“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Hubungan Indonesia-PT Free Port Dalam Konteks Ekonomi dan Politik



Freeport bukan hanya manifestasi sebuah perhitungan investasi ekonomi, tetapi juga sebuah mata rantai investasi politik dalam konteks hubungan Indonesia-AS. Freeport adalah salah satu simbol keberadaan AS di ujung timur NKRI. Dalam asumsi itu, diperlukan kepekaan bersama, kendali sensitivitas yang mampu menempatkan respons dan reaksi secara proporsional dalam nuansa dialog yang cerdas, tetapi tidak emosional (Priatna, tt).
Freeport-McMoran Copper and Gold Inc., sebuah perusahaan pertambangan internasional yang berpusat di New Orleans, Amerika Serikat, memiliki peranan yang penting didalam eksploitasi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di Papua. Perdebatan sengit mengenai perpanjangan kontrak karya PTFI dengan pemerintah Indonesia yang terjadi baru-baru ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi politik pemerintah Indonesia yang terjadi pada era orde baru. PTFI tertarik pada bumi Papua pada tahun 1950an, dan negosiasi PTFI dengan Indonesia dimulai satu bulan setelah terjadinya kudeta militer dan pembunuhan masal  yang kemudian membawa Soeharto pada puncak kepemimpinan di tahun 1965. Disinilah hubungan ekonomi politik internasional didalam bentuk penanaman modal asing langsung (Direct FDI) bermula, karena PTFI merupakan perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia dibawah rezim Soeharto. Tambang Grasberg milik PTFI yang berada dekat Tembagapura. merupakan tambang emas terbesar di dunia, sekaligus menjadi salah satu tempat yang paling dimiliterisasi di Indonesia.

Operasi tambang PTFI telah dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak tahun 1970-an di era kepemimpinan Soeharto, dimana pada saat itu TNI berupaya untuk memberantas gerakan separatis Papua yang menginginkan kemerdekaan. Sebelum diberlakukannya transparansi yang dilakukan oleh PTFI, tidak sedikit masyarakat, akademisi, dan bahkan para investor terkait didalam praktik bisnis Freeport yang meyakini bahwa PTFI memiliki hubungan khusus dengan militer Indonesia. Global Witness (2005, p.4) didalam artikel yang berjudul “Paying for Protection: The Freeport mine and the Indonesian security forces” menyatakan bahwa pada awal tahun 2003 ketika Freeport-McMoran Copper and Gold Inc mengungkapkan bahwa anak perusahaannya (PTFI) di Indonesia telah membayar sebesar 4,7 juta dollar AS di tahun 2001 dan 5,6 juta dollar AS di tahun 2002 sebagai “biaya bantuan untuk jasa keamanan yang diberikan pemerintah (support costs for government provided security). Besarnya ‘uang keamanan’ yang diberikan oleh PTFI terhadap militer Indonesia tentunya mengundang sejumlah pertanyaan, apakah proteksi militer yang ‘ditawarkan’ oleh pemerintah sehingga PTFI harus membayar sebesar hamper 54 miliar rupiah di tahun 2002 tersebut? Freeport McMoRan menyatakan bahwa biaya ini dipakai untuk biaya infrakstruktur, makanan, perjalanan, administrasi, dan program bantuan masyarakat yang dikelola oleh TNI dan Polri.
Industri pertambangan di Indonesia berada di tengah-tengah drama politik yang berasaskan kepentingan ekonomi. Perusahaan asing sebesar PTFI mendominasi pertambangan Indonesia, sehingga menimbulkan kekhawatiran para nasionalis mengenai siapa yang sebenarnya mengontrol sumber daya alam negara ini, dan apa yang sedang dipertaruhkan oleh pemerintah dari sudut pandang ekonomi. Selain itu, produksi dan pajak atas pertambangan berkontribusi besar dalam pendapatan negara. Global Witness (2005, p.9) menyatakan bahwa kekayaan tambang Grasberg yang sangat besar menarik perhatian elite penguasa di Jakarta. Di awal tahun 90-an, menurut sebuah artikel di tahun 1998 di harian Wall Street Journal, pejabat perusahaan berada dibawah tekanan untuk melibatkan rekan dan keluarga Soeharto kedalam transaksi bisnis. Freeport McMoRan membantu rekanan Soeharto membeli saham dalam usaha tambang maupun beberapa perusahaan jasa pendukung, dengan cara menjamin pinjaman bank buat mereka. Antara tahun 1991 dan 1997, Freeport McMoRan menjaminkan sebesar 673 juta dollar AS bagi pinjaman semacam itu, dan memberikan paling sedikit sebesar 61,6 juta dollar AS untuk pendanaan lebih lanjut yang dikemudian hari harus dianggap lunas oleh perusahaan. Pada masa ini, Chief Executive Freeport McMoRan, James Moffett, sering bermain golf bersama Soeharto dan berteman dengan orang-orang dari kalangan Soeharto.
Hubungan timbal balik dalam segi politik dan ekonomi yang berlangsung antara PTFI dan Indonesia dijelaskan lebih lanjut oleh Global Witness (2005, p.9). Pada tahun 1989, Freeport mulai menggali endapan tembaga dan emas Grasberg yang melimpah, dan menjadikan Freeport dari sebuah perusahaan penghasil logam yang biasa-biasa saja menjadi salah satu operator tambang yang menguntungkan dan terbesar di dunia. Ekspansi perusahaan menciptakan pertumbuhan ekonomi disekitar tambang dan menjadikan Freeport Indonesia sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Ia juga menarik minat puluhan ribu pendatang yang ingin memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, dan tinggal di sekitar kota Timika. Rejim Soeharto hanya melakukan sedikit usaha untuk memberikan pelayanan publik ke daerah, walaupun populasi berkembang, sehingga Freeport akhirnya membiayai pembangunan jalan, perumahan, fasilitas kesehatan dan sarana publik lain termasuk sekolah, pendidikan dan pelatihan bisnis bagi penduduk setempat dan program pemberantasan malaria. Hal-hal tersebut tidak akan ada jika Freeport tidak membangunnya.
Bagaimanapun kontroversi yang terjadi di ranah politik antara pemerintah Indonesia dengan PTFI, kita tidak dapat menafikan bahwa PTFI memberikan kontribusi pendapatan yang cukup signifikan bagi negara kita baik melalui pajak, maupun produksi. Nainggolan (2012) menyatakan bahwa menurut siaran pers Freeport, sejak pembaharuan KK tahun 1991, maka mulai tahun 1992 hingga Desember 2011 total kewajiban keuangan Freeport kepada pemerintah adalah sebesar 13,8 miliar Dolar AS. Kalau dirupiahkan, maka total pendapatan negara dari PT. Freeport selama 20 tahun tersebut sekitar Rp 100 Triliun lebih. Atau rata-rata  Rp 5 Triliun per tahun. Masih menurut siaran pers PT Freeport, 13,8 Miliar Dolar AS itu terdiri atas Pajak Penghasilan Badan 8,6 miliar dolar AS; Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah, serta pajak-pajak lainnya 2,6 miliar dolar AS; royalti 1,3 miliar dolar AS dan dividen sebesar 1,3 miliar dolar AS. Sedangkan untuk pembangunan daerah (Papua) selain berkontribusi melalui Pajak Daerah, PT Freeport Indonesia mengklaim telah berinvestasi senilai kurang lebih 7,2 miliar dolar AS pada berbagai proyek termasuk infrastruktur kota, instalasi pembangkit listrik, bandara dan pelabuhan, jalan, jembatan, sarana pembuangan limbah, dan sistem komunikasi modern.
Akhirnya, untuk menjawab hubungan politik ekonomi antara pemerintah Indonesia dan PTFI pada masa sekarang, kita tidak dapat melepaskan keterkaitan PTFI dengan rezim Soeharto yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Ketidakpastian politik di Indonesia pada saat ini serta posibilitas keutuhan NKRI di masa depan, jelas menjadi perhatian besar Freeport. Freeport boleh jadi merupakan pemilik tambang emas terbesar didunia sekaligus salah satu operator tambang terbesar di dunia.  Namun kini Freeport telah kehilangan pelindungnya, yakni mantan kuat di Indonesia, Soeharto. Hal ini secara tidak langsung telah membuat operasi Freeport berpotensi untuk rentan di sejumlah daerah, sehingga potensi biaya dari operasinya di Papua Barat dapat meningkat secara substansial.
Berbeda dengan masa Orde Baru, pemerintah saat ini dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel. Permainan politik yang berasaskan ekonomi seperti yang terjadi di era order baru mungkin masih terjadi meski dalam skala yang lebih kecil dan hati-hati. Hal ini disebabkan karena adanya investigasi di Indonesia dalam korupsi, kolusi dan nepotisme dari berbagai pihak, serta tumbuhnya kesadaran masyarakat akan hak-nya sebagai warga negara Indonesia. Selain mendapat perhatian akan KKN dari berbagai kalangan di Indonesia, pemerintah Amerika Serikat melalui US Foreign Corrupt Practices Act melarang perusahaan-perusahaan Amerika dari membayar suap.
Dalam konteks lingkungan, perusahaan ini juga terus-menerus dikritisi atas beberapa catatan pengrusakan lingkungan serta ia didesak para environmentalists untuk bertanggung jawab secara finansial atas kerusakan yang telah dibuat dan akan terus dibuat demi kelangsungan produksinya. Ketidakmampuan Freeport untuk menyelesaikan masalah hubungan masyarakat juga mengilustrasikan bagaimana konteks politik dan ekonomi akan terus membayangi Freeport, dan tiada yang tahu kapan masalah klasik yang telah terjadi sejak era Soeharto ini akan berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar