“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Proteksionisme Dalam Perdagangan Global Studi Kasus: Country of Origin Labelling (COOL) sebagai Bentuk Proteksionisme Terselubung AS terhadap Kanada




Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Cut Fitri Indah Sari, Dian, Trianita Lestari, Novian Uticha Sally     



Dalam orde ekonomi-perdagangan neo-liberal yang berlaku secara global seperti saat ini, setiap negara seakan diwajibkan mengikuti arus pasar bebas (free trade) dan keterbukaan pasar (open market) tanpa kecuali. Negara dituntut untuk membuka pasar domestik seluas-luasnya bagi masuknya produk-produk asing dengan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif, kuota, dan sebagainya, termasuk negara-negara berkembang yang notabene seringkali dianggap menerapkan kebijakan-kebijakan proteksionisme demi melindungi kepentingan nasionalnya. Negara-negara maju pun berupaya untuk membuka proteksi yang diterapkan pemerintah negara-negara berkembang terhadap pasar domestiknya dengan alasan mendasar bahwa mereka tidak mematuhi prinsip perdagangan bebas. Akan tetapi, kecenderungan negara-negara maju untuk memonopoli keuntungan dari perdagangan global pun tak jarang memunculkan kontradiksi, dimana negara maju justru turut menggunakan kebijakan-kebijakan serupa secara implisit sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor. Mereka seringkali menggunakan isu-isu non-perdagangan ataupun non-tariff barriers, salah satunya isu kesehatan.
Salah satu kasus yang melibatkan isu proteksionisme non-perdagangan ialah Country of Origin Labelling (COOL) yang melibatkan proteksionisme AS terhadap Kanada. Sebagai bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada, AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Upaya Kanada untuk membawa kasus ini ke dispute settlement body di WTO hingga Agustus 2013 masih berada dalam proses dan masih berlanjut sampai sekarang. Inilah salah satu alasan mengapa isu tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut. Rumusan masalah yang kami ajukan dalam paper ini yaitu: Mengapa COOL dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme? Bagaimana hal ini mempengaruhi perdagangan antara AS dan Kanada?
Pembahasan
Isu Proteksionisme sebagai Isu Penting dalam Perdagangan Internasional
Terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur perdagangan global diharapkan dapat mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun dalam perkembangannya, perdagangan global dewasa ini justru banyak diwarnai oleh isu proteksionisme yang mengganggu kebebasan arus perdagangan antarnegara. Proteksionisme sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui tarif bea masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan aturan ekstrim seperti larangan impor.[1] Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru membuka sektor industri otomotifnya yang kala itu belum dapat bersaing dengan industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan lebih laku di pasaran. Contoh lainnya ialah kebijakan pembatasan kuota yang pernah dilakukan AS di era 1970-an. Ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan masyarakat AS lebih memilih membeli mobil berukuran kecil yang notabene merupakan produk dari Jepang dengan tujuan melakukan penghematan terhadap bahan bakar. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya, AS mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang yang diperbolehkan masuk ke AS. Meskipun kebijakan ini bertujuan melindungi pasar domestik, tetap saja hal ini bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas, yakni penghapusan segala bentuk hambatan yang mengganggu arus perdagangan antarnegara.

Isu-Isu Non Trade Sebagai Bentuk Proteksionisme Baru



        Sengketa perdagangan antara AS dan Kanada merupakan masalah yang serius dan perlu segera ditangani agar tidak merusak sistem perdagangan internasional. Ketegangan yang terjadi antara AS dan Kanada di bidang perdagangan menunjukkan bagaimana ketegangan antara motif liberal dengan merkantilis terjadi. Di satu sisi negara-negara menginginkan pasar bebas (free trade) dan keterbukaan pasar (open market) namun di sisi lain negara tidak bisa menjalankannya karena mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Upaya AS untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada menunjukkan bagaimana upaya negara maju yang menggunakan kebijakan-kebijakan proteksionisme sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor.
            Penggunaan isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan-menunjukkan bagaimana proteksionisme masih dan kemungkinan akan terus menjadi underlying issues dalam perdagangan antarnegara. Proteksionisme tidak akan benar-benar hilang karena hal ini sudah menjadi naluri negara untuk melindungi dirinya. Hambatan perdagangan non tarif bisa menjadi bentuk proteksionisme yang terselubung yang berusaha dilakukan oleh negara-negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
            Dalam kasus Country of Origin Labelling (COOL), kita bisa melihat bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada. AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa proteksionisme akan selalu terjadi dalam bentuk-bentuk baru dan akan terus menjadi persoalan, terutama bagi negara-negara yang semakin menggantungkan pendapatannya pada perdagangan internasional.[1] Negara-negara akan selalu tergoda untuk menerapkan regulasi terhadap perdagangan dengan berbagai alasan. Berbagai alasan yang kini tengah digunakan oleh negara-negara adalah alasan kesehatan, perlindungan buruh, agama, maupun lingkungan. Dari kasus sengketa AS dan Kanada ini kita bisa melihat bagaimana upaya AS dalam mengelola perdagangannya secara tegas untuk melindungi kepentingannya dengan menerapkan standar yang ketat di bidang kesehatan.

Isu Proteksionisme Sebagai Isu Penting Dalam perdagangan internasional


        Terbentuknya WTO (World Trade Organization) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur perdagangan global diharapkan bisa mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun dalam perkembangannya perdagangan global dewasa ini diwarnai isu proteksionisme yang mengganggu bebasnya perdagangan antar negara. Proteksionisme sendiri adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara melalui tarif bea masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan aturan ekstrem seperti larangan impor[1]. Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru membuka sektor industri otomotif, jelas industri ini belum bisa bersaing dengan industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan industri ini lebih laku di pasarnya. Contoh lainnya seperti kebijakan pembatasan kuota pernah dilakukan oleh Amerika pada tahun 1970an, ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan masyarakat disana lebih memilih membeli mobil yang lebih kecil dengan tujuan penghematan terhadap bahan bakar yang notabene merupakan produk dari Jepang. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya, Amerika mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang yang bisa masuk ke Amerika. Meskipun kebijakan ini untuk melindungi pasar domestik, tetap saja kebijakan-kebijakan ini bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yaitu penghapusan segala hambatan-hambatan yang mengganggu arus perdagangan antar negara.

Penyebab Munculnya Krisis Keuangan di Asia Timur Pada Tahun 1997


Oleh: Dian Trianita Lestari 

      Tentu masih sangat jelas di ingatan kita salah satu momen bersejarah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, yaitu digulingkannya rezim presiden Soeharto. Peristiwa tersebut merupakan salah satu contoh dari dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan di Asia yang bermula pada Juli 1997 di Thailand. Krisis yang tidak hanya berdampak pada stabilitas ekonomi regional tetapi juga di tingkat global tersebut akhirnya mewabah ke beberapa Negara bagian di Asia. Namun banyak yang berpendapat bahwa Thailand, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan lah Negara yang paling terkena dampak dari krisis tersebut.
      Tak ada asap tanpa api, maka tak mungkin krisis terjadi tanpa sebab-sebab tertentu. Berikut merupakan beberapa teori yang saya dapatkan dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai penyebab munculnya krisis keuangan di Asia Timur di tahun 1997:
1.      Teori krisis oleh Krugman (1999). Krisis yang melanda Asia Timur tidak terkait dengan defisit fiskal ataupun masalah yang terkait dengan fundamental ekonomi, namun lebih disebabkan oleh adanya kelebihan likuiditas yang kemudian berdampak pada runtuhnya sektor keuangan.[1]
2.      Teori Open Economy oleh Bernanke-Gertler (1989).[2] Teori ini menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan politik, kemudian ditambah dengan adanya krisis keuangan di Negara lain yang diduga oleh para investor akan terjadi juga di Negara lainnya, serta adanya manipulasi pasar oleh spekulan-spekulan besar, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar secara mendadak. Hal inilah yang menyebabkan kehancuran dalam neraca pembayaran sehingga mengakibatkan terjadinya krisis.
3.      Teori krisis oleh Radelet dan Sachs yang menyatakan bahwa krisis yang melanda Asia Timur pada 1997 dikarenakan oleh krisis yang menimpa sistem keuangan internasional sehingga menyebabkan pasar keuangan internasional menjadi tidak stabil. Atau dengan kata lain, krisis tersebut hampir serupa dengan krisis western capitalism.[3]

Krisis Keuangan Amerika Latin dan Resep Washington Consensus




Oleh: Adi Rio Arianto Salamun 

Abstract
This critical analysis is firstly to address the financial crisis in Latin America and the problem solving by understanding the building of mechanism of structural reformation in financial sector. Secondly, to analyze how did the Washington Consesnus policy become a way to solve the financial crisis both in Latin America and other developing countries. Hopefully this critical review will bring clarity thoughtful in understanding about the financial crisis issues in Latin America and the developing countries, also to give more perspectives to understanding the financial crisis problem as a whole according to the international political economy theories.   

Keyword: krisis keuangan Amerika Latin, Washington Consensus, kriris ekonomi finansial negera berkembang

Bagaimana mekanisme reformasi struktural yang dilakukan untuk mengatasi krisis keuangan di Amerika Latin? Bagaimana resep Washington Consensus terhadap penyelesaian krisis di Amerika Latin yang kemudian akhirnya menjadi solusi bagi penanganan krisis ekonomi finansial di negara-negara yang sedang berkembang?  

Introduksi dan latar belakang

Dalam bukunya, tulisan Thomas oatley sangat berbobot dan analitis. Dekripsi dan penjelasan oatley mengenai basis dan metode pembangunan ekonomi Negara berkembang seperti di amerika latin berhasil menawarkan pemahaman yang cukup komprehensif. Hal tersebut direfleksikan dalam pembahasan dinamika system financial dan relasinya dengan krisis hutang yang melanda Negara-negara amerika latin dimana diawali oleh uraian tentang prinsip dan mekanisme kerja pembangunan ekonomi berbasis investasi dan pinjaman luar negeri. Namun demikian, tentu saja setiap penulis tidak dapat lepas dari tendensi subjektif dan perspektifnya sendiri yang menjadi karakter utama tulisannya. Oleh karenanya, penulis berusaha mengulas aspek kajian yang kurang tereksplorasi dalam pembahasan krisis hutang di amerika latin.
Bab 14 buku oatley, diawali oleh latar belakang dan gambaran umum pada dinamika kebijakan ekonomi Negara Negara amerika latin yang berupaya mendorong pertumbuhan lewat mekanisme ekonomi liberal. Tetapi, oatley meyakini bahwa Negara Negara sedang berkembang termasuk di amerika latin seringkali melewati periode sangat sulit dalam perjalanan ekonominya dalam hal ini berupa ledakan krisis ekonomi. Kemajuan dan kemunduran ekonomi mereka tampak telah menjadi siklus teratur.
Periode dan siklus kemunduran ekonomi Negara amerika latin biasanya disebabkan oleh fluktuasi dan gejolak perubahan pada pasar modal internasional. Hal ini kemudian menular pada munculnya motivasi untuk menarik aliran modal asing kedalam negeri. Pola manajemen ekonomi yang ditopang oleh pinjaman luar negeri ini merupakan kebijakan favorit pemerintah Negara sedang berkembang. Langkah strategis inilah yang diasumsikan sebagai pusat persoalan yang berujung pada kewajiban Negara untuk terus membayar hutang dan akhirnya terjebak dalam krisis hutang yang sangat akut.

Negara Vs Pasar

Oleh: Muhammad Nizar Hidayat

Jelaskan perdebatan di seputar persoalan bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara-bangsa. jelaskan posisi anda dalam perdebatan tersebut?

Kemunculan MNCs sebagai salah satu aktor yang berpengaruh di dalam HI tidak bisa lagi dinafikan kebenarannya. Setelah kemunculannya yang oleh beberapa penstudi bisa di trace back hingga pada 2000 tahun sebelum masehi yang diwakili oleh kerajaan Assiria, hingga pada kebangkitannya di era modern pada tahun 1960-1970an.

Setelah itu, kemunculan MNCs pun banyak diperdebatkan oleh para penstudi, dengan semakin berpengaruhnya peran MNCs dalam EPI, apakah MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa dalam HI? Bagaimana sebenarnya pola interaksi anatara MNCs dan negara bangsa? Pandangan pertama lebih condong kepada pola interaksi konfliktual antara MNCs dan negara (khususnya negara host, yang umumnya negara-negara berkembang) dimana mereka berpendapat bahwa tujuan dari negara dan MNCs sangat bertolak belakang dimana negara menekankan kepentingan publik dan MNCs mengejar kepentingan privat, dan oleh sebab itu konflik kepentingan antara keduanya tidak bisa dihindari. Pandangan kedua lebih menyoroti pola interaksi kooperatif antara MNCs dan negara (khususnya negara home, yang umumnya merupakan negara maju), dimana pembahasan lebih kepada apakah MNCs merupakan perpanjangan kepentingan dari negara home ataukah negara home merupakan alat dari MNCs untuk mencapai kepentingannya?

Pembahasan tentang pola-pola interaksi itu semakin dalam dengan adanya pihak yang mengatakan bahwa MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa, dan pengaruhnya sudah jauh melebihi kapasias negara bangsa dengan melihat berbagai contoh dimana MNCs bisa mempengaruhi pembuatan keputusan di suatu negara  sesuai dengan kepentingannya. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa MNCs tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang negara, atau dengan kata lain, MNCs sejatinya merupakan subordinat dari negara home mereka, dan tidak ada institusi tertinggi setelah negara dalam interaksi dalam HI, sehingga berimplikasi bahwa apapun yang ingin MNCs lakukan, segala sesuatunya pasti harus melalui negara.

Maka dari itu pembahasan tentang “power” MNCs pada kali ini, lebih condong untuk mendefinisikan “power” MNCs tersebut dalam bentuk peningkatan pengaruh MNCs terhadap pembuatan keputusan otoritatif bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative dari negara bangsa saja. Dalam upayanya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan yang otoritatif tersebut MNCs memiliki posisi tawar yang ditopang oleh kekuatan finasial, teknologi, skill managerial, akses ke pasar global dan lain sebagainya, yang dibutuhkan oleh negara-negara khususnya negara berkembang. Sementara daya tawar negara terletak pada otoritas politik, ekonomi, dan akses terhadap teritori negara yang merupakan kepentingan dari MNCs. Bagaimana kedua pihak memainkan “kartu as” mereka itulah yang akan membentuk pola interaksi antar keduanya, yang kemudian mungkin bisa membantu kita dalam memahami permasalahan tentang “siapa yang lebih powerful diantara keduanya?”

Krisis Fordisme




Oleh : Ahmad Anwar 
Sistem produksi fordisme pada puncaknya menyebabkan krisis over-produksi yang menekan perusahaan di negara-negara kapitalis. Sistem mass production yang ditawarkan fordisme ternyata menyebabkan banjir barang-barang homogen yang beredar di pasar dunia. Hal ini terjadi karena sistem fordisme yang hanya berfokus pada penawaran tanpa mempertimbangkan permintaan dianggap terlalu kaku[1] dan menyebabkan sistem produksi seperti ini mengalami tingkat kejenuhan. Harga menjadi jatuh dan berimbas pada penurunan angka pertumbuhan dan tingkat upah.
Krisis fordisme mengalami puncaknya ketika terjadinya oil shock pada tahun 1973 yang menyebabkan hiper inflasi. Harga minyak dan bahan baku substansial ikut meningkat. Sehingga biaya produksi kian naik, termasuk biaya upah pekerja.
Krisis yang sudah mencapai pada tingkat batasnya tersebut dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu teknis, ekonomis, dan sosial:[2]
1.      Pada aspek teknis kemampuan untuk meningkatkan produktivitas dengan berusaha mencapai economies of scale dengan proses de-skilling dan mengintensifkan para pekerja sudah tidak mungkin diterapkan lagi karena munculnya aksi perjuangan kelas yang menentang atas model produksi  ‘mass-worker’ pada sistem fordisme[3].
2.      Pada aspek ekonomi disebabkan oleh turunnya  keuntungan yang diakibatkan dari meningkatnya modal komposisi organis yang terdiri dari buruh pekerja dan alat (mesin, bahan baku dan lain-lain). sementara tuntutan upah buruh semakin meningkat padahal produktivitas menurun dan pasar homogen yang semakin terbatas.
3.      Pada aspek sosial, fordisme dianggap sudah mencapai batas karena meningkatnya tekanan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya hak preogratif  yang dimiliki manajemen pabrik sementara transparansi keuangan yang dituntut oleh para pekerja yang terjebak dalam upah yang stagnan dan pengangguran massal.

Hubungan Indonesia-PT Free Port Dalam Konteks Ekonomi dan Politik



Freeport bukan hanya manifestasi sebuah perhitungan investasi ekonomi, tetapi juga sebuah mata rantai investasi politik dalam konteks hubungan Indonesia-AS. Freeport adalah salah satu simbol keberadaan AS di ujung timur NKRI. Dalam asumsi itu, diperlukan kepekaan bersama, kendali sensitivitas yang mampu menempatkan respons dan reaksi secara proporsional dalam nuansa dialog yang cerdas, tetapi tidak emosional (Priatna, tt).
Freeport-McMoran Copper and Gold Inc., sebuah perusahaan pertambangan internasional yang berpusat di New Orleans, Amerika Serikat, memiliki peranan yang penting didalam eksploitasi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di Papua. Perdebatan sengit mengenai perpanjangan kontrak karya PTFI dengan pemerintah Indonesia yang terjadi baru-baru ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi politik pemerintah Indonesia yang terjadi pada era orde baru. PTFI tertarik pada bumi Papua pada tahun 1950an, dan negosiasi PTFI dengan Indonesia dimulai satu bulan setelah terjadinya kudeta militer dan pembunuhan masal  yang kemudian membawa Soeharto pada puncak kepemimpinan di tahun 1965. Disinilah hubungan ekonomi politik internasional didalam bentuk penanaman modal asing langsung (Direct FDI) bermula, karena PTFI merupakan perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia dibawah rezim Soeharto. Tambang Grasberg milik PTFI yang berada dekat Tembagapura. merupakan tambang emas terbesar di dunia, sekaligus menjadi salah satu tempat yang paling dimiliterisasi di Indonesia.

Peran PT Free Port Dalam Ekonomi Indonesia, Pendorong Ataukah Penghambat (Case: Renegosiasi Kontrak Karya PT Free Port Indonesia)


Oleh: Asma Amin, Silvi Dian Permata Sari, Dwi Nur Laela F, Gladies R. Perdana 

PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc..PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak.Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.PTFI berusaha memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
Kompleks tambang milik PTFI di Grasberg merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang dapat diambil yang terbesar di dunia, selain cadangan tunggal emas terbesar di dunia.Grasberg berada di jantung suatu wilayah mineral yang sangat melimpah, di mana kegiatan eksplorasi yang berlanjut membuka peluang untuk terus menambah cadangan kami yang berusia panjang.
A.    Tentang Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (FCX) merupakan perusahaan tambang internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. FCX mengelola beragam aset besar berusia panjang yang tersebar secara geografis di atas empat benua, dengan cadangan signifikan terbukti dan terkira dari tembaga, emas dan molybdenum. Mulai dari pegunungan khatulistiwa di Papua, Indonesia, hingga gurun-gurun di Barat Daya Amerika Serikat, gunung api megah di Peru, daerah tradisional penghasil tembaga di Chile dan peluang baru menggairahkan di Republik Demokrasi Kongo, PTFI berada di garis depan pemasokan logam yang sangat dibutuhkan di dunia.
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. merupakan perusahaan publik di bidang tembaga yang terbesar di dunia, penghasil utama di dunia dari molybdenum – logam yang digunakan pada campuran logam baja berkekuatan tinggi, produk kimia, dan produksi pelumas – serta produsen besar emas. Selaku pemimpin industri, FCX telah menunjukkan keahlian terbukti untuk teknologi maupun metode produksi menghasilkan tembaga, emas dan molybdenum.
FCX menyelenggarakan kegiatan melalui beberapa anak perusahaan utama; PTFI, Freeport-McMoRan Corporation dan Atlantic Copper.

Keamanan Regional dan Scurity Complex



Bahan Kuliah Hubungan Internasional
Konsep regional security dimaksudkan untuk memahami keamanan internasional pada level analisis di tingkat subsistem regional. Konsep ini penting merujuk kekenyataan adanya tingkat otonomi yang relatif tinggi dari hubungan keamanan regional. Walaupun demikian analisis pada leval subsistem regional ini tetap diletakkan pada konteks analisis tingkat negara dan tingkat sistemik. Untuk memahami isu keamanan suatu kawasan regional kita dapat menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Barry Buzan. Dalam bukunya yang berjudul People, State and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era Buzan berpendapat bahwa keamanan pada dasarnya adalah suatu phenomena relational (relational phenomenon).
Oleh karena itu, keamanan suatu negara dan suatu kawasan tidak dapat difahami tanpa memahami pola hubungan saling ketergantungan keamanan diantara negara-negara kawasan tersebut. Dalam memahami keamanan regional ini maka Buzan menawarkan suatu konsep yang disebutnya sebagai phenomena security complex. Yang dimaksud dengan security complex oleh Buzan didefinisikan sebagai “a group of states whose primary security concern link together sufficiently closely that their national security cannot realistically be considered apart from one another”. Dengan demikian, konsep security complex ini mencakup aspek persaingan dan juga kerjasama diantara negara-negara yang terkait. Karakter security complex yang mencakup “interdependence of rivalry as well as that of shared interest” ini ini selanjutnya oleh Buzan diistilahkan dengan “pattern of amity and enmity among states”.
Yang dimaksud dengan amity adalah hubungan antar negara yang terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi (expectation) akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan enmity oleh Buzan digambarkan sebagai suatu hubungan antar negara yang terjalin atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain. Pattern of amity /enmity ini dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai isu yang tidak dapat difahami hanya dengan melihat distribution of power yang ada di antara negara-negara terkait. Hal ini dikarenakan pattern of amity/enmity dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai hal yang bersifat spesifik seperti sengketa perbatasan, kepentingan yang berkaitan dengan etnik tertentu, pengelompokan ideologi dan warisan sejarah lama, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif.

Arsitektur Keamanan Internasional Pasca Perang Dingin



Bahan Kuliah Hubungan Internasional
F. Fukuyama adalah seorang intelektual Amerika keturunan Jepang, dalam artikelnya yang terkenal The End of History, berpendapat bahwa dunia pasca Perang Dingin akan jauh lebih damai: tanpa perang. Mengpa? Karena menurut Fukuyama penyebab perang antar negara selama ini adalah persaingan ideologi. Maka berakhirnya Perang Dingin, yang berarti juga mengakhiri perang ideologi besar dunia, dengan sendirinya akan mengakhiri perang antar negara, khususnya antar negara-negara demokratis. (Lihat pandangan kaum Liberal Internationalism di atas).
                Perjuangan dan tindakan yang bersedia mengorbankan jiwa orang lain demi kepentingan yang abstrak seperti untuk mendapatkan status, pengakuan dan perjuangan ideologi, yang sebelumnya menjadi sumber semangat, imajinasi dan idealisme kebanyakan negara di dunia segera akan lenyap dan digantikan oleh pertimbangan kepentingan ekonomi, masalah lingkungan dan berbagai hal positif lainnya.Dengan kata lain, menurut Fukuyama, berakhirnya Perang Dingin, akan membuat masyarakat dunia (negara-negara) akan lebih pragmatis. Kerjasama antar negara-negara bangsa di dunia akan semakin meningkat sehingga kemakmuran, kesejahteraan dan kestabilan sosial, ekonomi dan politik segera akan terwujud.
Kritik Pandangan Fukuyama
Berakhirnya Perang Dingin tidak berarti berakhirnya rivalitas politik, ideologi, diplomasi, ekonomi, teknologi atau bahkan kekuatan militer antar negara bangsa di dunia. Seperti contoh negara China yang terus meningkatkan anggaran belanja militernya. Dan juga negara-negara lain di dunia seperti India, Korea Selatan, Jepang.dll. Benar bahwa ada kecenderungan perang antar negara negara demokratis semakin menyusut, tetapi bukan berarti kemungkinan perang semacam itu sudah hilang sama sekali. Seperti contoh terus meningkatnya anggaran belanja militer negara-negara di dunia. Negara-negara demokratis (yang utuh) di dunia masih sangat kecil jumlahnya dibandingkan negara-negara non-demokratis (lebih kurang 65:135).

Pembentukan Visegrad Battle Group: Penyebab dan Dampaknya Bagi Keamanan Eropa dan Dunia



Bahan Kuliah Hubungan Internasional
Visegrad sendiri terdiri dari negara-negara seperti Polandia, Chekoslovakia, Slovakia dan Hungaria. Pada bulan Mei tahun 2012 Visegrad diumumkan sebagau pembentukan aliansi militer baru yang dinamakan sebagai Battle group, dan berlaku pada tahun 2016. Walaupun dalam kerangka NATO dan EU, pembentukan Battlegroup ini memiliki arti penting bagi negara-negara di kawasan Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa.
Alasan Berdirinya
Alasan berdirinya battle group ini adalah karena melemahnya peran dari ada aliansi kemanan sebelumnya yaitu NATO. Yang mana berkurangnya soliditas antara anggota didalamnya (misal Jerman dan Francis). Selain itu adanya keinginan untuk dapat keluar dari dominasi Amerika Serikat. Hal ini tidak luput pula dari kelemahan managemen organisasi NATO yang terlalu banyak memiliki anggota. Terbatasnya resources yang ada di dalam organisasi keamanan NATO jgua menjadi alasan yang menjadi perhitungan negara-negara yang tergabung dalam battle group tersebut. Selain alasan-alassan tersebut terdapat juga beberapa alasan yang sifatnya politis dan ekonomi lainnya. Alasan didirikannya battle group ini juga terkait sebagai wahana untuk memperkuat eksistensi dan bargaining position Visegrad di Eropa dan dunia. Adanya pengaruh perubahan politik domestik dan internasional (berubah menjadi negara liberal demokratis, runtuhnya komunis dll) juga menjadi faktor ataupun isu pendorong terbentuknya group ini. Sarana mengikat diri sesama anggota V4, yang penuh dengan sejarah kelam (menekan aspek Enmity dari hubungan antar mereka) Juga sarana meningkatkan aspek Amity diantara anggota, termasuk untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Mereka memiliki share nilai dan sejarah yg cukup banyak. Misal bekas negara komunis dibawah pengaruh Uni Soviet dll.

Perspektif Dalam Hubungan Internasional Dalam Realisme


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Realisme memiliki dua hal dalam nilai politik, yang pertama adalah kekuatan dan yag kedua adalah kebebasan nasional. Dalam pandangan realis, negara diharuskan memiliki kekuatan yang besar agar tidak ada negara lain yang berani terhadap negara tersebut. Dan dalam pandangan realis pula, seorang penguasa dituntut harus menjadi penguasa yang tidak hanya berani namun juga harus cerdik. Pendekatan realisme sendiri merupakan sebuah pendekatan yang amat dominan dalam kajian ilmu hubungan internasional. Adapun tokoh-tokoh realis terdahulu seperti Tuchydides, Thomas Hobbs, dan Machiavelli. Yang mana kesemuanya tersebut perpegangan pada sebuah sistem internasional yang sifatnya anarki.  Dalam realisme negara lebih diposisikan sebagai low of human nature. Politik merupakan cara bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Manusia dilahirkan sebagai budak bagi manusia yang lainnya.
Adapun realisme klasik dicetuskan oleh H Morgenthau dalam bukunya politic among nation yang mana negara-negara sebagai sebuah kesatuan akan memiliki sebuah national intrest yang selalu berusaha untuk dapat menguasai. Karena adanya keinginan untuk selalu berusaha untuk menguasai, maka lahirlah sebuah konsep yang dinamakan konsep kepentingan. Yaitu negara selalu berusaha untuk mendapatkan kekuasaan melalui politik. Dalam hal seperti ini, tidak ada yang dinamakan universalitas dalam sebuah moral.  Adapun dalam keadaan seperti ini, prilaku negara adalah low of human nature dalam sebuah sistem internasional yang dipahami pada struktur internasional melalui distributor of power.

Metode Riset Dalam “Framing Riset”



Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Menentukan seberapa kuat riset yang kita lakukan dan mengetahui posisi kita dalam riset. Hal ini penting untuk diperhatikan kerana merupakan pondasi dasar dalam sebuah penelitian. Penelitian yang dilakukan bukan hanya sekedar mencari data semata, lebih dari itu, penelitian yang dilakukan adalah untuk mencari ilmu pengetahuan baru dalam penelitian tersebut. Karena sejatinya penelitian adalah aktifitas memproduksi sebuah ilmu pengetahuan baru. Dalam sebuah penelitian kita akan dihadapkan pada, pengetahuan apa yang kita cari dan apa yang akan kita peroleh. Untuk membuat sebuah penelitian yang baik, kita dapat memulainya dengan membuat sebuah reason (alasan) mengenai penelitian yang akan kita lakukan. Setelah kita menentukan alasan, barulah kita menentukan cara mana yang lebih sesuai untuk melakukan penelitian tersebut dalam hal ini dapat dikatakan memilih sebuah metode. Adapun pilihan sebuah metode lebih ditentukan oleh objek dan juga krakteristik dari penelitian yang kita lakukan. Adapun alurnya dapat kit alihat dibawah ini:
Alasan – Metode – Collecting Data – Seleksi Data
Seorang peneliti, tidak akan bisa melakukan penelitian jika tidak memiliki frame untuk melihat data-data yang ada. Adapun kebutuhan yang kita butuhkan dalam setiap fase membangun pondasi penelitian adalah sebagai berikut:
·         Apa yang kita kaji? (Berbicara tentang nature dari dunia sosial)
·         Obyektif:  Penelitian dan obyek yang akan diteliti harus ada jarak.
·         Subyektif: Pengalaman peneliti juga masuk dalam penelitiannya.
Adapun implikasi dari pemisahan model ini adalah, adanya perbedaan dari hasil penelitian. Seperti contoh, penelitian yang obyektif akan memiliki hasil yang sifatnya lebih universal dibandingkan denga penelitian yang subyektif dimana hasil penelitiannya lebih pada partikular dan tidak ada hasil yang dapat digeneralisasi. Setelah memahami itu semua, sekarang kita akan beranjak pada fase “bagaimana kita memahaminya?” (how to study). Pertama kita akan membahas jenis ataupun bentuk penelitian yang sifatnya obyektif. Dalam penelitian jenis ini, peneliti hanya dituntut untuk dapat mengambarkan apa saja yang ada di dalam obyek yang sedang diteliti. Dan juga peneliti harus dapat menjelaskan dan menyingkap bagaimana hukum-hukum yang ada dan berlaku dalam penelitian tersebut. Kedua adalah penelitian yang subyektif, diaman dalam penelitian ini , para penilit berbasiskan pada cara “memahami” (understanding). Dan penelitian jenis ini berbasiskan pada keterlibatan peneliti dalam penelitian. Seperti yang akan kita ambil contoh dalam penelitian yang sifatya obyektif (sesuatu yang berada diluar positivistik) adalah, saat kita bicara tentang kemiskinan. Kemiskinan merupakan “sesuatu” yang berada jauh diluar dari diri peneliti. Yang mana untuk mengatakan arti “miskin” itu sendiri tergantung dari kesepakan kita bersama memaknai arti kata msikin tadi. Karena dalam hal ini, miskin merupakan sesuatu yang dapat diukur (intersubjektif). Yaitu dapat diukur dari bagaimana kita memaknai dari orang-orang mengatakan apa itu kemiskinan. Dan orang-orang akan melakukan kesepakan untuk memaknai suatu kejadian.

Metode Riset Dalam Studi Kasus



Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Apa yang dimaksud dengan studi kasus? Studi kasus adalah sebuah penelitian yang menekankan pada investigasi pada sebuah fenomena dengan detail dan mendalam, dengan penelitian yang mengambil satu sample. Yang mana dalam penelittian ini mengeksplorasi, mengkaji, detail, dan mendalam. Karakteristik dalam studi kasus ini merupakan sebuah penelitian dengan  Investigasi mendalam, yang mana memiliki kekuatan dan sumber yang kuat untuk dapat melihat kedalam. Studi kasus merupakan sebuah penelitian dengan sifat yang berbasiskan pada bukti empirik, yang mana data-data yang didapatkan tidak cukup dengan data dari library. Dan empirisme dalam sebuah studi kasus merupakan hal yang sangat penting.
Meskipun demikian, ada beberapa peneliti yang mengatakan bahwa empirisme tersebut tergantung pada kebutuhan (harus tidaknya seorang peneliti ke lapangan). Kemudia seorang peneliti harus kembali pada tujuan kit amenulis penelitian yaitu melalui pertanyaan dan hasil yan gkita inginkan. Studi kasus merupakan sebuah metode mencari data yang dijalankan secara investigatif dengan data empiris. Kemudian, bagaimana cara kita melakukannya? Langkah pertama yang kita lakukan adalah dengan menentukan kasus yang akan kita teliti. Dan kemudian ada banyak kriteria kasus yang akan kita temukan yaitu bagaimana kita menemukan kasus yang jarang diteliti. Dan kriteria yang terbaik dalam memilih kasus adalah kasus yang memiliki kriteria dan bersifat akademis. Yaitu sebuah kasus yang merupakan representatif dan merupakan sebuah intepretasi terbaik dari fenomena yang ada. Selain itu dalam studi kasus, seorang peneliti juga diperbolehkan untuk menggunakan fenomena yang sudah ada namun masih terdapat loop hole dalam penelitian tersebut.

Metode Riset Dalam Metodologi, Teori, dan Konsep



Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Kegitan menulis bagi seorang akademisi maupun seorang peneliti merupakan sebuah kewajiban. Hal ini dikarenakan, dalam dunia keilmuan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Maka dengan menulis, setidaknya kit adapat memprediksi apa-apa fase yang akan ada didepan. Adapun beberapa prinsip yang harus dipegang bagi seorang peneliti adalah, pertama, Menulis bisa kit aanggap sebagai kegiatan sehari-hari seperti halnya makan, mandi, dan tidur. Sehingga kegiatan tiada hari tanpa menulis. Kedua, kegiatan menulis bisa kita anggap sebagai tugas. Ketiga, setiap diri seorang penulis akan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Keempat, jadikan diri kita seorang peneliti maupun seorang penulis yang prefesional. Dan yan terakhir yang lebih penting adalah, jangan mundur saat kita menghadapi kesulitan dalam menemukan referensi. Ilmu Hubungan Internasional merupakan sebuah ilmu yang open minded. Dimana Ilmu HI sendiri, berada dalam banyak pendekatan, baik dari ilmu sosiologi, hukum, ekonomi, politik, dan juga budaya.
Adapun penelitian dalam konteks Hubungan Internasional adalah, kegiatan penelitian tidak hanya sekedal meneliti, melainkan harus menunjukkan kalau kita adalah seorang peneliti yang profesional. Selanjutnya adalah menemukan sebuah topik penelitian yang dapat dijawab. Dan yang terakhir adalah, dalam sebuah penelitian tidak ada tema maupun judul penelitian yang baik ataupun yang buruk. Yang ada adalah, bahwa pertanyaan dalam penelitian tersebut dapat dijawab ataukah tidak. Seperti contoh, ada sebuah proposal penelitian yang akan meneliti politik masa Lenin di Uni Soviet. Yang menjadi permasalahan pertama adalah, ada tidaknya bahan-bahan yang mendukung dalam penelitian tersebut, menginggat tengang waktu jarak penelitian dan topk yang dibahas sudah sangat lama. Dan yang kedua adalah adakah relevansinya dengan hubungan internasional khususnya keilmuan pada saat ini?. Hal tersebutlah yang terkadang menjadi kendala dalam sebuah penelitian dalam Ilmu HI.
Dan dalam penelitian Ilmu Hubungan Internasional, terdapat setidaknya tiga indikator yang menunjukkan kalau penelitian yang sedang ataupun akan kita jalanan memiliki manfaat adalah sebagai berikut. Yang pertama, penelitian yang akan kita lakukan sifatnya “menanyakan” ataupun lebih “menginvestigasi” sesuatu. Yang kita yakini adanya sesuatu yang bermasalah dalam topik yang akan kita bahas. Kedua adalah, metodologis yang artinya bahwa sistem penulisan yan gkita gunakan sudah sistematis. Arti sistematis sendiri di sini adalah, berdasarkan sebuah urutan tertentu, berdasarkan sebuah metode tertentu. Seperti contoh, penelitian ini akan mendiskusikan sesuatu dengan alasan “mengapa?”, apa yang mau dan akan kita lakukan dalam penelitian?. Dan yang point selanjutnya dari berdasarkan metode tertentu adalah menunjukkan apa pentingnya penelitian yang kita lakukan ini. Dan point ketiga dari indikator ini adalah, bahwa penelitian yan gkita lakukan ini akan menambah pengetahuan  dan harus ada sesuatu yang baru. Karena salah satu mengapa penelitian itu dilakuakn adalah untuk “producing knowledge”.

Metode Riset Dalam Metode Perbandingan



Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Membandingkan merupakan sifat dasar manusia, yang mana lebih memformulasikan mengenai apa dan bagaimana sesuatu hal dapat terjadi. Pertanyaan pertama adalah mengapa kita harus membandingkan? Dalam sebuah penelitian, tugas seorang peneliti bukanlah mencari sesuatu dan apa yan glebih menguntungkan namun lebih pada mana yang lebih bermanfaat. Yaitu dengan mengembangkan pengetahuan tentang masyarakat dan politik. Tentang apa yang terjadi dan bagaimana dapat berimbang antara teori mengenai mengapa itu dapat terjadi dan apa manfaatnya bagi kita (apa artinya bagi kita). Dan membangingkan akan jauh lebih sulit, dari pada kita meneliti hanya satu kasus saja. Adapaun pentingnya teori dalam sebuah penelitian adalah untuk melihat fenomena, yang mana tanpa adanya sebuah kerangka teori kita akan sia-sia dalam melihat sebuah fenomena. Dan sebuah teori bukan hanya sekedar mengambarkan melainakn juga harus dapat menjelaskan fenomena yang terjadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah “Apa yang akan kita bandingkan?”. Pada dasarnya, metode perbandingan “comperative” adalah sebauah alat yang digunakan untuk menguji kembali guna menemukan kesalahan, kekurangan, yang terdapat dalam dua fenomena yang diteliti. Seperti contoh, politik adalah tentang kekuasaan yang terkait juga dengan menejemen dan pembagian sumber daya. Yaitu upaya “delivering political goods”. Yaitu bagaimana sebauh kesempatan politik yang diberikan kepada seluruh rakyat. Adapun inti dari metode perbandingan adalah untuk megurangi kompleksitas seperti kesulitan dan kerumitan dalam sebuah penelitian. Selain itu metode perbandingan juga dapat berguna dalam melihat konteks dimana hal itu terjadi, yaitu dengan cara memilik kasus-kasus yan gakan kita bandingkan dengan konteks dan lingkungan yang ikut membantu. Adapun bebrapa tema baru dalam politik perbandingan adalah sebagai berikut:
-          The declining role of the state, transisi kekuatan yang terdapat pada dua pola. Yaitu dari negara barat menuju negara-negara timur. Dan juga power difusion yaitu dari negara menuju pada aktor non negara.
-          The rise of new economic powers.
-          The impact of new technology and globalization.
-          The impact of failed and failing states.

Metode Riset Dalam Metode Kualitatif dan Kuantitatif



Diketik kembadi dari materi kuliah Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Dalam memulai sebauh penelitian kita haru engerti tentang bagaimana sebuah logic dari sebuah penelitian itu dibangun. Yaitu dengan cara menentukan penelitian, dan untuk menetukan penelitian apa yang akan kita lakukan, kesemuanya tersebut tergantung dari dalam diri si peneliti. Yaitu dengan mengetahui apa yang sedang terjadi. Adapun perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif adalahs ebagai berikut. Dalam penelitian bentuk kuantitatif lebih bersifat mengukur, universal dan juga memungkinkan untuk peneliti lain mendapatkan hasil yang sama dengan apa yang kita teliti. Sedangkan dalam metode kualitatif lebih melihat pada dunia seperti orang lain mengalaminay, mengeksplorasi konteks yan glebih detail, proses yang lebih detail dalam dinamika sosial,  dan terakhir adalah penelitian yang sifatnya lebih fleksibel.
Adapun starting point dari keduany adalah sebagai berikut, kita harus memulainya dari adanya indikator dan juga variabel. Sebagai seorang peneliti yang profesional, kita tidak bisa langsung menuju kepada konsep. Dikarenakan dengan adanya indikator dan variabel, kit aakan mengetahui gejala-gejala indikator yang terdapat pada permuakaan maslah yang akan dan sedang kita teliti. Perhatikan alur bagan berikut:

Indikator – Variabel – Konsep

Seperti contoh:

Kemiskinan (konsep) – Income (indikator) – Kurang dari 1 Dollar per hari (Variabel).

Tugas dari seoarng peneliti adalah berupaya untyuk menjelaskan dua hubungan antara variabel yang mana kedua variabel tersebut ditentukan melalui variabel dependen dan independen. Seperti contoh pembangunan demokrasi dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi ataupun sebaliknya. Adapun logic of research dari keduany adalah sebagia berikut:

Metode Riset Dalam “Framing Research”



Diketik ulang dari materi kuliah oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Framing research merupakan fase awal dari metode penelitian, seperti pad atulisan sebelumnya, yang mana penelitian yang obyektif merupakan penelitian yang memisahkan peneliti dari obyek ditelitinya. Sehingga tidak terdapat personal impresion ataupun opini peneliti dalam penelitiannya. Sehingga penelitian murni tanpa adanay campur tangan dari si peneliti. Dalam sebuah alur dapat kami gambarkan sebagai berikut:
Obyektif:

  • Memiliki sifat Causalitas (sebab-akibat).
  • Oprational concept (tidak bertanya benar ataupun salah).
  • Penelitian bersifat deduktif.

Subyektif:

  • Understanding.
  • Constracting.
  •  Penelitian bersifat induktif.

Tahap selanjutnya adalah bagaimana kita memulai sebuah penelitian. Yan gterpenting dari sebuah penlitian adalah penjelasan yang konsisten. Selanjutnya bagaimana cara melakukan atau menerapkan oprational concept (mengoprasikan sebuah konsep). Oprational concept dapat diterapkan dengan cara membuat ukuran untuk fenomena yang akan kita teliti. Seperti contoh, kita akan meneliti tentang kemiskinan, maka hal pertama yang kita lakukan adalah mengambarkan kemiskinan dengan ukuran untuk kemiskinan itu sendiri. Selanjutnya constracting, dimana kita sebagai peneliti tidak memiliki standar baku untuk menilai sebuah fenomena. Seperti contoh kita tidak dapat mengatakan atau menyimpulkan bahwa seseorang yang berjengot dan mengenakan celana ¾ adalah seoarang dengan faham fundamentalis. Selanjutnya adalah

Critical Riview Alice Amsden “Global Fordism”



Critical Review: Alice Amsden “Global Fordism”
Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)

Setelah melewati Perang Dunia Kedua, sistem produksi Fordisme memberikan sebuah hal dasar mengenai perluasan permintaan yang paling efektif dengan gaya ekonomi Keynesian di Amerika Serikat. Yang mana sistem produksi ini memberikan sebuah rezim kesejahteraan untuk reproduksi global yang stabil saat itu. Fordisme merupakan sebuah konseptualisasi dari moldel industrialisasi dengan model sistem produksi pabrik “assembly line” yang diperkenalkan oleh Henry Ford pada perusahaan Auto Manufacture di Highland Park pada tahun 1914 dan 1926 di River Rouge. Fordisme muncul dari kegagalan dua kondisi penting produk industrialisasi saat itu yaitu, modus akumulasi kapitalis dan juga kegagalan untuk menyesuaikan konsumsi massa dengan peningkatan produktivitas yang dihasilkan oleh akumulasi modal. Dalam "tahun emas" setelah Perang Dunia Kedua, kedua kondisi ini telah terpenuhi. Fordisme memobilisasi kapasitas industri di kedua ekstrem yaitu dengan adanya tenaga kerja terampil. Keuntungan yang memuaskan dihasilkan dari konsumsi massa, yang terus berpacu dengan pertumbuhan  investasi. Fordisme merupakan tipe model industrialisasi ideal yang menggambarkan modus keseluruhan massa produksi dan intensifikasi produktivitas . Fordisme adalah jawaban untuk krisis internasional pada tahun 1929 hingga 1930 dan berlangsung hingga pertengahan tahun 1950.
Fordisme tidak lain adalah sebuah motode manajemen industri yang berazaskan assembly line atau sering disebut metode ban berjalan dalam proses produksi yang bersifat massal. Konsep tersebut menggambarkan proses ekonomi produksi dengan cara membagi proses produksi ke dalam ratusan atau bahkan ribuan unit kecil. Dengan cara tersebut menurut Ford, ongkos dapat diminimalkan dan keuntungan akan dapat segera dimaksimalkan. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar dalam fordisme yaitu,  standarisasi, upah tinggi, dan juga penyederhanaan produksi. Untuk mencapai produktifitas tinggi dilakukan dengan cara, menstandarisasi output, memisahkan pekerja ke dalam tugas-tugas keterampilan yang lebih spesifik yaitu dengan cara mengkombinasikan mesin dan tenaga pekerja, menekankan pada harga yang minimal daripada keuntungan maksimal. Sebetulnya Ford sendiri mengadopsi gagasan FW Taylor, yaitu sosok yang pertama kali menemukan manajemen industri secara keilmuan. Yaitu atas dasar gagasan mengenai  time dan motion dalam industri. Ford menerapkannya pada cara produksi masal dengan pembagian kerja yang kompleks dan gerak kerja yang berulang-ulang (repetitive).