“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Isu Proteksionisme Sebagai Isu Penting Dalam perdagangan internasional


        Terbentuknya WTO (World Trade Organization) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur perdagangan global diharapkan bisa mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun dalam perkembangannya perdagangan global dewasa ini diwarnai isu proteksionisme yang mengganggu bebasnya perdagangan antar negara. Proteksionisme sendiri adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara melalui tarif bea masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan aturan ekstrem seperti larangan impor[1]. Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru membuka sektor industri otomotif, jelas industri ini belum bisa bersaing dengan industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan industri ini lebih laku di pasarnya. Contoh lainnya seperti kebijakan pembatasan kuota pernah dilakukan oleh Amerika pada tahun 1970an, ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan masyarakat disana lebih memilih membeli mobil yang lebih kecil dengan tujuan penghematan terhadap bahan bakar yang notabene merupakan produk dari Jepang. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya, Amerika mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang yang bisa masuk ke Amerika. Meskipun kebijakan ini untuk melindungi pasar domestik, tetap saja kebijakan-kebijakan ini bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yaitu penghapusan segala hambatan-hambatan yang mengganggu arus perdagangan antar negara.

            Pertentangan antara perdagangan bebas dan kebijakan proteksionis merupakan masalah yang kompleks dan rumit untuk diselesaikan. Disatu sisi perdagangan bebas yang mendorong terbukanya pasar tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan ketimpangan antara ekspor dan impor terutama bagi negara-negara berkembang. Pasar domestik yang dikuasai barang-barang impor berbanding terbalik dengan angka produk yang berhasil di ekspor. Sementara di sisi lainnya, negara berkewajiban untuk melindungi dan menyeimbangkan angka impor dan ekspor tadi agar pasar domestiknya tetap berjalan. Negara seolah dihadapkan pada dilema, apakah terus dengan perdagangan bebas atau memilih kebijakan proteksionis untuk menyelamatkan pasar domestiknya. Kebijakan proteksionis dianggap sebagai jalan keluar sekaligus benteng bagi ekonomi negara yang baru tumbuh. Namun begitu, proteksionisme juga dapat ditemukan pada negara yang sudah mapan. Kedaulatan ekonomi nasional tampaknya menjadi justifikasi utama dari proteksionisme. Secara historis, proteksionisme bahkan lebih sering ditemui daripada perdagangan bebas.[2] 
    Kebijakan ini jelas mengganggu sistem perdagangan yang bebas, meskipun begitu proteksionisme tidak pernah benar-benar bisa dihapuskan. Justru belakangan bentuk proteksionisme baru lahir dalam bentuk hambatan non tariff ditambah penggunaan isu-isu non-ekonomi seperti kesehatan, lingkungan dan perlindungan buruh. Isu-isu ini digunakan untuk mengaburkan tujuan sebenarnya yakni untuk melindungi pasar domestiknya dari serbuan barang impor. Mirisnya negara-negara maju menjadi pionir dalam penggunaan isu-isu ini. Kasus terbaru yang sampai saat ini masih dirundingkan oleh WTO adalah tindakan Amerika yang menggunakan Country of Origin Labelling (COOL) dikaitkan dengan isu kesehatan untuk menghindari produk impor dari Kanada. Produk dari Kanada khususnya produk livestock hewan ternak (sapi, babi) dituding Amerika terkontaminasi penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau sapi gila serta virus H1N1. Tindakan Amerika ini tentu saja memberikan kerugian tersendiri bagi industri Kanada, karena tidak lagi bisa mengimpor produk-produk mereka ke pasar Amerika. Ini juga menjadi hambatan bagi terciptanya perdagangan yang bebas dan adil.
    Perdagangan bebas sebenarnya telah mencapai tahap kulminasi ketika pembentukan WTO sebagai satu-satunya wadah internasional bagi perdagangan global. Sangat jelas agenda yang ingin dicapai adalah perdagangan yang bebas tanpa hambatan dan proteksi yang dianggap merusak dinamika pasar dan kebebasan untuk berkompetisi. Kemunculan isu-isu proteksionisme ini tentu saja menjadi penting karena dapat mematikan persaingan dan kebebasan perdagangan antar negara. Proteksionisme juga mengakibatkan turunnya pertumbuhan ekonomi secara global[3] dikarenakan setiap negara akan berlomba-lomba dalam memproteksi pasar domestiknya. Pada tahun 2012 saja terdapat sedikitnya 123 kebijakan perdagangan baru diseluruh dunia yang bersifat menghambat dan memperketat perdagangan[4]. Angka yang cukup besar dan sangat mungkin untuk memberi pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara global.
    Kebijakan bersifat proteksionis juga memberi dampak bagi konsumen, konsumen dapat dirugikan karena terbatasnya pilihan dalam pasar yang ada[5]. Pada akhirnya kebijakan proteksionis akan selalu berujung pada fungsinya yang melumpuhkan, memaksakan dan mengeksploitasi pihak-pihak lain. Kerugian yang akan timbul tidak hanya pada produsen lokal saja, bahkan sampai konsumen asing pun akan terkena imbas dari kebijakan proteksionis ini. Oleh karenanya dibutuhkan peran yang kuat dari WTO dalam menyelesaikan isu-isu proteksionis ini agar tidak mengganggu pertumbuhan arus perdagangan global yang bebas dan adil.






1 Frieden, J. and Lake D. International Political Economy : Perspective On Global Power and Wealth. Fourth Edition. 306
[2] Robert Gilpin dan Jean Mills Gilpi. 2002. Tantangan Kapitalisme Global. Jakarta :  Grafindo Persada. hal 84
[3] “Proteksionisme dan pertumbuhan perdagangan global” dalam http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/48720/proteksionisme-juga-turunkan-pertumbuhan-perdagangan-global/. Diakses pada 14 Desember 2013
[4] Ibid
[5] Rothbard, M. N. 1986. Protectionism and The Destruction of Prosperity. Monograph. Hal 1-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar