“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Reformasi Mesir


Reformasi politik yang sedang terjadi di Mesir saat ini dilatarbelakangi oleh revolusi yang terjadi pada 25 Januari lalu. Revolusi yang menurut banyak pendapat karena dipengaruhi oleh revolusi di Tunisia, salah satu negara di Timur tengah yang juga baru saja berhasil menggulingkan rezim dictator Ben Ali yang sudah berkuasa selama 23 tahun. Masyarakat Mesir merasa perlu untuk menggulingkan Hosni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun.
Ide keberhasilan reformasi politik di Tunisia, ternyata menjalar sampai ke Mesir, Yaman dan Yordania. Januari lalu ribuan rakyat Tunisia turun ke jalan menuntut turunnya menguasa politik negara itu. Tuntutan ini berhasil dengan tumbangnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Dari ketiga negara terpengaruh itu, gejolak masyarakat yang paling kuat terjadi di Mesir. Ribuan rakyat turun ke jalan menuntut turunnya Presiden Mesir Hosni Mubarak yang telah berkuasa hampir 30 tahun.


                Sampai saat ini, diberitakan sekurang-kurangnya telah 100 orang meninggal dunia dalam unjuk rasa. Belum ada dilaporkan korban meninggal di dua negara yang lain. Dalam tinjauan sosiologi politik, peristiwa yang terjadi di wilayah Arab itu cukup mencengangkan dunia. Fenomena tersebut memperlihatkan bangkitnya kesadaran rakyat terhadap keadaan politik di dalam negeri. Sebelumnya, gejolak sosial yang memperlihatkan protes rakyat kepada penguasa secara langsung, jarang ditemui di dunia Arab. Rakyatlah yang menjadi aktor utama dalam pergantian pemerintahan di Tunisia. Rakyat pula yang menjadi aktor utama dalam unjuk rasa di Mesir, Yaman, dan Yordania. Gejolak politik rakyat harus menjadi titik tolak perhatian dari pemerintahan, terutama di negara-negara berkembang. Saat ini percepatan pengaruh politik sangat ditentukan oleh instrumen teknologi komunikasi. Pesan yang mengalir melalui teknologi ini bersifat multidimensi karena bisa ditafsirkan secara jamak. Pada tingkat masyarakat, sifat multidimensi itulah yang akan bergerak membuat pengaruh. Di Tunisia, orang bisa berduyun-duyun datang ke ibu kota dari jarak ratusan kilometer dalam waktu singkat, untuk ikut menyuarakan ketidakpuasan. Pesan ini disampaikan melalui pesan singkat (SMS) telepon seluler dan berbagai perangkat teknologi komunikasi. Jika kemudian fenomena itu sampai berpengaruh ke Mesir, tidak lain disebabkan oleh efek dari teknologi komunikasi tersebut. Akibat dari itu, pemerintah Mesir cepat-cepat memblokir situs internet dan jaringan telepon seluler.
Tetapi harus dilihat, pengaruh paling besar dari revolusi terletak pada keberhasilannya. Revolusi yang terjadi di Tunisia berhasil menggulingkan pemerintahan yang berkuasa sebelumnya. Keberhasilan revolusi inilah yang memberi inspirasi kepada rakyat Mesir untuk bergerak. Jika revolusi di Tunisia tidak mampu menjatuhkan pemerintahan, belum tentu hal itu mampu memberikan inspirasi bagi rakyat Mesir untuk bertindak. Memang ada persamaan kondisi politik antara Mesir dan Tunisia, berupa kekuasaan berlangsung lama (30 tahun di Mesir dan 23 tahun di Tunisia) dan cenderung absolut. Akan tetapi faktor utama yang menggerakkan turunnya masyarakat Mesir ke jalanan adalah keberhasilan revolusi di Tunisia.
Di era kedahsyatan teknologi komunikasi ini, negara berkembang mempunyai risiko yang amat besar dari guncangan politik sebagai akibat dari inspirasi revolusi tersebut. Kesenjangan yang lebar di negara berkembang, tidak saja berupa kepemilikan faktor produksi antara rakyat kecil dengan elite, tetapi juga diikuti kesenjangan pemahaman akan pengetahuan politik. Kesenjangan ekonomi akan membuat kecemburuan sosial. Sedangkan kesenjangan pengetahuan politik ini mempunyai sifat mendua. Di tingkat elite (ekonomi dan politik), kesenjangan pengetahuan politik akan dipakai penguasa untuk menguasai rakyat selama-lamanya. Pemerintahan yang berlanagsung sampai puluhan tahun merupakan salah satu bentuk dari penguasaan politik atas rakyat dan merupakan bentuk dari pemanfaatan keunggulan pengetahuan politis ini. Pada tingkat rakyat, kesenjangan politik itu bisa muncul dalam bentuk gerakan politik.
Unjuk rasa jalanan pada hakikatnya adalah bentuk kesenjangan metodis dari penyampaian protes politik. Sebab, apabila dilakukan secara formal, bentuk protes politik kepada penguasa bisa dilakukan melalui mekanisme formal seperti parlemen dan partai politik. Unjuk rasa sering mendatangkan kerugian sosial yang sangat tinggi. Korban tewas, bangunan rusak, sarana jalan hancur adalah bentuk dari kerugian tersebut.
Negara berkembang mengandung potensi yang besar untuk hal-hal seperti ini. Mungkin aktor negara-negara besar lain juga memengaruhi tumbangnya kekuasaan politik dari satu rezim. Tetapi pengaruh paling besar adalah rakyat di dalam negeri itu sendiri.Ketidaksabaran
Satu hal yang mesti diperhatikan dalam fenomena politik sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi, terletak pada proses ketidaksabaran politik. Ketidaksabaran ini bisa mengakibatkan gerakan politik. Kemajuan komunikasi membuat berbagai macam informasi dari luar perbatasan negara, secara mudah masuk langsung ke masyarakat. Kemajuan ekonomi, politik dan budaya yang ada di luar negeri akan memicu ketidakpuasan kepada pemerintah tanpa melihat faktor-faktor yang lain. Rakyat yang belum mempunyai pemahaman politik yang mencukupi, akan secara mudah digerakkan untuk melakukan protes, termasuk pula protes jalanan.
Apakah fenomena demikian akan berpengaruh ke Indonesia? Indonesia jelas merupakan negara berkembang dan telah terpengaruhi reformasi politik tahun 1998. Keberhasilan reformasi politik ini juga telah menginspirasi negara tetangga Malaysia yang saat itu sedang menahan Anwar Ibrahim. Kondisi sosial politik yang ada di Indonesia sebelum reformasi tahun 1998, mempunyai kesamaan dengan di Tunisia. Kekuasaan Presiden Soeharto berlangsung lebih dari 30 tahun. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, di mana Perdana Menteri Mahathir Muhamad yang menjadi sasaran protes waktu itu, telah berkuasa lebih dari 20 tahun.
Akan tetapi kondisi sosial politik di Indonesia sekarang tidaklah sama. Pemerintahan yang berkuasa sekarang tidak memegang kekuasaan dalam rentang waktu puluhan tahun. Namun yang harus diperhatikan bahwa gejolak politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir itu harus menjadi pelajaran besar bagi negara-negara berkembang. Fenomena politik internasional telah memperlihatkan bahwa saat ini sudah tidak zamannya lagi model pemerintahan dengan durasi waktu yang sangat lama. Rakyat lebih menyukai pembaruan politik, lebih menyukai pemerintahan yang mampu memberikan adaptasi terhadap perkembangan model internasional, sebab pemerintahan yang terlalu lama memegang kekuasaan, cenderung lambat dan tidak beradaptasi.
Harus juga dipikirkan bahwa upaya-upaya melanggengkan kekuasaan, baik dalam bentuk merekayasa peraturan (misalnya amandemen konstitusi) agar bisa melipatgandakaan kekuasaan atau memelihara kekuasaan melalui dinasti politik keluarga, tanda-tandanya telah mulai tidak disukai masyarakat. Maka, yang paling menjadi pelajaran bagi Indonesia dari kasus ini adalah upaya mempersiapkan diri untuk berdemokrasi secara adil dan jujur. Hanya pemimpin yang jujur dan adil akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar