“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Pemikiran Politik Islam Strategis Ibnu Taimiyah

Oleh: Wahidatun Hasanah ( 09260139)

Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada zaman klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada ketentuan-ketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada tahun 661 H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu  perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia akan tercipta dalam satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan peran dari ketergantunganya pada orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kemaslahatan umat dan melaksanakan syari’at Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan pemimpin. Orang yang pantas menjabat sebagai pemimpin  adalah yang memiliki kekuatan (quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).
 Syarat kekuatan dan wibawa memegang peranan yang sangat penting dalam konsepsi politik, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Selain itu kepala negara mempunyai tanggung jawab dan tugas yang tinggi dimana mereka harus menegakkan segala hal yang dikehendaki Allah dalam menegakkan institusi-institiusi amr ma’ruf nahi munkar,sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa dilihat dengan ketakwaannya kepada Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan hal-hal nepotisme,yang mementingkan kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis.
Ibn Taimiyah juga berpendapat tanpa adanya kejujuran dan kekuatan maka seorang kepala negara tidak akan efektif menjalankan pemerintahannya. Karenanya, kepala negara juga harus mengangkat pembantu-pembantunya dari orang–orang yang mengerti dan menguasai bidangnya, bukan berdasarkan pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]
Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara, namun hal itu tidaklah mutlak, dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak bisa diperoleh, maka harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan. Tetapi kaumnya harus terus berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat menjalankan ajaran agamanya.
Ibn Taimiyah juga memberikan konsepsi al-syawkah  dalam teori politiknya, sedangkan ahl al-masyawkah  yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat yang memilih kepaal negara dan melakukan sumpah setia, jadi seorang tidak bisa menjadi kepla negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]
Ibnu taimiyyah menekankan fungsi negara dalam membantu agama, dia menolak dan tidak membenarkan khalifah-khalifah bani abbas yang menurutnya hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Karena itu Taimyyah lebih sering menggunakan kata “imarah” dalam konteks kenegaraan.
Ada dua argumentasi yang diberikan taimiyah, yang pertama yaitu bahwa agama islam menghendaki sebuah tatanan social  yang terorganisir sehingga agama dapat berfungsi sebagi semestinya dan kembali pada konteks awalnya.Yang kedua yaitu kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan kecuali didalam suatau tata social dimana setiap orang bergantung pada yang lainnya.
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Ketika kita berbicara tentang abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa tokoh penting yang sangat berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang dilahirkan di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah seorang aktivis dengan gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi umat islam disaat zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Dimana pada saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam.
Jamaluddin menyadarkan umat islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut Jamaluddin dunia islam dalam penyakit absolutisme dan despotisme penguasa, serta kolonialisme dan imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu berhadapan dengan bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi dan perombakan pemerintahan.dia juga mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah yang memuat kebangkitan umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul Wathan) dan mengembangkan  al-Mishr li al-Mishriyyin. Beliau adalah musuh penguasa islam yang dzalim, otoriter dan korup.
Pemikiran Politik
Ketika melihat kenyataan bahwa dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang absolut, diamna mereka menjalankan kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi maka jamaluddin melakukan usaha yang menekankan pada revolusi yang didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha memprovokasi umat islam, untuk merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun dengan cara pemberontakan dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat. Dia menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak jauh berbeda dengan tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa lepas dari cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk pemerintahan yang sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang aktif  yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat.
Untuk melawan kekuatan asing dan membangkitkan semangat kesatuan umat islam maka Jamaluddin membentuk sebuah gerakan Pan Islamisme yang berarti bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu pemerintahan tunggal. Karena umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan. Dia juga tidak mau melakukan kerja sama dengan penjajah.



[1] Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 41
[2] Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar