“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Sejarah Kemunculan Sistem Produksi Fordisme



Oleh: Caesar Ardian Oktawa


            Setahun sebelum meletusnya Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1913, lahir sebuah mekanisme sistem produksi global yang dipelopori oleh Henry Ford. Mekanisme ini berawal dari penerapan sebuah alur mekanisme produksi dalam industri otomotif, khususnya untuk merk mobil Ford pada saat itu. Henry Ford pada saat itu menemukan sebuah asas persamaan antara produksi massal dengan konsumsi yang masif dan hal tersebut menjadi acuan dasar dalam mengembangkan sistem ini ke industri mobil yang dimilikinya. Henry Ford berkeyakinan bahwa sebuah produksi massal akan berbanding lurus dengan tingkat konsumsi massal, jadi ketika sebuah produk tersedia di pasar secara massal, maka tingkat konsumsi dari konsumen itu sendiri akan meningkat dan semakin besar. Melihat pada keberhasilan Ford itu sendiri, Antonio Gramsci kemudian menulis sebuah essay tentang Americanism and Fordism, sehingga istilah sistem produksi global yang Ford lakukan dikenal luas dengan istilah Fordisme.
            Keberhasilan Ford dalam memacu tingkat produksi massalnya ini pada saat itu kemudian menginspirasi pemerintah Amerika Serikat. Kehancuran Eropa pasca Perang Dunia I oleh Amerika dilihat sebagai sebuah pasar yang potensial, oleh sebab itu Pemerintah Amerika Serikat mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dan meningkatkan ekspor mereka dengan sistem produksi yang diilhami dari Ford untuk ditujukan ke Eropa dan berbagai negara dunia ketiga pada saat itu. Praktis dapat dikatakan pula di saat itulah dimulai ekspor produk-produk Amerika Serikat dalam alur perdagangan dan perekonomian dunia.
 Fenomena dan situasi yang menjadikan Fordisme itu sendiri berkembang sangat pesat ialah berawal pada situasi krisis global yang terjadi pada dekade antara tahun 1929 hingga tahun 1939. Situasi krisis ini dikenal secara internasional sebagai The Great Depression dan telah menjadi sebuah sejarah besar dalam dunia Ekonomi Politik Internasional karena kemucnulan ide-ide baru tentang peranan negara terhadap mekanisme produksi, berjalannya pasar, dalam bentuk beberapa kebijakan yang substansial. Situasi The Great Depression yang ditandai dengan runtuhnya nilai saham di Amerika Serikat mengakibatkan banyaknya kerugian di sektor industri, kenaikan dari biaya produksi, dan penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang mengakibatkan industri mengalami kemacetan. Di sisi lain akibat dari kemacetan sektor industri mengakibatkan bertambahnya angka pengangguran.

            Pada akhirnya muncul gagasan dari seorang ekonom Inggris bernama Keyness yang berpikiran bahwa negara perlu mengintervensi pasar untuk menjaga dinamika yang stabil antara investasi dalam kaitan penyediaan barang yang diproduksi dengan tingkat konsumsi dari masyarakat.  Menurut Keyness, peran penting negara dan pemerintahan mencakup fungsi penganggaran, pembelanjaan, pemegang kebijakan terhadap pajak, kredit dan suku bunga.(Plano and Olton;1999). Setelahnya, Amerika Serikat kemudian mengadopsi pemikiran Keyness dengan membuat beberapa kebijakan untuk sektor industri, perbankan dan perdagangannya yang meliputi proteksi perdagangan, rekonfigurasi kebijakan smoot-hawley tarrif, menjalin kerjasama dengan negara lain untuk menghadapi deflasi, mengkaji ulang penggunaaan emas sebagai exchange rate dan dengan meningkatkan nilai tukar mata uang, pemberian fasilitas kredit lunak dan jaminan kerja pada tenaga kerja yang terkena imbas dari krisis. Hal ini kemudian menstimulan industri Amerika Serikat untuk lebih produktif dan ekspansif.
Fordisme yang berangkat pada pemikiran tentang peningkatan tingkat konsumtif masyarakat dapat ditingkatkan dengan peningkatan angka produksi secara massal kemudian mulai berpikir bagaimana untuk mencapaianya. Dalam peningkatan angka produksi sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku industri saja, namun juga bagaimana faktor-faktor produksi yang lain seperti buruh dan modal dapat dimaksimalkan perannya untuk mendapatkan tujuan, namun di sisi lain tingkat efisiensi dari kegiatan produksi harus tetap terjaga. Dalam menyiasati hal-hal tersebut, maka Ford membuat sebuah terobosan produksi massal yang revolusioner pada saat itu. Konsep produksi massal yang dilakukan oleh Ford saat itu ditopang dengan 3 mekanisme penting dalam menjalankannya, yakni:
1.)    Standarisasi, disertai penggunakan teknologi dalam alat-alat produksi,
2.)    Peningkatan upah buruh.
3.)    Pembagian unit-unit produksi untuk mempercepat kegiatan produksi.
Standarisasi ini dengan maksud menggunakan tenaga kerja yang terampil dan terdidik serta alat-alat produksi menggunakan teknologi maju. Hal ini diasumsikan jika menggunakan tenaga kerja yang terdidik, alat yang canggih, maka secara otomatis, barang yang dihasilkan dari proses produksi akan lebih terjamin mutunya. Hal ini mengakibatkan terpengaruhnya pemikiran konsumen terhadap sebuah barang. Konsumen menilai bahwa barang-barang yang berasal dari industri-industri maju secara kualitas dianggap lebih unggul.
Selain itu pula perubahan pola kerja produksi ini mengakibatkan meningkatnya ongkos untuk memenuhui kebutuhan buruh sebagai salah satu faktor produksi terpenting. Oleh karenanya Fordisme melihat bahwa untuk menjaga hubungan kerja antara buruh dengan industri, maka ditingkatkan pula gaji buruh, namun struktur kerjanya kemudian dipecah kedalam unit-unit terkecil yang terintegrasi dalam satu jalur. Unit-unit ini hanya memproduksi komponen-kompenen dari barang dan setiap unit memiliki tugas dan jenis produksi kompenen yang berbeda. Dalam hal ini terdapat jalur produksi yang diarahkan dengan waktu yang sama dalam penyelesaian kegiatan produksi komponen tersebut. Hal inilah yang nantinya dikenal dengan mekanisme produksi Assembly Line atau Asembling..
Mekanisme unit-unit produksi ini kemudian menjadi tolak ukur dan diilhami oleh kalangan-kalangan industri maju dalam kegiatan produksinya. Hal yang utama dalam melihat mekanisme inilah adalah bagaimana angka produksi dapat dicapai secara besar dengan waktu yang relatif cepat sehingga dikatakan efisien dan efektif karena dengan tempo singkat barang akan jadi dan siap untuk dipasarkan. Ford mengatakan bahwa dengan mekanisme produksi berdasar unit-unit kerja, tempo produksi dari satu mobil yang biasanya menghabiskan waktu 728 menit, dapat diminimalisir hingga hanya selama  93 menit. Selain itu pula dengan sistem kerja shift, maka pabrik dapat menjalankan kegiatan produksi selama 24 jam non stop sehingga target produksi dapat terkejar dengan cepat dan efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar