“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Krisis Fordisme




Oleh : Ahmad Anwar 
Sistem produksi fordisme pada puncaknya menyebabkan krisis over-produksi yang menekan perusahaan di negara-negara kapitalis. Sistem mass production yang ditawarkan fordisme ternyata menyebabkan banjir barang-barang homogen yang beredar di pasar dunia. Hal ini terjadi karena sistem fordisme yang hanya berfokus pada penawaran tanpa mempertimbangkan permintaan dianggap terlalu kaku[1] dan menyebabkan sistem produksi seperti ini mengalami tingkat kejenuhan. Harga menjadi jatuh dan berimbas pada penurunan angka pertumbuhan dan tingkat upah.
Krisis fordisme mengalami puncaknya ketika terjadinya oil shock pada tahun 1973 yang menyebabkan hiper inflasi. Harga minyak dan bahan baku substansial ikut meningkat. Sehingga biaya produksi kian naik, termasuk biaya upah pekerja.
Krisis yang sudah mencapai pada tingkat batasnya tersebut dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu teknis, ekonomis, dan sosial:[2]
1.      Pada aspek teknis kemampuan untuk meningkatkan produktivitas dengan berusaha mencapai economies of scale dengan proses de-skilling dan mengintensifkan para pekerja sudah tidak mungkin diterapkan lagi karena munculnya aksi perjuangan kelas yang menentang atas model produksi  ‘mass-worker’ pada sistem fordisme[3].
2.      Pada aspek ekonomi disebabkan oleh turunnya  keuntungan yang diakibatkan dari meningkatnya modal komposisi organis yang terdiri dari buruh pekerja dan alat (mesin, bahan baku dan lain-lain). sementara tuntutan upah buruh semakin meningkat padahal produktivitas menurun dan pasar homogen yang semakin terbatas.
3.      Pada aspek sosial, fordisme dianggap sudah mencapai batas karena meningkatnya tekanan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya hak preogratif  yang dimiliki manajemen pabrik sementara transparansi keuangan yang dituntut oleh para pekerja yang terjebak dalam upah yang stagnan dan pengangguran massal.

Kemudian muncul beberapa pandangan mengenai krisis fordisme. Perdebatan yang mengemuka adalah mengenai tingkat konsumsi yang rendah dan peran negara dalam kebijakan ekonomi (khususnya dalam hal impor manufaktur).
Pertama, Persaingan pemasaran yang menimbulkan tingkat penjualan rendah tersebut berimbas pada turunnya tingkat upah. Kekuatan-kekuatan produksi massal jauh melebihi kapasitas pekerja untuk mengonsumsi, sehingga pasar di lingkungan internal pun mengalami penurunan drastis. Pekerja-pekerja industri manufaktur telah terjebak pula dalam kondisi konsumsi rendah.
Kedua, peran negara dalam kebijakan ekonomi. Fordisme di Amerika Serikat pada kenyataannya memberikan peluang bagi peran negara dalam ekonomi  terkait penanganan krisis melalui kebijakan regulasi yang mendukung pasar yang kompetitif. Sementara di negara-negara industri baru, lebih dari itu peran pemerintah jauh lebih besar. Terutama dalam merangsang pertumbuhan industri, pemerintah melakukan proteksi pasar domestik demi peluang pasar industrinya.[4]
Dalam pandangan saya, negara dunia ketiga mempunyai dwifungsi bagi dunia pertama. Sebagai sumber bahan baku untuk industri manufaktur, dan sebagai pasar bagi industri mereka. Pada perkembangannya, negara-negara di dunia ketiga mengorientasikan produk mereka pada Home Market. Di mana pemerintah mengambil peran besar dalam menyokong dan merangsang industri, sebagaimana di Korea dan Taiwan. Hal ini menyebabkan produk massal manufaktur Amerika kehilangan sebagian besar pasar potensialnya di dunia ketiga. Sementara untuk mengalihkan pasar ke negara miskin pun bukan pilihan untuk meningkatkan angka penjualan, karena sebagian besar masih dalam masyarakat dengan tingkat konsumsi yang rendah.

Sumber:
Clarke, Simon. 2010. “The Crisis of Fordism and the Crisis of Capitalism.” Department of Sociology, University of Warwick. Diakses pada 30 September 2013 pukul 13.13 wib dari homepages.warwick.ac.uk/~syrbe/pubs/telos.pdf
Hoogevlt, Ankie. 2001. “Flexibility and Informationalism,” dlm Globalization and the Postcolonial World, The New Political Economy of Development. Hampshire, Palgrave
Tunggal, Aprilia Restuning. 2013. “Ilmu Hubungan Internasional: Politik, Ekonomi, Keamanan dan Isu Global Kontemporer.” Yogyakarta: Graha Ilmu


[1]  Hoogevlt, Ankie. 2001. “Flexibility and Informationalism,” dlm Globalization and the Postcolonial World, The New Political Economy of Development. Hampshire, Palgrave. Hal.96
[2] Tunggal, Aprilia Restuning. 2013. Ilmu Hubungan Internasional: Politik, Ekonomi, Keamanan dan Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.4
[3] Clarke, Simon. 2010. “The Crisis of Fordism and the Crisis of Capitalism.” Department of Sociology, University of Warwick. Hal.37
[4] Ibid. Hal.6-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar