inkompetible Islam dengan demokrasi dimana dua pendapat ini memiliki argument yang sama-sama kuat. Berdasarkan dua pendapat ini pertama saya akan menulis tentang kompetiblenya Islam dengan demokrasi atau pendapat dari kelompok Modernisme yang percaya bahwa Islam dengan demokrasi itu sesuai karena melihat dari nilai-nilai yang ada pada agama Islam.
Hubungan antara agama dan politik dalam masyarakat Muslim telah menjadi fokus
perdebatan di kalangan ulama Islam. Beberapa pandangan Islam hanya sebagai agama tanpa
hak untuk memerintah. Bagaimanapun, pandangan Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem dan tatanan sosial meliputi semua  bidang kehidupan manusia, termasuk negara dan hukum.
Didalam  Al-Qur'an ditunjukkan konotasi politik dari banyak istilah seperti mulk (dominasi), umat (bangsa) dan persyaratan lain dengan konotasi politik. Misalnya, kata Arab sultan, yang berulang kali disebutkan dalam Al Qur'an, adalah arti otoritas kata benda abstrak dan aturan, dan digunakan dari awal zaman Islam untuk menunjukkan government. Demikian pula, istilah hukm (untuk memerintah dan hakim) dan turunan yang seperti  gubernur, penguasa dan hakim, muncul dalam Al-Qur'an lebih dari 250 kali dan masing-masing memiliki konotasi politik.[1] Debat publik Muslim dunia atas konstitusi, hukum, hak-hak sipil, dan identitas nasional dan budaya, seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan dan hak asasi manusia menempati hati dan pikiran Islam. Ini menunjukkan penekanan Islam pada kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Bagian pada prinsip-prinsip politik yang singkat terebut menguraikan gagasan demokrasi di beberapa prinsip-prinsip Islam politik dan model negara Madinah, yang terus dianggap sebagai sumber bimbingan di bidang pemerintahan.[2]

Islam merupakan sumber motivasi bagi pemerintahan demokrasi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, keadilan dan kebebasan. Hal ini yang menghubungkan bagaimana islam mengajarkan tentang tatanan kehidupan bernegara dalam kondisi yang baik, contohnya masyarakat  mayoritas muslim yang berada dalam negara demokrasi seperti Turki dan Indonesia. Di dalam negara yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim dan menerapkan pemerintahan yang demokrasi, pasti ada timbulnya gesek-gesekan kecil memicu konflik, akan tetapi tidak akan menjadi besar, karena satu sama lain akan saling menghormati seperti yang diajarkan oleh islam yang sama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi.
Ajaran islam tentang cara bermasyarakat, hubungan antara individu, individu dengan kelompok sesuai dengan nilai-nilai demokrasi secara luas sehingga demokrasi sangat pantas untuk negara yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim jika negara tersebut tidak dapat menerapkan hukum islam seperti sebagian besar negara-negara di timur tengah.
                Pendapat yang kedua turun dari pemikiran barat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama dan tidak bisa disatukan dengan politik yang saat ini menganut demokrasi. Karena system politik demokrasi itu berasal dari ideology liberal yang menjelaskan bahwa kebebasan individu yang paling diutamakan dan saat ini hampir sebagian Negara di dunia menganut system demokrasi ini. Nilai-nilai Islam dianggap tidak sesuai dengan demokrasi karena Islam disini dilihat sebagai agama dan hanya terbatas sebagai keyakinan bagi penganutnya.
            Didalam tulisan ini saya melihat dari pemikiran Samuel P. Huntington yang berpendapat dalam thesisnya The Class of Civilization sebagai berikut islam tidak memiliki visi dan aksi terhadap demokratisasi karena adanya benturan peradapan antara islam dan barat. Dan  Pandangan bahwa Islam antidemokrasi ini telah menjadi stereotipe banyak Ilmuwan dan politisasi Barat. Dan hal ini seringkali menyeret kesimpulan bahwasanya Islam adalah musuh baru bagi peradapan Barat, ini upaya penolakan Huntington terhadap pluralisme budaya dalam satu kesatuan negara. Ia sangat takut terhadap keberagaman dan jelas-jelas menolak konsep keberagaman bahasa, agama, dan lain-lain dalam masyarakat Amerika.[3] Sehingga dari pendapatnya ini terlihat bahwa ketidaksetujuan Huntington akan kesamaannya Islam dengan demokrasi.
PEMBAHASAN
Negara adalah komunitas politik yang terorganisir di mana kewarganegaraan diwujudkan dan di mana otoritas negara dipandang sebagai kapasitas yang sah untuk memerintah. negara didefinisikan baik jika mengacu pada ideologi, struktur, tujuan dan organisasi birokrasi yang baik untuk kesejahteraan masyarakat. Fungsi negara berjalan dengan baik ketika kinerja lembaga pemerintah berjalan bersamaan dengan keinginan masyarakat banyak dan mampu mengontrol interaksi masyarakat agar tidak terjadinya konflik. Ketika sebuah negara mampu melakukan hal tersebut maka akan menumbuhkan kesejahteraan masyarakat, hal ini berkaitan erat dengan nilai-nilai dasar demokrasi dan sesuai dengan hukum islam.
Berbicara tentang demokrasi dan partisipasi demokratis dalam Islam tidak berarti bahwa demokrasi adalah sebuah istilah Al-Qur’an dijelaskan dalam Al-Qur'an atau sunnah. Yang dimaksud disini fungsi nilai-nilai demokrasi sesuai dengan ajaran Islam yang didasarkan pada Al-Qur'an dan sunnah. Demokrasi di sini adalah sebuah konsep yang lebih luas dengan nilai-nilai terhadap diri, terhadap yang oang lain, dan kombinasi dari sosial dan politik merupakan syarat yang diperlukan untuk tetap menjaga hubungan antara manusia dan menciptakan perdamaian dunia, hubungan internasional antara negara-negara menjadi lebih baik, dan pengembangan kesejahteraan individu dalam masyarakat dapat lebih meningkat.
Pondasi berdirinya negara islam pada abab ke 7 sama dengan demokrasi saat ini dalam aspek yang luas yaitu negara memberikan kesejahteraan dan terbuka untuk sejumlah umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan etnis, dengan umat islam mereka menikmati kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia adalah nilai-nilai demokrasi. Beberapa hal dasar dalam hukum Islam, kaitannya dengan hukum dan urusan publik yang tertindas, seperti penyalahgunakan kekuasaan dan dimaafkan oleh mereka yang menjalankan rezim otoriter dalam negara Islam.
Aturan dan hukum Islam umumnya ada dua kategori: yang pertama terdiri dari perintah untuk tujuan religius dan spiritual, Ini termasuk aturan iman dan ibadah. Kategori kedua terdiri dari aturan dan hukum administrasi dan mengorganisir masyarakat serta hubungan antara individu dan masyarakat. Ini termasuk aturan perilaku manusia, hukum pidana, hukum Status sipil, hukum konstitusi, hukum internasional, dan sejenisnya. Islam juga tegas menghubungkan dua kategori yaitu politik, ekonomi, sosial, intelektual dengan moral dari ide-ide individu muncul dalam satu kerangka, sehingga semua ide-ide yang muncul sangatlah seimbang dan harmonis. Dalam Kategori yang kedua, nilai-nilai demokrasi sangat melekat, aturan islam secara luas sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip teori keuangan Islam, negara terikat untuk memberikan upah yang layak atau bantuan kepada setiap warga negara yang bekerja tanpa diskriminasi ras, kasta agama, atau keyakinan, dan tidak adanya tindakan mengeksploitasi atau dieksploitasi kelas terhadap orang miskin maupun yang kaya. Penerima manfaat utama dari negara adalah warga negara sehingga menyebabkan pembentukan yang lebih rasional terhadap sistem pemerintahan bukan seperti sistem kapitalisme kontemporer atau komunisme. Hal tersebut adalah yang diajarkan islam dalam menjalankan kehidupan di dalam suatu negara, hubungan antara pemerintah dan rakyatnya, sama seperti nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi.
Istilah yang digunakan oleh para ahli hukum islam untuk menulis tentang hukum internasional adalah siyar jamak dari sirah yang berarti cara orang berprilaku terhadap diri dan terhadap orang lain, hukum internasional mengatur interaksi antara negara satu dengan negara lain[4]. Muhammad ibn al-Hasan (750-804) pendiri sekolah fikih Hanafi adalah seorang mahasiswa yang terkenal karena sarjana pertamanya menulis sebuah buku yang ber judul al-Siyar al-Saghir (Pengantar Hukum Negara). Buku tersebut diabadikan sebagai landasan para sarjana hukum dan kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa inggris. Pada tahun 2006 Jhons Hopkins menerbitkan buku yang berjudul The Islamic Law of Nation. Jauh sebelum ilmu tentang dunia internasional berkembang, pemikir islam seperti Muhammad ibn al-Hasan telah membuat sebuah buku yang menjelaskan tentang hukum internasional yang di dasari oleh hukum-hukum islam.
Perintah-perintah dalam hukum islam ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya, tidak adanya paksaan dalam perintah tersebut. Kebebasan dalam hukum islam tidak ada paksaan, akan tetapi tidak lengkap sebuah kebebasan tanpa adanya tanggung jawab. Sama halnya dengan nilai-nilai demokrasi, setiap individu diberikan kebabasan dalam hal apapun akan tetapi tidak melanggar kebebasan orang lain dan jikalau kebebasan individu telah melanggar kebebasan individu lain, maka pertanggung jawaban harus di berikan.
Semangat Islam memberikan efek yang mendalam pada realitas sejarah Islam. pengertian tentang keyakinan dan konsepsi Islam telah berubah menjadi kepribadian dalam peristiwa sejarah. Ini menjadi contoh kepada manusia yang hidup pada masa sekarang, peristiwa yang  benar-benar terjadi, perilaku dan aktivitas disaksikan oleh mata, didengar oleh telinga sehingga terbentuk kepribadian yang kuat, rasa kemanusiaan, menghormati persaudaraan dan harmoni antara orang yang berbeda etnis, bahasa dan agama. Nilai-nilai demokrasi sesuai dengan ajaran islam, dimana setiap individu diajarkan untuk saling menghormati dalam hal perbedaan etnis, bahasa dan agama agar terciptanya sebuah harmonisasi antara individu satu dengan individu yang lain. Negara demokrasi yang mampu menerapkan hal tersebut, bukan hanya sentuhan demokrasi yang terlihat, tetapi nilai dari ajaran islam akan nampak menghiasi berjalannya hubungan antara pemerintah dan masyarakat.


Mengutip Perkataan Abu Bakar ketika pada saat Ia diangkat menjadi pemimpin di Madinah, Ia berkata:
“Saya yang memimpin anda sekarang, walaupun saya bukan yang terbaik dari anda. Saya akan membantu anda dengan apa yang menurut saya benar menurut ajaran islam, jujur dapat dipercaya dan kebohongan adalah ketidak jujuran. Yang lemah diantara kamu adalah kuat bagi saya, sampai saya memenuhi hak-haknya, dan kuat diantara kamu adalah lemah bagi saya, sampai saya menegakkan keadilan kepadanya. Jika korupsi menyebar diantara manusia, Allah SWT akan menyebar bencana diantara mereka. Patuhi saya selama saya taat kepada Allah SWT, jika saya sudah tidak taat, anda tidak perlu menaati saya.”[5]

            Abu Bakar adalah pemimpin yang memegang teguh ajaran islam dan menggunakan hukum islam dalam menjalankan pemerintahannya, hal tersebut mengandung nilai-nilai demokrasi secara luas, seperti memberikan hak-hak terhadap rakyatnya, menegakkan keadilan dan tindakan korupsi diyakini dapat merusak perjalannan suatu pemerintahan didalam negara.










DAFTAR PUSTAKA

Sayed Khatab and Gary D. Bauma, 2007, Democracyin Islam, Madison Ave, New York,
Jean Jaques Rousseau, Du Contract Sosial, dalam  HM. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen, diakses dari: law.uii.ac.id/images/stories/.../3%20HM.%20Thalhah.pdf
  
 Luthfei Kamil, 1998, Islam dan Nilai Islam, diakses dari: www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/islamddemo_9.html



















[1] Untuk contoh, lihat Al-Quran, 7:71; 10:68; 11:96; 12:40; 14:10; untuk etymological specifics dari kata ‘sultan’, ,lihat Ibn Manzur, Jamal al-Din (1232–1311) (1994), Lisan al-Arab, Beirut: Dar Sadr, 15 vols, vol. 7, pp. 321–322; untuk Muslim memakai kata ‘sultan’, lihat Schacht, J. and Bosworth, C.E. (1974), The Legacy of Islam, Oxford University Press, 2nd edn, pp. 169–171.
[2] Sayed Khatab and Gary D. Bauma, 2007, Democracyin Islam: The political Theory, Madison Ave, New York, pages 16
[3]  Luthfei Kamil, 1998, Islam dan Nilai Islam, diakses dari: www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/islamddemo_9.html (09/01/13, 22:34 WIB)
[4] Abd al-Raziq, ‘Ali, ‘Al-Islam wa Usul al-Hukm’, al-Siasah al-Yawmiyyah, no. 882, pp. 35–36; Imarah, Al-Islam wa Usul Al-Hukum, p. 74.
[5] Dawood, N.J. (1999), The Koran [translation], UK: Penguin Books, p. 319

Tidak ada komentar:

Posting Komentar