“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Hubungan Internasional


Diketik dari mata kuliah Perspektif Hubungan Internasional
 
Politik internasional merupakan sesuatu yang sifatnya real, dan untuk melihat fenomena yang ada dalam politik internasional kita membutuhkan alat apa yang dinamakan dengan kacamata. Adapun kacamata dalam melihat fenomenta internasional terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah: Paradigma, Perspektif, Teori, Konsep. Konsep sendiri adalah nama yang diberikan untuk sebuah kejadian atau fenomena. Yang mana konsep tersebut merupakan hasil dari “mendefinisikan” (membatasi) unsur-unsur dimensi dari aspek pembentuk fenomena tersebut atau yang bisa kita sebut sebagai variabel. Yang pada akhirnya dari beberapa variael tersebut kita bisa melihatr adanya indikator.
Adapun tiga proses penting dalam membangun sebuah konsep adalah: Adanya pendefinisian, variabel, dan indikator. Konseo disini dapat kita ibaratkan sebuah jaring yang mana kita gunakan untk memilah-milah sebuah fenomena. Adapun proses generalisasi kita gunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Sedangkan teori berfungsi untuk menjelaskan sekumpulan argumentasi yang nantinya dapat berupa sebuah bentuk penjelasan atas hubungan antara dua konsep (fenomena). Cateris Peribus (kondisi tidak terkendali). Perspektif sendiri merupakan sebuah bentuk imajinasi yang kita bangun pada dunia nyata. Dimana dunia internasional terbagi pada sistem dan juga text (discourse).

Perspektif-Perspektif Politik Global



Diambil dari mata kuliah Perspektif Dalam Hubungan Internasional
 
Fungsi dari mempelajari perpektif global adalah agar kita dapat menangkap fenomena-fenomena  sosial dengan menggunakan teori-teori yang ada. Yaitu dengan menggunakan pertanyaan “Apa yang sebenarnya berubah?”, “Seberapa jauh perubahan tersebut?”. Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan melihat aktor-aktor yang ada di dalam fenomena tersebut. Dan dalam kajian Hubungan Internasional akan terdapat banyak sekali aktor yang bermain karena tidak hanya negara saja.  Fenomena yang terjadi dalam Hubungan Internasional juga dapat dilihat dan dipelajari melalui isu-isu yang ada. Dimana pada Hubungan Internasional klasik, perang selalu dijadikan sebagai penanda (R.Gilpin). Teori yang telah dominan dan berkembang saat itu, tidak lagi dapat melihat fenomena yang ada. Pertanyaan besarnya adalah “ Benarkah ada perubahan signifikan didalam Hubungan Internasional?”.
Dalam kajian ilmu Hubungan Internasional, tidak ada teori yang sifatnya sebagai teori subtitutif (teori pengganti). Karena dalam melihat sebuah fenomena yang terjadi, itu tergantung pada cara kita, fokus kita, dan logika kita dalam melihat fenomena yang terjadi. Kita tidak melihat melalui apa perbedaaan dari teori yang di teliti, namun lebih kepada melihat apa yang membedakannya. Apa sebenarnya logika yang mendasari-teori-teori tersebut. Pada dasarnya, masalah tidak terletak pada masalah itu sendiri, namun masalah justru terdapat dari bagaimana posisi atau cara pandang kita pada masalah atau fenomena tersebut.
Terdapat dua kemungkinan dalam melihat sebuah fenomena yang ada. Pertama adalah justru memperkuat teori yang kita gunakan, atau yang kedua adalah justru akan membuat kita mengubah posisi kita. Kedua hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.









Oval: Empiris


Oval: Reflektif







 



-          Data                                                                               - Construcion
-          Realism                                                                                        - Text
-          Fakta                                                                                             - Discourse
EXPLAIN   (UNDERSTAND INTERAKSI DAN INTEPRETASI)   EMANSIPATIF
      TEORI KRITIS: Memahami, Mengendalikan, dan Membebaskan





Faktor-Faktor Penyebab Krisis Demokrasi



Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama
Demostrasi yang terjadi adalah adanya dua kubu yang saling berseteru. Dimana terdapat kaos merah bagi meraka yang mewakili kalangan kelas bawah dan kubu kaos kuning yang mewakili masyarakat kelas menengah ke atas. Krisis demokrasi yan gada diThailand dapat dikatakan diakibatkan oleh adanya globalisasi yang masuk ke negara tersebut. Dimana nilai-nilai demokrasi yang dibawa masuk ke Thailand belum dapat berjalan selaras dengan nilai-nilai yang telah ada sejak lama di Thailand seperti bagiamana masyarakat Thailand sangat menghargai raja di Thailand. Yang menarik dari proses demokrasi di sini adalah, Thailand sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki keunikan dan problematika karena adanya kepemimpinan raja yang kuat sebagai hal yang tidak dapat di tawar namun membuka diri untuk penerapan demokrasi. Hubungan raja dan orang Thai atau masyarakat Thailand begitu kuat dan tak mungkin dipisahkan karena merupakan bentuk turunan dari kepercayaan tradisional Thailand, raja di tempatkan sebagai inti dari doktrin Ekalak Thai. Sedangkan nilai-nilai demokrasi lebih merunut pada nilai-nilai kontemporer yang lebih mengacu pada sistem yang berasal dari barat dengan budaya yang berbeda. Raja dipandang sebagai otoritas moral di negara tersebut. Selain itu arus teknologi inormasi yang semakin berkembang pesat juga memberikan dampak pada demkratisasi di suatu negara. Ketimpangan arus informasi dapat mengakibatkan informasi yang ada di suatu tempat tidak sama dengan yang berada di tempat lainnya. Dengan adanya ketimpangan informasi juga turut serta membawa ketimpangan ekonomi yang menjadikan adanya jurang  pemisah antara si miskin dan si kaya. Diana dalam hal yang seperti ini, demokrasi tidak akan dapat berjalan baik jika mayoritas masyaraktnya masih berada dalam garis kemiskinan.[1]

Krisis Demokrasi di Thailand



Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama
Protes anti pemerintah sedang berlangsung di Thailand sejak awal November 2013. Setelah stabilitas yang cukup memuaskan selama 3 tahun, demonstrasi di Bangkok kembali terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan kepada Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra dituntut oleh masyarakat Thailand untuk mundur dari jabatannya. Demonstrasi besar-besaran ini dipicu kontroversi RUU Amnesti Politik yang didukung pemerintah. Para demonstan menilai dukungan pemerintah atas RUU tersebut merupakan upaya untuk memberi peluang Thaksin kembali ke Thailand tanpa menjalani hukuman atas kasus korupsi. Untuk menghentikan demontrasi, PM Yingluck berencana mengadakan Pemilu di bulan Februari. Usul tersebut ditolak oposisi yang menghendaki pembentukan dewan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sebelum pemilu, serta melaksanakan reformasi yang memerangi korupsi. Krisis politik yang berlangsung telah sejak tahun 2013 tersebut memukul perekonomian Thailand dan menelan korban jiwa. Hal ini memicu kekhawatiran terkait stabilitas politik dan keamanan di Thailand dan di Asia Tenggara pada umumnya.
Demonstrasi anti-pemerintah secara besar-besaran telah berlangsung di Bangkok. Kelompok anti pemerintah (oposisi) serta Komite Reformasi Demokrasi Rakyat atau People's Democratic Reform Committee (PDRC) menuntut PM Yingluck mundur dan melakukan reformasi sebelum pemilu. Demonstrasi ini melumpuhkan Bangkok (Bangkok Shutdown). Kelompok oposisi bersikukuh reformasi sistem pemilu harus dilakukan sebelum pemilu yang independen siap digelar setidak-tidaknya satu tahun lagi. Mereka menginginkan terbentuknya "dewan rakyat" yang ditunjuk untuk mengawasi reformasi sebelum pemilu mendatang. Dekrit keadaan darurat diberlakukan untuk meningkatkan keamanan dan memastikan bahwa pemilu dini 2 Februari yang ditentang oleh para demonstran dapat berjalan tanpa gangguan. Sampai pada tanggal 22 Januari 2014, demonstrasi anti-pemerintah terus berlanjut di ibukota Bangkok sementara demonstrasi dengan kekerasan telah meluas di wilayah Thailand Utara.[1]

Implementasi Demokrasi di Thailand Tahun 2013



Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama
Thailand banyak mengalami masa transisi demokrasi yang sangat panjang, melalui beberapa kerusuhan disetiap kepemimpinan Thailand, sejak tahu 1932-2006 sudah terjadi 23 kudeta militer dan 18 kali perubahan konstitusi.[1] Tahapan demokrasi di Thailand diawali dengan aksi kudeta untuk membatasi kekuasaan raja dan memenuhi keinginan masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Penerapan demokrasi di Thailand sebenarnya bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisionalnya karena semangat demokrasi yang tidak sejalan dengan nilai tradisional Thailand. Esensi dari demokrasi adalah peran maksimal dari rakyat. Pemikiran ini apakah sejalan dengan pada nilai-nilai tradisional Thailand kedaulatan kekuasaan pada raja. Keputusan raja bertujuan untuk stabilitas dan perdamaian orang Thailand karena raja berkeinginan adanya ketentaraman pemikiran orang Thailand terhadap perdaban tradisional dan perdaban modern, dimana mereka menerima demokrasi sebagai bagian dari pemerintahan Thailand.
Transisi yang paling besar di Thailand ketika Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dikudeta. Thaksin membuat sejarah dengan terpilihnya ia pada tahun 2005 sebagai Perdana Menteri pertama yang melayani dua periode 2001-2006. Selama jabatannya Thaksin diduga melakukan korupsi, gagal melakukan pemberontakan di selatan, namun ketanggapannya dalam krisis tsunami menaikkan popularitasnya menjelang pemilu. Mendapatkan kritik intens ketika menjual perusahaan keluarganya hampir 2 miliar dolar tanpa membayar pajak.[2] Kemudia dituntut untuk mengundurkan dirinya, jatuh nya rezim Thaksin menyebabkan masyarakat terbagi dalam dua kubu (pro dan kontara), kesempatan itu kemudian dimanfaatkan oleh militer dalam mengamankan kesetabilan politik, bahkan kontra terhadap Thaksin

Faktor-faktor Penyebab Krisis Demokrasi



Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama
1)      Instabilitas Keuangan Global
Instabilitas keuangan global dan demokrasi memiliki hubungan yang terjadi secara tidak langsung. Meskipun demikian, sifat dasar keuangan global yang menciptakan “ketidakamanan” ekonomi negara nasional dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh krisis keuangan jelas memiliki kontribusi pada demokrasi. Ketidak stabilan keuangan global telah menciptakan krisis ekonomi yang dalam banyak kasus menjadi celah penting masuknya kekuasaan global dalam perekonomian nasional. Selain itu, krisis keuangan yang ditandai dengan anjloknya nilai mata uang suatu negara, membawa pada krisis ekonomi yang, dalam banyak kasus, melipatgandakan kemiskinan.[1]
Misalnya di Indonesia, krisis moneter yang berujung pada krisis ekonomi telah menjadi katalisator bagi demokratisasi politik. Kegagalan rezim otoriter Soeharto dalam menangani krisis telah menyulut demonstrasi yang berujung pada kejatuhan rezim tersebut dan membawa Indonesia pada era reformasi. Di sini, krisis moneter kemudian memberikan sumbangan signifikan bagi usaha membangun demokrasi di Indonesia. Meskipun akibat yang ditimbulkan krisis ternyata meciptakan sisi lain yang merusak.[2]
Krisis ekonomi yang terjadi di penghujung 1997 telah melipatgandakan penduduk miskin di Indonesia. Menurut laporan BPS, kemiskinan (pada bulan Juni 1998 saat terjadi krisis) adalah sekitar 39%; sedangkan UNDP/ILO mencatat proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melompat dari 11% menjadi 48%. Kondisi yang semakin diperburuk dengan tingginya jumlah anak putus sekolah. Sementara itu, dalam rangka pemulihan krisis, pemerintah yang telah berada di ujung kejatuhan mengundang IMF untuk menyelesaikan krisis, dan sebagai syarat pemerintah harus menandatangani Lol. Lol ini berisi program-program penyesuaian struktural yang berisi tiga hal pokok, yakni liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Dikuranginya subsidi oleh pemerintah sebagai bagian dari program struktural IMF telah menyulut demostrasi dan kerusuhan di banyak tempat, dan membuat orang miskin semakin miskin. Lamanya krisis telah menciptakan ketidakpastian dalam masyarakat, dan membuat proses demokrasi tensendat mengingat kinerja ekonomi menjadi dalah satu variabel penting keberhasilan demokrasi. Di sisi lain, proses demokrasi menjadi semakin mahal oleh biaya-biaya kampanye. Akibatnya, para pemimpin politik banyak yang menjadi “titipan” perusahaan-perusahaan besar, sehingga ketika mereka memegang tampuk kekuasaan agenda pemberi modal menjadi prioritas utama dibanding masyarakat.[3]

Kerangka Konseptual Mengenai Definisi Krisis Demokrasi


Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama

Di era globalisasi dewasa ini, isu mengenai demokrasi menjadi semakin relevan untuk diperbincangkan karena setidaknya dua alasan pokok. Pertama, pergeseran kekuasaan yang mendorong pentingnya melakukan pendefinisian ulang atas peran negara. Jika entitas negara menjadi “ruang politik” demokrasi, maka transformasi politik yang diakibatkan oleh globalisasi mestinya mendorong pentingnya diskusi mengenai hal tersebut lebih lanjut. Kedua, menguatnya tatanan neoliberal yang menciptakan kemiskinan dan ketimpangan dalam skala luas. Jika kondisi sosio-ekonomi merupakan variabel penting yang harus dipertimbangkan ketika kita membahas demokrasi, maka persoalan pokoknya adalah bagaimana neoliberalisme memberikan kontribusi atas hal tersebut. Karena Robert Dahl telah mengingatkan, kapitalisme modern cenderung menciptakan ketimpangan dalam sumber daya sosial dan ekonomi yang sangat besar yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap persamaan politik dan, karena itu, terhadap proses demokrasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat suatu visi demokrasi yang juga menjamin tidak hanya hak-hak politik warga negara, tetapi juga hak-hak sosial-ekonomi.[1]
Merujuk pada Stiglitz, Puji Rianto, Peneliti Pada Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, mengemukakan bahwa keuntungan perdagangan bebas tidak bisa dimanfaatkan oleh semua negara di dunia karena ketiadaan informasi yang sama. Dalam hal ini, ada orang-orang atau masyarakat yang mempunyai cukup informasi (the have) dan ada orang-orang atau kelompok masyarakat yang tidak mempunyai cukup informasi (the have not). Rianto juga mengemukakan bahwa tatanan neoliberal telah membuat akses informasi semakin timpang. Hal ini disebabkan, seperti apa yang dikemukakan Herbert Schiller, inovasi informasi dan komunikasi sangat dipengaruhi oleh tekanan-tekanan pasar melalui pembelian, penjualanan dan perdagangan dalam rangka mencetak keuntungan. Pada akhirnya, ketidakimbangan kelas (class inequalities) menjadi faktor utama yang menentukan distribusi, akses dan kapasitas untuk menghasilkan informasi.[2]

Globalisasi Dan Krisis Demokrasi Studi Kasus : Krisis Demokrasi Thailand 2013



Oleh:

Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama 


“Fukuyama’s belief that  western forms of government and political economy are the ultimate destination which the entire human race will eventually reach poses a number of challenges for orthodoxy within International Relations”[1]

Optimisme Fukuyama pada model pemerintahan barat menggambarkan konteks pada saat itu (akhir era 80-a) kemenangan ideologi liberal atas sosialisme di Uni Soviet. Fukuyama percaya bahwa bentuk pemerintahan yang ideal adalah model berat dengan menekankan kebebasan pada segi ekonomi politik. Dalam bentuk ekonomi adalah pasar bebas dan dalam bentuk politik adalah demokrasi. Sebagaimana kaum Liberal percaya seperti Immanuel Kant bahwa perdamaian adalah kondisi paling normal dari situasi internasional, perang menjadi keabnormalan bagi sejarah umat manusia. Kaum Liberal percaya bahwa pasar bebas dan demokrasi adalah resep untuk mencegah perang itu terjadi. Demokrasi akan mencegah elitism kaum arstikorat sedangkan pasar bebas akan menghindarkan batas-batas antar manusia yang berbeda secara geografis dan menyatukan mereka dalam kepentingan dan komunitas yang sama.

Konsep Intervensi Dalam Hubungan Internasional


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Menurut definisi, Intervensi merupakan sebuah tindakan yang dimaksudkan, direncanakan, dan ditargetkan beroperasi pada sistem atau proses yang bertujuan untuk menghilangkan atau mencegah fenomena yang tidak diinginkan[1]. Intervensi internasional di banyak negara-negara yang ada di dunia telah mengambil banyak bentuk baik dari segi militer, ekonomi dan politik. Bentuk intervensi memiliki masalah dalam prinsip dan praktek. Tidak peduli seberapa baik niat negara untuk mengintervensi, tetap saja negara kedua tidak dapat menghindari intervensi tersebut.Konsep intervensi bukanlah merupakan sebuah konsep yang baru, dimana konsep Intervensi internasional mengacu pada intervensi situasi dan kondisi yang ada di masyarakat yang melintasi lintas batas negara. Intervensi internasional adalah pelanggaran wilayah suatu unit yurisdiksi , yang dilakukan oleh unit-unit lain dalam sistem. Sejak jatuhnya Tembok Berlin , dan bersamaan dengan itu runtuhnya komunisme dan lenyapnya dominasi bipolar dari panggung dunia. Dalam beberapa kurun waktu terakhir intervensi internasional, menjadi masalah yang telah mendominasi wacana dalam hukum internasional. Dari pendekatan yang lebih liberal, Intervensi dibenarkan untuk meluruskan kesalahan dan melindungi yang tidak bersalah[2]

Point-Point Penting Ekonomi Setelah Fordism dan Perkembangan Ekonomi Setelah Fordisme



(Mata Kuliah Ekonomi Politik Global 26 Maret 2014)
Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Menurut Jessop, Fordism ke Post-Fordism didasari oleh beberapa faktor:
  • Mulai bermunculannya teknologi baru. 
  • Proses intenasionalisasi.
  • Perubahan paradigma.
Analisa Lipietz yang membagi dua sebab dari perubahan Fordism ke Post-Fordism:
  • Faktor internal, karena adanya ketidak percayaan lagi terhadap system Fordisme didalam negeri, mengingat ketidak mampuannya dalam mencegah dampak krisis.
  • Faktor eksternal, karena semakin kuatnya interaksi internasional dan kompetisi diantara Negara-negara dunia yang juga membuat andil perubahan.
Kritik Fordisme:
·         Adanya kesadaran paradigma masyarakat kelas pekerja di AS bahwa krisis di AS lebih dilatarbelakangi intensifikasi kelas buruh/pekerja terkait produksi, dimana jumlah pendapatan mereka tak sebanding dengan produk yang mereka hasilkan.
·         Mikde Davis yang mendefinisikan bahwa Demokrasi di AS adalah Demokrasi Kapitalisme dibawah ekspansi  dan pengawasan Demokrasi Borjuis dan Konsumsi Massal akan segera menemukan titik akhirnya.
Post-Fordisme sendiri telah melahirkan berbagai argumentasi dari berbagai pakar dengan berbagai macam pendekatannya, berikut beberapa pendekatan itu:
  • Kelompok Neo-Smithian: berpandangan bahwa dalam mekanisme produksi jangan lagi bergantung pada produksi masal tapi mulai menggunakan mekanisme Flexible Specialization
  • Kelompok Neo-Schumpeterian: berdasarkan pendekatan long wave, yang menitik beratkan pada paradigma Techno-Economy, yang menjelaskan bahwa perputaran ekonomi dunia kedepannya berdasarkan perkembangan dan kuatnya arus tekonologi informasi dan komunikas. 
  • Kelompok Neo-Marxian (kelompok eko-pol Perancis): kelompok ini menitik beratkan perhatiannya pada struktur regulasi yang dibuat oleh system kapitalis dalam menghadapi tantangan krisis, instabilitas dan perubahan, dan kelompok ini tidak menekankan adanya revolusi kepada sistem kapitalis jika ada krisis, tapi menekankan perlu adanya reorganisasi dan ­rejuvenate kembali

Perubahan perilaku sosial pada Masyarakat Suku Togutil” di Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan Maluku Utara



 Oleh: Ya'cub Usman (Mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2009)        
           Masyarakat adat dalam tradisi modern dikenal dengan istilah “indigenous society”,  yang secara harafiah berarti seseorang yang dianggap memiliki keaslian kehidupan. Adat dapat diartikan “pribumi” digunakan semata-mata sebagai suatu kata sifat, orang-orang yang berasal dari suatu kultur atau kelompok menghormati asal usul mereka dengan perasaan, pemaknaan dan pengertian yang mendalam atas suatu wilayah yang mereka tempati. Masyarakat adat memiliki karakter yang membatasi diri dan mengidentikan diri mereka sebagai sebuah kelompok kecil yang memiliki otoritas dalam menempati sebuah wilayah tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati secara konvensional (Aman, 2008).
            Begitupun halnya dengan masyarakat suku Togutil yang ada di kecamatan Oba, bila mendengar kata Togutil maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dan sebagainya, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengar. Bagi orang Ternate kata Togutil sebagai sebuah istilah, identik dengan makna kata primitif, keterbelakangan, kebodohan, ketertinggalan, serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya (Latif, 2009).
          Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudara yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.[1] Dengan kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyak saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera. Walaupun mereka masih primitif karena cara hidup secara nomaden tanpa merubah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan janganlah sekali-kali merusak alam (Latif, 2009).