“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Sistem Pemilihaan Umum


 Oleh : wahidatun hasanah dan Eni Nurul ( Mahasiswa HI UMM)

2.1 Sistem Pemilihan Umum
            Penyaluran aspirasi rakyat sangatlah penting terutama berkaitan dengan pemilihan lembaga lembaga perwakilan untuk mereka. Karena lembaga lembaga perwakilan rakyat ini lah yang nantinya akan menjadi sarana interkasi dan sarana komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat. Untuk menunjuk wakil wakil tersebut, pastinya perlu adanya suatu pemilihan umum. Pemilihan umum adalah cara memilih wakil wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (DPR,DPD,DPRD I/II) serta presiden dan wakil presiden di sebuah negara demokrasi yang diselenggarakan secara berkala dan terus menerus.[1]. Salah satu pembahasan yang paling erat dan berkaitan dengan pemilihan badan badan perwakilan rakyat tersebut yaitu, tata cara atau prosedur dalam pelaksanaanya atau bisa juga disebut dengan sistem pemilihan umum. hal ini disebabkan karena salah satu fungsi sistem pemilihan umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintah.[2]

2.2 Macam macam sistem Pemilihan Umum
            Pada umumnya Sistem Pemilihan umum terdiri dari 2 macam yaitu sistem distrik dan sistem proporsional.
1.      Sistem Distrik (single member Constituency)
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan umum tertua yang pada dasarkan di bentuk atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi di parlemen.[3] Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil memilih satu wakil mereka, wakil dipilih berdasarkan suara maksimal(suara terbanyak)

Kelebihan dan Kekurangan sistem Distrik.
Kelebihan :
§  Mampu mendorong integrasi parpol, karena hanya 1 kursi yang diperebutkan, pada setiap distrik.
§  Pembentukan partai baru sangat minim, misalnya di Inggris dan amerika sistem ini lah yang mampu memperkuat keberadaan dwi-partai.
§  Pada sistem distrik, ukuran daerah pemilihan kecil, berupa distrik. Ukuran daerah pemilihan yang kecil, memungkinkan wakil lebih dikenal oleh rakyat.
§   Dalam sistem ini, partai besar akan di untungkan karena adanya distorsi suara dimana  di suara partai kecil bisa hilang, sehingga hal ini mnyebabkan suara mayoritas berada di tangan partai besar, yang pada akhirnya partai besar itulah yang mampu mengendalikan parlemen.
§  Tidak perlu adanya koalisi, karena partai besar mutlak memperoleh suara mayoritas, sehingga kendali parlemen mudah di dapat.
§  sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.[4]
Kekurangan :
§  perhatian kepada partai partai kecil sangat kurang.

§  Pada sistem distrik, ukuran daerah pemilihan kecil, berupa distrik, sehingga
jumlah daerah pemilihan menjadi banyak.[5]
§  Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, dari pada kepentingan nasional.[6]
§  Kurang efektif untuk masyarakat yang plural
§  Kurang representatif, karena partai kecil yang kalah suaranya di anggap hilang, sehingga ada suara yang terbuang sia sia.
§  Hanya ada satu wakil yang terpilih dari setiap distrik.



2.      Sistem Proporsional (multi-member Constituency)
Dalam sistem proposional, pemilihan mencakup wilayah yang lebih luas/ besar (misalnya di Indonesia tingkat propinsi), dan memilih beberapa wakil untuk wilayah tersebut. dalam sistem proposional, satu wilayah di anggap sebagai satu kesatuan , dan dalam wilayah itu jumlah kursi di bagi sesuai jumlah suara yang diperoleh para kontestan secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.[7] ilustrasi sederhana, misalkan dalam suatu wilayah dipakai sistem proposional, maka wilayah tersebut dikatakan sebagai wilayah satu kesatuan (di Indonesia propinsi), yang berhak atas 10 kursi, dan prosentase kursi yang diperoleh di parlemen, sesuai dengan prosentase perolehan suara nasional, jadi tidak ada suara yang terbuang sia sia seperti pada sistem distrik.
Kelebihan dan kekuranga sistem Proporsional
Kelebihan :
§  Lebih representative karena jumlah prosentase kursi yang diperoleh di parlemen sesuai dengan jumlah prosentase pemilihan yang di dapat secara nasional.
§  Lebih demokratis, karena tidak ada kesenjangan / distorsi antara perolehan kursi dan perolehan suara. hal ini memungkinkan tidak adanya suara yang terbuang sia sia, sehingga partai partai kecil atau golongan kecil tetap mempunyai peluang untuk ikut andil dalam parlemen.
§  sistem proporsional, ukuran daerah pemilihan besar (di Indonesia propinsi), sehingga jumlah daerah pemilihan menjadi lebih sedikit.[8]
§  Bagi partai kecil sistem ini sangat menguntungkan, karena semua suara pasti dihitung, dengan kata lain tidak ada suara yang di buang sia sia.

Kekurangan :
§  Sistem ini kurang mendorong  partai partai untuk  berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan perbedaan. Sistem ini umunya dia nggap berkaibat menambah jumlah partai.[9]
§  Peluang terbentuknya partai baru sangat besar. Misalnya ketika terjadi konflik dalam badan suatu partai, maka kemungkinan adanya pemisahan diri dan membentuk partai baru.
§  Karena banyaknya partai yang bersaing, perolehan mayoritas suara mutlak menjadi sulit, sehingga pada akhirnya diperlukan koalisi antar partai yang bisa mengangganggu stabilitas politik.
§  Relasi antara wakil dan rakyatnya renggang, pertama hal ini dikarenakan luasnya wilayah pemilihan, sehingga wakil kurang atau bahkan sukar dikenal oleh rakyatnya. Keberadan partai pada posisi yang lebih dominan, karna peranya di anggap lebih besar untuk meraih kemenangan dalam suatu pemilihan, membuat wakil cenderung mengutamakan kepentingan partai / golongannya dari pada rakyat nya.
§  Kedudukan pimpinan pertai kuat, karena pimpinan partai yang menetukan calon wakil.

2.3  Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Perjalanan Pemilu di Indonesia tahun 1955, 1999, 2004, 2009
1.      Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan ”reaksi” atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Landasan hukum Pemilu 1955 adalah UU No.7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR).
Pada saat pemilu tahun 1955 ini diikuti 28  partai politik. Dan dalam pemilu ini ada lima partai besar yang memperoleh suara terbanyak yaitu, Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
2.      Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
3.      Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
Pada pemilu 2004 ini diikuti oleh 24 partai politik, hal ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1999.
4.      Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto. Pada pemilu ini diikuti 38 partai politik, jumlah ini meningkat dari pemilu 2004.

Masalah Golput

Menjelang pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu gerakan yang memboikot pemilu karena di aggap kurang memenuhi syarat yang dieprlukan dalam pelaksanaan pemilu secara demokratis. Hal itu meliputi kurang adanya kebebasan- kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan umm yang jujur dan adil, dan sebagi bentuk protes mereka tidak mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum(TPS). Kemudian golongan inilah yang kemudian hari dinamakan golongan putih atau golput.
 Padahal Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi, sehingga perlu demokratisasi dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2009. Namun tampaknya belum semua warga masyarkat belum menyadari sepenuhnya tentang pentingnya partisipasi politik.[10]


           

Daftar Pustaka
Literatur Bacaan
Budiarjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mas’oed Mohtar & Colin MacAndrew, 2008, Perbandingan System Politik, Yogyakarta: UGM press
Geertz Clifford, The Religion of Java, (New York: Free Press, 1960)
Feith Herbert dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik Indonesia : 1945-1965, Alih Bahasa Min Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988)          
Kencana,  Syafiie, M.Si, Sistem Politik Indonesia, 2006, Refika Utama, Bandung
Faturohman, Deden, 2002, Ilmu Politik,UMM press, Malang
H. Soebagio, Implikasi Golongan Putih Dalam perspektif pembangunan demokrasi Indonesia , VOL. 12, NO. 2, 2008: 82-86

Internet
http://www.unpad.ac.id/archives/781 diakses tanggal 2 Januari 2011







[1] Antonius Atoshoki, dkk. Relasi dengan Seksama. Elex Media Komputindo, hal 95
[2] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik. Grasindo, hal 226
[3] Miriam Budiarjo, 2008. DASAR DASAR ILMU POLITIK. PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 462
[4] Miriam Budiarjo, ibid
[6] Miriam, opcit hal 467
[7] Miriam, ibid 463
[9] Miriam, opcit hal 469
[10] H. Soebagio, Implikasi Golongan Putih Dalam perspektif pembangunan demokrasi Indonesia , VOL. 12, NO. 2, 2008: 82-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar