“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Liberalisasi Ekonomi



 Oleh: Haryo Prasodjo 
 
Liberalisasi ekonomi mengacu pada dua masalah stabilisasi yaitu sektor makro ekonomi dan mikro-struktural. Seperti yang dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia, dalam paket reformasi biasanya terdapat beberapa ataupun semua peraturan sebagai berikut: pengurangan peran pemerintah, membuka perdagangan bebas dan investasi asing, penyesuaian nilai tukar, deregulasi di beberapa sektor pasar dan penghapusan pembatasan pada entri, kapasitas, dan harga. Konsekuensi langsung dari liberalisasi ekonomi yang yang dilakukan biasanya terfokus pada (a) peningkatan kompetisi  internal dan eksternal (b) perubahan struktural yang disebabkan oleh perubahan harga relatif dalam perekonomian. Keduanya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi. Sementara (b) secara langsung berkaitan dengan efisiensi alokatif yang berupa keuntungan efisiensi yang terkait (a) mencakup efisiensi teknis dan skala. Dari kepentingan langsung penyesuaian struktural mencakup deregulasi tenaga kerja pasar dan langkah-langkah untuk meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Dev (2000) menyatakan bahwa upah kekakuan dan ketidakamanan kerja adalah dua aspek yang paling penting dari pasar tenaga kerja kekakuan di banyak negara berkembang. Reformasi ekonomi mungkin bertentangan satu sama lain dan dapat menghasilkan efek bersaing. Sementara mempelajari efek liberalisasi pada hasil pasar tenaga kerja, kita juga harus mengakui bahwa laju liberalisasi akan dipengaruhi oleh struktur dan kinerja pasar tenaga kerja.

Kudeta Venezuela tahun 2002


Eni Nurul C               (09260133)
Waidatun hasanah    (09260139 )
Dwi A Latief              (0926 0100 )

.      Latar Belakang

Penggunanan istilah anti –Amerikanisme telah muncul dalam katalog di tahun 1948-an, dan memasuki bahasa politik pada tahun 1950-an. Istilah yang berkaitan adalah “amerikanisasi “ (dimana Anti- Amerikanisme bagian dari respon terhadapnya) telah dipakai di Prancis pada tahun 1867.[1]
Hegemoni AS merupakan sekelindas ambisi untuk menjadi penentu politik dunia, polisi dunia, sekaligus penguasa ekonomi, dan perdaganagn dunia. Untuk mereaslisasikan ambisi itu, disusunlah sistem ekonomi, poliik,dan keamanann dunia serta kampanye ideologis yang mendukung kepentinagn negara adikuasa itu, meskipun menodai ruh demokrasi yang selalu didalihkan.
Aksi AS tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru. Tercatat dari 1898 hingga 1934, AS dengan segenap arogansinya telah melakukan intervensi militer terhadap sejumlah negara Amerika Latin, seperti Kuba, Meksiko, Nikaragua, Kolombia, Panama, Haiti, Honduras, dan Republik Dan Republik Dominika. Terhadap Amerika Sendiri, AS juga pernah berusaha menumbangkan pemerintahan Soekarno di tahun 1965.
Konsekuensi logis dari aksi-aksi hegemonik AS terhadap negara lain itu memacu terbitnya kebencian, yang kemudian bergeser menjadi antipati. Rupanya simpul itulah yang menyatukan presiden Venezuela Hugo Chaves beserta presiden Amerika Latin dan Iran sekarang getol menentang keras terhadap dominasi negeri paman Sam di dunia.
Simpul antipasti negara- negara Amerika Latin terhadap AS tersebutlah yang menguatkan negara negara Amerika Latin untuk berjuang keras menentang beberapa kontribusi kontribusi yang disponsori AS yang pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan permasalahan di negara Amerika Latin. Upaya untuk keluar dari beberapa strategi rancangan ekonomi dan politik AS, Amerika latin berusaha mencari jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah masalah di negara mereka tanpa mengikuti anjuran AS .
Pergolakan kontra muncul seiring semakin agresifnya AS menyelinap masuk ke kawasan Amerika Latin melalu beberapa negara yang terlihat condong pro barat seperti Kolombia, Kostarika dan lainnya. Salah satu pemimpn yang dengan tegas menentang AS adalah Hugo Chaves pemimpin Venezuela yang menang dalam pemilu pada tahun 1999. Kecaman kecaman keras keluar dari beberapa pemimpin Amerika Latin termasuk Hugo Chaves yang geram dengan ulah AS yang dianggapnya sebagai penyebab kondisi tidak stabilnya dan perusah keharmonisan kawasan Amerika Latin. Hugo Chaves sendiri mempunyai catatan buruk bagi AS.

Pemikiran Peter Gourevitch



Nama               : Sigit Prasetyo
NIM                : 09260114
Mata Kuliah    : Isu-isu Internasional Domestik


Dalam percaturan politik international tentunya akan menghasilkan pengaruh terhadap politik-politik domestic dalam suatu negara. Sekalipun pengaruh itu memberikan dampak secara langsung ataupun tidak secara langsung. Karena memang Negara tidak dapat berdiri sendiri sehingga setiap negara mau tidak mau harus melakukan interaksi dengan lingkungan eksternalnya.
Berbicara mengenai keterkaitan antara politik internasional dan domestik, Peter Gourevitch mencoba menjelaskan bagaimana fenomena ini bisa menjadi penting untuk di pelajari dalam studi Hubungan Internasional. Dalam Pemikirannya Peter Gourevitch mengatakan bahwa dalam menjelaskan kasus yang terjadi dalam suatu negara, yang menjadi Dependen tidak lain adalah suatu kebijakan luar negeri yang di ambil sehingga memberikan dampak domestik dalam suatu negara. Inilah yang menjadi penting untuk di pelajari dengan catatan agar ada perbedaan cara pandang terhadap perbandingan Hubungan Internasional dengan politik domestik.
Dalam perkembangannya sistem internasional selalu di kait-kaitkan dengan beberapa fenomena yang mana terdiri dari dua aspek yaitu perdagangan dan yang paling ekstrim yaitu perang. Dalam hal ini banyak sekali pemikir-pemikir yang mencoba menjadikan fenomena penguasa ekonomi, kemudian kekayaan militer sebagi bentuk dependen dalam mengamati fenomena internasional, namun berbeda ketika Peter Gourevitch justru mengalokasikan Koalisi rezim sebagai bentuk dependen dalam mengamati fenomena-fenomena dalam Hubungan Internasional.

Kepentingan Geopolitik Amerika Serikat di Irak





 Oleh: Waidatun Hasanah

Kawasan Timur Tengah merupakan wilayah yang memiliki arti strategis penting tidak hanya bagi negara-negara yang terletak di wilayah tersebut tetapi juga negara-negara yang terletak di luar wilayah, dalam hal ini adalah negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Inggris[1]. Arti strategis wilayah Timur Tengah seringkali memiliki kaitan erat dengan persoalan sumber energi seperti minyak dan gas. Faktor ini dapat dikatakan sebagai komponen penting geopolitik Timur Tengah modern. Berlimpahnya sumber daya energi di kawasan ini mengundang berbagai kepentingan negara-negara eks kekuatan imperial dan negara superpower. Dengan demikian, berbicara mengenai Permasalahan-permasalahan Timur Tengah juga berbicara mengenai kepentingan-kepentingan tidak hanya negara negara di wilayah tersebut, tetapi juga negara di luar wilayah Timur Tengah.
Pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat, konstelasi politik internasional mengalami perubahan. Setelah peristiwa tersebut, fokus proyeksi geopolitik mengalami perkembangan yang signifikan terutama dalam masalah-masalah keamanan. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan signifikan adalah invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 dengan alasan perang terhadap terorisme. Amerika Serikat melancarkan invasi ke Irak dengan tujuan melucuti senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki oleh Irak, dan menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein yang dianggap mendukung terorisme. Padahal ketika terjadi perang Irak-Iran yang berlangsung dari 1980-1988, Amerika Serikat memberikan dukungannya pada Irak. Namun demikian, sejak tahun 1990 terutama ketika Irak melakukan invasi ke Kuwait, Amerika Serikat berbalik memusuhi Irak[2].

Islam dan Dunia Internasional




Haryo Prasodjo (09260012)

  1. Jelaskan sebenarnya bagaimana pandangan Jumana Shehata mengenai perdebatan Hak Asasi Manusia dalam Islam?
Dalam islam sendiri sebenarnya tidak ada konsensus mengenai HAM , HAM sendiri merupakan sebuah isu kontemporer yang dibangun dengan menggunakan standar universal artinya HAM itu harus menjadi sebuah paham yang dapat diterima dan diterapkan dimana saja,Dalam islam sendiri telah memiliki landasan yang berbeda yang mana dalam masalah berkaitan dengan hak,dalam islam telah di ulas dalam fiqh , yang artinya ada pendapat yang mengtakan kalau islam tidaklah kompetibel dengan HAM ,HAM sendiri merupaakn sebuah prodak barat yang berakar dari imprealis dalam kristenisasi yang memiliki akar liberalis dan individualis, hal ini bertentangan dengan islam seperti contoh meniadakan peran keluarga dan individu,sedangkan dalam islam adanya tanggungjawab kepala keluarga.
Dalam hal ini islam dituntut aktif karena HAM disini sifatnya adalah universal (tidak harus mesti kebarat-baratan) ,hal ini berkenaan dengan deklarsi HAM yang berlandaskan “ manusia pada dasarnya dilahirkan bebas,dan sama dalam hal martabat dan hak”.Dalam konteks ini sebenarnya islam telah memiliki kode alami yaitu :
·         Al Quran yang menjadi sumber keadilan.
·         Ihsan.
·         Keadilan.
·         Membedakan mana yang hak dan non-hak.
·         Semua manusia sama kedudukannya dimata Allah.
Jumana Shehata juga berpendapat bahwa Islam memandang adanya persamaan martabat dan perbedaan kesetaran bagi wanita dan laki-laki,pada dasarnya islam menghormati dan harus patuh pada komitmen perjanjian (kontrak/kewajiban).
Menurutnya HAM disini hanya dilihat dalam konteks keadilan politik yang menjadikanya sebagai standar dasar tanpa adanya unsur-unsur yang mengubah ataupun mengurangfi ni;lai-nilai islam.Ham hanyalah sebagai sarana politik sebagai identifikasi martabat manusia dlam bentuk hukum acara yang terikat. Pengaruh dari HAM itu sendiri dapat melampaui politik dan hukum dan ini adalah tempat yang memungkinkan untuk terjadinya benturan antara HAM dengan budaya atau agama.
Ringkasan dari teori ketidakcocokan dari Islam bukanlah sebagai pendukung HAM itu sendiri.Pra-kondisi hak asas imanusia masih kurang.Poin terakhir ini adalah yang terbaik diringkas oleh teori ketidak cocokan Fred Halliday.Halliday menyatakan bahwa budaya Islam tidak memainkan peran pendukung dalam hak asasi manusia,
tidak terdapat otonomi dalam masyarakat atau konstituen praktek hukum hak asasi manusia,dan di sana ada sekularisme yang mana Islam tidak mengenal gagasan
pemisahan gereja dan negara. Dan juga tidak adanya prospek rekonsiliasi Islam dan hak asasi manusia sebagai pilihannya,melainkan hanya sebagai suatu keharusan.Negara-negara islam ditekan untuk menerapkan Ham ddan tekanan itu sendiri datan dari dunia internasional yang mana penerepan tersebut tanpa memperhatikan keadaan domestik negara.
Disisi lain HAM dibuat berdasarkan faka keadaan manusia dan yang membuat adalah manusia sedfngkan dalam islam telah ada hukum-hukum yang mengaturnya dalam sebuah kaidah yaitu fiqh yang berlandaskan atas Al quran dan hadist,Ham adalah bentuk dari kesepakatan bersama dan landasannya tidak jelas berbeda dengan islam yang jelas memiliki landasan.

Peter Gourevitch



Nama : Rangga Pramudya
NIM : 09260152


Menanggapi pendapat Gourevitch yang menyatakan jika hubungan antara politik Internasional memeiliki hubungan yang erat dengan domestik,itu semua tak lepas dari tujuan yang dimiliki Gourevitch yang ingin membuktikan bahwa seharusnya yang menjadi variabel dependen itu merupakan adalah kebijakan luar negeri sebagai katalisator di dalam dunia Internasional yang memiliki pengaruh terhadap politik di dalam negeri itu sendiri.
Untuk itulah diharapkan kita sebagai para aktor aktor dalam dunia politik diharapkan mampu secara baik dalam membedakan antara Hubungan Internasional dan keterkaitannya dengan politik domestik.Seperti halnya aspek aspek yang mempengaruhi pada tingkat domestik adalah kegiatan ekonomi seperti perdagangan bebas  dan perang yang biasanya berdampak terhadap sistem domestik di dalam negeri.
Namun Gourevitch lebih memilih fokus kepada pola pola koalisi rezim yang terpaku kepada kekuasaan sebagai variabel dependen dimana variabel ini yang mempengaruhi suatu negara dari waktu ke waktu membentuk perilaku pada saat tertentu untuk menentukan suatu kebijakan.Namun Gerschenkronian memeiliki pendapat bahwa negara negara di dunia merupakan sebuah negara industrial.Yang terkelompokkan menjadi negara industrial yang maju dan negara industrial yang tertinggal.Sehingga menimbulkan perbedaan dimana karakter dunia ekonomi berpengaruh terhadap hasil politik domestik.
Disebutkan sebagaimana oleh teori ketrgantungan bahwa semua negara negara kapitalis maju membuat sebuah sistem yang menentukan atau sebagai lawan untuk mempengaruhi pilihan rezim dan pembentukan koalisi terhadap pembangunan suatu negara.Namun Gourevitch tidak membenarkan pernyataan tersebut dengan alasan teori ketrgantungan tidak memeriksa tipe rezim dalam negara berkembang melainkan hanya terfokus pada sistem Internasional.
Disebutkan juga bahwa kaum liberal lebih menitik beratkan terhadap pentingnya hubungan Internasional yang bisa berpengaruh terhadap penentuan hasil internasional daripada peran dari negara itu sendiri.Karena Hubungan Internasional memiliki fokus terhadap tindakan aktor non negara sehingga mungkin variabel ini dinilai lebih efektif untuk menentukan hasil internasional.
Berikutnya Gourevitch meneliti pengaruh dari sistem negara internasional (distribusi kekuasaan) pada struktur politik domestik.Gourevitch juga membahas sebagaimana perang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan kekuasaan.
Pada umumnya yang menjadi pokok permasalahan dalam pernyataan ini adalah sebuah keputusan dibuat berdasarkan orientasi kebijakan negara .

Pesantren Dan Globalisasi



ABSTRAKSI
At the present time we can not escape from the name of globalization. Globalization is a process of change that provide much of an impact to people's lives. Be it positive or negative nature. We can even say all aspects of our lives, be it politics, economics, values​​, or religion, can not be separated from globalization. Boarding school that had only focus on religious studies, gradually began to respond. As someone who is in the vortex of globalization we should be able to choose what is good and bad, which we must accept, and which ones should we throw away.

Key Word: Globalization, change, religion, Boarding School.

Pendahuluan
Oleh: Waidatun Hasanah

Eksistensi pesantren di tengah keterbatasan dan dominasi negara menjadikan lembaga berkonsentrasi pada hal-hal substansial kepesantrenan sebagai transformasi nilai-nilai dan pengajaran keagamaan, serta mengambil peran pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lingkungan. Tidak dipungkiri bahwa transformasi pengajaran keagamaan dengan mengedepankan ilmu-ilmu fiqh, tasawuf dan tatabahasa Arab mengantarkan lulusan pesantren dengan mudah diterima di berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri maupun swasta di Indonesia. Eksistensi lulusan pendidikan pesantren memberikan konstribusi besar bagi perkembangan keilmuan keagamaan. Realitas ini memberikan pemaknaan bahwa perkembagan intelektualitas keislaman yang berkembang pesat akhir akhir ini didukung dengan kompetensi.
Konstruksi sosial kemasyarakatan pesantren berakar dari sejarah yang panjang mulai masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, serta Orde Reformasi. Realitas kesejarahan ini membentuk pesantren semakin menemukan identitas yang sejati, mendekatkan diri dengan masyarakat. Pesantren tidak lagi bagian dari elitisme tokoh kekiyaian, ia melebur dengan masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Pesantren menjadi institusi pendidikan yang terbuka. Sebagai teks yang terbuka ia bisa dimaknai, ditafsirkan, didekonstruksi dan direkonstruksi sebagai bagian dari identitas bagi pemberdayaan masyarakat. Dengan identitas baru ini pesantren memainkan peran yang multi talen, dimana tokoh menjadi agen perubahan sekaligus pemberdayaan masyarakat. Pada titik ini pesantren melakukan proses dekonstruksi dan direkonstruksi menjadi ”identitas dan wajah lain” globalisasi dengan identitas pemberdayaan. Pada arah ini sebagai bagian dari lembaga (organisasi), pesantren emberikan kekuatan dan pemberdayaan bagi lingkup sosial kemasyarakatan. Pesantren tidak melawan globalisasi namun memformulasi sebagai ”identitas dan  wajah lain” yang lebih bermanfaat bagi keberlangsungan pemberdayaan masyarakat.

Apakah kesan globalisasi pada kaum perempuan?

Oleh Goretti Horgan. Dari penerbitan berkala International Socialism, Jilid 92 (Musim Luruh, 2001). Hak cipta International Socialism (September 2001).

Diterjemahkan oleh Muhammad Salleh


Dalam 30 tahun yang lalu, kaum perempuan telah melangkah begitu jauh. Kehidupan kita lebih mulia dan bernilai daripada dahulu, tetapi kehidupan kita juga begitu susah… percanggahan-percanggahan yang dihadapi oleh kaum perempuan tidak pernah sebegini menyakitkan… Di setiap penjuru, perempuan yang tidak bersuara mengalami kesengsaraan tanpa akhir, kepedihan dan kesakitan dalam sistem dunia yang mewujudkan berbilion-bilion orang yang kalah bagi beberapa orang pemenang. Ia sudah tiba masanya untuk menjadi marah sekali lagi. Germaine Greer[i]

Globalisasi telah membawa kesan-kesan yang begitu negatif bagi kaum perempuan dan kanak-kanak sehingga beberapa orang pengulas berkata bahawa ‘globalisasi adalah sama dengan kaum lelaki.’[ii] Mereka menunjukkan cara kaum perempuan merana akibat polisi-polisi Dana Kewangan Antarabangsa (IMF) dan Bank Dunia, apabila perkhidmatan awam dipotong dan mereka terpaksa menjaga mereka yang sakit, kurang bernasib baik dan saudara-mara yang tua, sambil mencari pendapatan. Tetapi globalisasi boleh juga dikatakan sama dengan perempuan. Peluasan kapitalisme ke merata dunia telah bergantung kepada kemasukan berjuta-juta orang perempuan ke dalam tenaga pekerja, yang secara tradisional telah bergantung kepada suami-suami dan saudara lelaki. Globalisasi telah membawa kesan-kesan yang bercanggah bagi kaum perempuan. Mereka yang menyamakan globalisasi dengan jantina lelaki memang betul untuk menunjukkan bagaimana peranan perempuan dalam pengeluaran dan keluarga bermaksud mereka mengalami kesengsaraan yang lebih akibat agenda neo-liberal – tetapi itu hanyalah sebahagian daripada ceritanya. Ia juga telah membawa kebebasan bagi kaum perempuan, terutamanya bagi mereka yang hidup di negara-negara konservatif seperti Indonesia, Ireland dan Negara Thai, di mana kaum perempuan dapat hidup dengan bebas, dari segi ekonomi, dari kaum lelaki dan sekurang-kurangnya mempunyai pilihan terhad dalam kehidupan peribadi mereka. Akhirnya, dengan membawa kaum perempuan ke dalam tenaga pekerja, globalisasi telah memberikan kaum perempuan kuasa yang tidak dipegang pada masa dahulu – iaitu kuasa untuk mengakhiri sistem yang menjana kemiskinan, pengeksploitasian dan penindasa

Pekerja Perempuan- Enjin Globalisasi
 
Perkembangan kapitalisme di merata dunia dalam 20 tahun yang lalu telah bergantung kepada kaum perempuan membanjiri tenaga pekerja. Dari Dublin ke Dhaka, Bangkok ke Bradford, para pekerja perempuan telah memberikan tenaga pekerja yang murah dari mana keuntungan besan diperah. Rajah 1 menunjukkan tahap ke mana pekerja perempuan telah memenuhi tenaga pekerja di ekonomi-ekonomi ‘Harimau’ Asia dan Celtic. Jumlah pekerja perempuan hampir berganda di negara-negara ini dalam dua dekad yang lalu.





1980

1985

1990

1995

1997

1999


Indonesia

16,934.6

22,506.5

29,422.7

31,729.0

33, 079.0

-


Ireland

346.4[iii]

332.0

371.5

482.9

539.7

643.9


Negara Thai

10,657.0

10,749.1

14,386.2

14,795.2

15,041.3

14,365.9


Korea

5,222.0

5,833.0

7,376.0

8,256.0

8,686.0

8,303.0


Filipina

6,070.0

7,569.0

8,185.0

9,505.0

19,451.0

11,709.0

Rajah 1: Peningkatan dalam jumlah pekerja perempuan dari tahun 1980-1999 (dalam ribu)[iv]

Feminisasi tenaga pekerja rasmi adalah pengalaman yang bercanggah bagi kebanyakan orang perempuan. Dalam satu tangan, menjadi bebas dari segi ekonomi membolehkan kaum perempuan merangkul lebih banyak pilihan berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam tangan sebelah, ‘beban berkepala dua’ yang dihadapi oleh kesemua orang perempuan kerana peranan mereka dalam keluarga bermakna bahawa kehidupan perempuan di mana-mana begitu susah, sambil mereka mencuba mendukung pekerjaan dan kehidupan keluarga. Bekerja di luar rumah dan menjadi bebas dari segi ekonomi bermaksud mereka tidak dikuasai oleh mana-mana lelaki, tetapi ‘perlumbaan ke bawah’ yang menjadi dasar pembinaan kapital global, bermaksud bahawa pekerjaan mereka melibatkan jam-jam yang berpanjangan dengan gaji yang rendah, lalu menjadikan penjagaan anak lebih susah. Bagi beberapa orang perempuan, menjadi sebahagian daripada tenaga pekerja global mengancam peluang mereka untuk melahirkan anak. Untuk perempuan yang lain, ia bermakna mengabaikan anak kerana mereka terpaksa bekerja untuk menyediakan makanan. Tetapi di mana-mana, apabila ditanya, kebanyakan perempuan yang bekerja berkata mereka tidak dapat membayangkan kembali ke peringkat tidak bekerja.