“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Globalisasi dan Keamanan Internasional



 Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama


“Kita akan menemukan dunia menjadi lebih damai setelah perang dingin berakhir: dunia damai tanpa perang.” –F. Fukuyama, the End of History-
Pada era perang dingin kompleksitas kemanan internasional terjadi karena adanya rivalitas antara dua kubu yang disebabkan oleh situasi bipolar saat itu. Balance of power yang menjadi sistem deterrence untuk mencegah terjadinya perang antara blok barat dengan blok timur, hanya semakin memunculkan enmity di antara kedua kubu yang telah terdikotomi. Aliansi-aliansi militer yang dibentuk pada saat itu muncul untuk saling membendung pengaruh satu sama lain, sekaligus sebagai alat untuk memberikan ancaman kepada masing-masing pihak. Pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau Pakta Pertahan Atlantik Utara oleh Amerika Serikat dan sekutunya bertujuan untuk membendung pengaruh komunisme yang dibawa oleh Pakta Warsawa bentukan Uni Sovyet. Konsensus yang menjadi dasar agar “setiap anggota wajib membantu secara militer jika ada salah satu anggotanya mendapat serangan dari pihak lawan”[1] dapat menunjukan betapa rentannya situasi keamanan internasional saat itu. Namun, sistem deterrence dan perimbangan kekuatan yang dipakai dapat dikatakan berhasil jika ketiadaan perang antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet menjadi tolok ukur.
Berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet yang dianggap sebagai enemy oleh Amerika Serikat, membawa pada kontelasi internasional multipolar. Tidak ada lagi blok timur yang ruang geraknya harus dipersempit oleh blok barat sekutu Amerika Serikat. Dan tidak ada lagi Pakta Warsawa yang menjadi ancaman NATO. Pihak barat mengklaim bahwa itu adalah kekalahan komunisme, dan merupakan kemenangan liberalisme agar tetap melanggengkan pengaruhnya. Lebih jauh, peristiwa 9/11 yang menyebabkan hancurnya gedung WTC di Amerika Serikat membawa pada situasi baru dalam konteks keamanan internasional, bahwa terorisme adalah new enemy yang harus diperangi bersama.[2]

Dalam konteks ekonomi politik, globalisasi dan liberalisasi membawa dunia pada fokus baru, yaitu kerjasama ekonomi untuk membangun perekonomian setiap negara. Apa yang dikemukakan oleh Kant, “the laws of nature dictated harmony and cooperation between peoples”, juga menjadi asumsi dasar bagi kalangan liberal dalam proses interaksi antar negara. Bahwa, manusia sebagai aktor secara alamiah memiliki sifat baik dan menyukai jalan kerjasama. Dengan kata lain, kalangan liberal meyakini bahwa perang dapat diminimalisir dan keamanan dapat diperkuat melalui jalan kerjasama karena adanya situasi saling ketergantungan di antara negara.
Namun, ide kalangan realis yang telah berpengaruh sejak era perang dingin juga menjadi determinasi bagi konsep keamanan internasional kontemporer. Kecurigaan dan kekhawatiran akan anarkisme internasional tetap kentara dalam kencenderungan perilaku setiap negara saat ini. Keduanya, baik liberalisme dan realisme, menjadi konsep yang berjalan beriringan mengingat arm race adalah merupakan sisi lain dari kerjasama ekonomi dan globalisasi. Adagium kalangan realis yang menyebutkan, “jika ingin merasa damai bersiaplah untuk perang”, seakan relevan dengan semakin meningkatnya anggaran militer masing-masing negara. Semua menyadari bahwa kepentingan bisa diperjuangkan dengan jalan kekuatan, maka militer adalah prasyarat mutlak terlebih jika berbicara dalam konteks keamanan suatu negara.
Kondisi ini tentu dapat menjadi kritik yang terus berlanjut bagi apa yang dikemukakan oleh Fukuyama di atas. Kondisi multipolar saat ini  memang telah menghapus rivalitas antara kedua blok yang eksis saat era perang dingin, namun tidak barang tentu berhasil menghapus rivalitas antara negara-negara yang masih memiliki perbedaan ideologi. Perang masih terus berlanjut hingga saat ini. Enmity di antara negara-negara yang bertetangga masih sangat tinggi. Apa yang dilakukan Rusia terhadap Crimea menunjukan bahwa praktik aneksasi masih rentan dilakukan. Arm race secara lebih jauh telah berbicara pada tataran teknologi dan semakin menjadi penyebab security dilema. Aliansi militer masih tetap eksis hingga saat ini, bahkan sepak terjang NATO di Timur Tengah juga menjadi penyebab sulitnya untuk mencapai kondisi keamanan non tradisional. Lebih jauh, perlombaan senjata nuklir di antara negara-negara maju menjadi ancaman yang sangat serius bagi kemanan internasional kontemporer. Kekhawatiran ini membuat isu keamanan internasional masih menjadi perbincangan hangat dalam era globalisasi saat ini. Maka, menarik untuk mengkaji mengapa keamanan masih menjadi suatu isu global sentral, bahkan setelah perang dingin berakhir dengan mengambil studi kasus keamanan di kawasan Asia Timur. 


[1] Pasal V dalam Piagam Persetujuan Pembentukan NATO pada tahun 1949.
[2] Budi Winarno. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps, hal. 166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar