“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Liberalisme Dalam Politik Global


Oleh: Adi Rio Arianto
Liberalisme adalah suatu paham menjunjung tinggi sebuah kebebasan individu. Kata liberal berasal dari bahasa latin liber yang artinya adalah bebas “free”.[1] Pemahaman liberalisme berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa pada dasarnya manusia baik. Asusmsi ini dimaknai dengan positif, bebas dari prasangka burukfree from narrow prejudice dan memiliki rasa toleransi free from bigotry. Asumsi ini selanjutnya diadopsi untuk menjelaskan perilaku negara, dimana di dalamnya individu sebagai aktor memiliki kecenderungan untuk menciptakan suasana yang lebih “harmony and cooperation.”[2] Dalam kasus ini manusia tidak hanya sebagai subyek moral, tetapi juga disposisikan sebagai “key agents” dalam melihat konstalasi politik global.[3]
Kaum liberal pada umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia, mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal. Namun, mereka tetap percaya bahwa banyaknya kepentingan akan mendorong individu semakin terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif, baik domestik maupun internasional, yang menghasilkan manfaat besar bagi setiap orang baik di dalam negeri maupun luar negeri. Teori liberal ini juga meyakini bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia, nafsu akan kekuasaan, dan mampu menghindari perang.
Keyakinan terhadap kemajuan menuju yang lebih baik adalah asumsi dasar liberal. Tetapi itu juga merupakan titik perdebatan di antara kaum liberal. Ruang lingkup dan derajat optimisme liberal mengacu pada kemajuan berfluktuasi sepanjang waktu. Kebanyakan kaum liberal terdahulu cenderung optimis. Setelah Perang Dunia II berakhir, optimisme liberal telah berubah drastis. Selain itu, munculnya gelombang optimisme kaum liberal lain setelah akhir Perang Dingin, didorong oleh pemikiran “berakhirnya sejarah” yang berdasarkan pada runtuhnya komunisme dan kemenangan universal demokrasi liberal. (Fukuyama 1989;1992).[4]

Power Dan Dekonstruksi Dalam Perspektif Posmodernisme Dan Post-Kolonialisme



Oleh: Citra Istiqomah
Latar Belakang
Kekuasaan (power) merupakan salah satu konsepsi paling mendasar dalam memetakan politik dan hubungan internasional. Namun demikian, kekuasaan seringkali menjadi --. Inilah yang disoroti oleh perspektif postmodernisme dan post-kolonialisme.
Postmodernisme dan post-kolonialisme merupakan dua perspektif dalam studi hubungan internasional yang sama-sama menyoroti mengenai terbentuknya cerita-cerita besar (grand narrative) dalam sejarah dunia yang dapat dikatakan timpang karena meninggalkan pihak-pihak tertentu dalam formulasinya. Oleh karena itu, keduanya mengajukan preskripsi dekonstruksi bagi hal tersebut demi membenahi tatanan dunia agar lebih baik dan adil. Namun demikian, aspek dekonstruksi dalam pandangan masing-masing perspektif tersebut tentu berbeda. Bagaimana perspektif posmodernisme dan post-kolonialisme memandang aspek kekuasaan (power)? Bagaimana preskripsi yang masing-masing perspektif ini ajukan melalui dekonstruksi?
Pembahasan
Perspektif Postmodernisme
Perspektif modernism lahir sebagai kritik atas kemapanan dalam modernisme.
Kebenaran bersifat subjektif dan dibentuk oleh kronologi historis yang panjang. Sejarah yang membentuk kebenaran ini secara genealogi disisipi oleh nilai-nilai kekuasaan, kepentingan, dan intimidasi. Genealogi dalam pengkajian posmodernisme merupakan sebuah proses pengkajian “asal usul” sejarah dengan jalan melacak bagaimana sebuah pengetahuan berkembang dari dulu hingga saat ini, bagaimana sebuah kekuatan mampu mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Foucault (dalam Ritzer, 2008: 80) mengartikan genealogi sebagai analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus, meskipun kritisisme diarahkan pada proses yang terdapat pada kontrol diskursus. Namun demikian, kekuasaan juga dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya dapat disimpulkan secara sederhana bahwa kekuasaan bukan hanya berfokus pada represi fisik semata namun juga bahwa manusia berupaya mengakses kekuasaan melalui wacana ilmu pengetahuan.
Adanya hubungan antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan menyebabkan hegemoni sebuah negara dapat membentuk sebuah perspektif yang pada akhirnya membentuk sebuah ilmu pengetahuan pada negara tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan biasanya akan lebih condong terhadap pemaparan fakta dari seseorang (resources of history) yang memiliki kekuatan tersebut. Akibatnya, nilai-nilai kebenaran yang dipaparkan dalam sebuah teks bisa menjadi multi-interpretasi sehingga diperlukan dekonstruksi dan pembacaan ganda untuk meninjau ulang fakta kebenaran yang tertulis di dalam teks tersebut.
Dalam teks, ada regime of truth yang sangat berkuasa untuk menciptakan kebenaran (truth/knowledge) atau memproduksi wacana (discourse). Kita tidak bisa mendefinisikan siapa yang membuat atau memberikan klaim universalitas sebagai sebuah klaim kebenaran, namun dalam hal ini, wacana klaim terhadap berbagai Program Nuklir Iran sebagai sesuatu yang diangap benar oleh Iran atau sesuatu yang dianggap tidak benar oleh Negara-negara yang menentangnya, dalam hal ini Amerika beserta sekutunya. Perbedaan sudut pandang tentang program nuklir Iran diciptakan oleh setiap negara untuk memenuhi kepentingannya. Seperti yang dipercayai oleh Foucault, bahwa beberapa kelompok mempunyai kekuasaan untuk membuat klaim atas nama “seluruh umat manusia”. Dan menekankan sisi positif “otherness” yang menghargai perbedaan dari pengalaman manusia dan beragamnya perbedaan yang ada antara satu orang dengan yang lain.

Perspektif Post-Kolonialisme Dalam Hubungan Internasional


Oleh: Citra Istiqomah
Post-kolonialisme merupakan perspektif yang muncul sebagai kritik dari kolonialisme. Perspektif ini lahir sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap teori utama yang muncul sebelumnya yang cenderung memfokuskan diri pada aspek power, politik maupun negara. Perspektif ini mulai dikenal dan berkembang dalam hubungan internasional sejak tahun 1960-an melalui tulisan Edward Said “Orientalism” dan “The Wretched of The Earth” karya Frantz Fanon.[1] Dalam “Orientalism”, Said menitikberatkan pada perbedaan yang terjadi antara Barat dan Timur dimana bangsa Barat mempunyai kendali terhadap bangsa Timur. Sedangkan Fanon beranggapan bahwa kolonialisme yang terjadi membuat bangsa yang dijajah terutama negara dunia ketiga terus bergantung pada negara yang menjajah. Ketergantungan ini sengaja diciptakan oleh negara Barat untuk dapat tetap menguasai mereka baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Dengan ketergantungan ini,  negara dunia ketiga tidak dapat hidup mandiri dan mengembangkan diri untuk mengatasi masalah yang ada.
Post-kolonialisme memandang fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional dari perspektif bangsa yang dijajah (the oppressed). Untuk itu, para pemikir post-kolonialis berusaha memberikan kontribusinya untuk membantu negara-negara dunia ketiga untuk dapat lebih exist dalam hubungan antar negara. Menurut pandangan ini, kebodohan dan kemiskinan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat merupakan akibat dari kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Barat kepada bangsa Timur. Selain itu pada masa kolonialisme terjadi, kolonialisme meninggalkan beberapa peninggalan budaya a la Barat di negara jajahan dan mempengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat. Selain itu, kolonialisme juga menciptakan adanya istilah dalam masyarakat seperti The Man and The Native di Eropa yang menganggap bahwa The Man berhak untuk menguasai The Native. Kemunculan post-kolonialisme bertujuan untuk menghapuskan peninggalan dan pola pikir yang ada serta menolak adanya golongan dalam masyarakat. Akibat dari permasalahan yang muncul tersebut, pandangan ini muncul dan berkembang sebagai bentuk perlawanan masyarakat anti-kolonialisme. Kaum post-kolonialisme ini mendambakan adanya tatanan dunia yang lebih baik yang didorong oleh adanya self-determination yang dapat mendorong adanya kebebasan negara dan masyarakat dalam berpolitik dan dekolonialisasi.
Fokus dari perspektif post-kolonialisme ini adalah power dan knowledge, identitas dan perlawanan. Power dan knowledge di sini tidak hanya berfokus pada kekuatan militer dan ekonomi suatu negara, namun juga diartikan sebagai kekuatan dan pengetahuan bangsa Barat yang lebih besar jika dibandingkan dengan negara dunia ketiga. Dengan demikian, bangsa Barat akan cenderung berusaha dan melakukan invasi ke negara lain yang dianggap mempunyai power dan knowledge yang lebih rendah dibandingkan bangsanya. Sedangkan identitas, merupakan suatu pengertian dan pemahaman bahwa ada negara yang menjadi penjajah dan terjajah, utara-selatan dan barat-timur sehingga sudah wajar ketika mereka yang kuat melakukan invasi dan menjajah negara yang lebih lemah. Terakhir adalah mengenai perlawanan. Perlawanan ini ditunjukkan oleh bangsa yang terjajah mampu beradaptasi dalam kondisi terjajah karena kolonialisme dan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan penghapusan kolonialisme.[2]

Perspektif Poskolonialisme

Oleh: Bayu Setyawan


Pos-kolonialisme masuk dalam HI sekitar tahun 1960an. Perspektif ini lahir dari analisa terhadap negara yang terjajah. Adanya sejarah yang menunjukkan kolonialisme dan imperialisme yang terjadi pada negara-negara di dunia. Pos-kolonialisme mengkritisi perspektif mainstream sebelumnya yang dinilai berpihak pada kolonialisme dengan fokus power, politik, dan negara. Selain itu, pos-koloniasme juga menolak western centric yang dibawa oleh pemikiran moderen. Franz Fanon, Edward Said, dan Homi Bhabha merupakan tokoh-tokoh kaum pos-kolonialisme. Poskolonialisme hadir untuk menentang dampak-dampak yang dihasilkan oleh kolonialisme yang dinilai telah mengkonstruksi tatanan internasional yang penuh diskriminasi. Kajian utama dari pos-kolonialisme adalah identitas, power, dan struggle. Pos-kolonialisme menentang teori modern yang beranggapan bahwa negara dunia pertama menjadi pemimpin dunia karena negara dunia ketiga tidak mampu berkembang, untuk menanggapinya, penstudi pos-kolonialisme percaya bahwa kolonialisme lah yang mengkonstruksi stigma atas negara dunia ketiga). Kajian struggle sendiri digambarkan sebagai usaha self-determination dan dekolonisasi guna meruntuhkan penjajahan atau kolonialisme sehingga bersifat emansipatoris. Kritikan atas pos-kolonialisme adalah dinilai sebagai perspektif yang muncul dari Barat yang ada untuk mengkritisi dunia Barat pula.
Franz Fanon melihat kolonialisme yang telah terjadi meninggalkan dampak buruk bagi negara-negara yang terjajah. Pasalnya, sebagian dari negara-negara tersebut menjadi ketergantungan pada negara penjajah yang notabene lebih dahulu telah maju sehingga tidak menutup kemungkinan atas kehilangan identitas. Globalisasi diyakini lanjutan dari kolonialisme dengan cara yang soft dengan mempengaruhi pemikiran negara lain sebagaimana globalisasi sendiri merupakan pemikiran Barat. Sementara itu, Edward Said mengatakan bahwa istilah postkolonialisme bukanlah sebuah bentuk gerakan “pembebasan” atau emansipatoris melainkan merupakan bentuk baru untuk memunculkan ide-ide hegemoni lagi Ide tersebut terlihat ketika bangsa Barat kemudian gencar untuk mengendalikan bangsa Timur dengan cara yang berbeda dari kolonialisme yang terlihat secara fisik. Homi Bhabha sendiri memiliki pemikiran yang lebih terfokuskan pada budaya. Kebudayaan yang ada pada bangsa Barat maupun Timur seolah-olah melebur dan menghasilkan satu budaya yang lebih dominan sehingga menghegemoni budaya lain. Identitas lagi lagi diserang oleh adanya pemikiran yang semakin modern.

Perspektif Poskolonialisme Dalam Hubungan Internasional


Oleh: Zulkifli Hi Manna
Pasca perang dingin telah melahirkan diskursus baru dalam perkembangan teori hubungan internasional, dimana sebelum perang dingin, hubungan internasional hanya fokus pada state-centic yang mengedepankan analisis yang positivis, selain itu juga sebelum perang dingin lebih banyak didominasi oleh wacana-wacana tentang perang, perdamaian, arms control, deterrence hingga militery force, sehingga dengan diskursus seperti itu, hubungan internasional bertumpu pada cara pandang negara-negara maju (great power).
Seiring berjalannya waktu, dalam hubungan internasional mulai mengalami pergeseran dalam perspektif, dimana isu-isu terkait identitas dan lokalitas mulai dipertimbangkan dalam analisis hubungan internasional, sehingga analisis-analisis yang melawan mainstream dan hegemoni mulai mendapat perhatian yang ditandai dengan munculnya teori kritis yang mengkritik ideologi sebagai pijakan utama dimana dalam perspektif kritis, universalisme akan menjadikan teori tersebut hegemoni karena tidak bisa dilepaskan dari kekuatan kepentingan. Hal menunjukkan bahwa pada dasarnya dalam ilmu hubungan internasional itu tidak tunggal, hal ini sangat dimungkinkan dibukanya sebuah cara pandang baru dalam hubungan internasional yang merefleksikan perspektif negara-negara dunia ketiga untuk membaca realitas yang ada.
Salah satu varian dari teori kritis adalah perspektif postkolonialisme yang menekankan pada kritik positivis, dimana penelitian yang objektif (bebas nilai) terhadap fenomena sosial sulit tercapai dan fenomena sosial itu tidak bisa diteliti melalui pendekatan saintifik. Perspektif ini berguna untuk membongkar motif dan tujuan dari sebuah gerakan perlawanan terhadap hegemoni yang dianggap menindas.
Secara etimologis, istilah postkolonialisme berasal dari bahasa inggris postcolonialisme yang dibentuk oleh kata post + colonial + isme, yang secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir setelah kolonial, namun “post” disini bukan diartikan sebagai setelah atau sesudah kolonial (penjajahan) karena postkolonial bukan akhir dari proses kolonial, sebab pada kenyataannya proses penguasaan lewat bentuk-bentuk dan sistem-sistem baru belum berakhir, misalnya dilihat dari segi budaya, definisi postkolonial selalu dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya kulit putih. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan bagi semua budaya, bahkan acuan ini tetap berlangsung walaupun sebuah negara telah memperoleh kemerdekaannya, dimana sebuah pemerintahan yang baru yang berasal dari masyarakat setempat memandang rakyatnya dengan cara pandang orang-orang kolonial (penjajah/barat) terhadap penduduknya yang non kolonial, masyarakatnya tetap dipandang sebagai penduduk yang terbelakang, miskin dan lain sebagainya, sehingga harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya khusunya masyarakat Barat. Jadi dalam masyarakat global, pandangan yang menjadikan barat sebagai acuan seolah-olah meminggirkan budaya sendiri, karena telah dihegemoni oleh budaya orang kulit putih terhadap budaya masyarakat yang pernah terjajah. Hal ini membuktikan bahwa pada masa kolonial, negara-negara penjajah memiliki dominasi yang kuat di wilayah-wilayah jajahannya. Dominasi tersebut dapat dilihat melalui sejarah, terutama pada sejarah kolonial yang mempengaruhi pembentukan identitas diwilayah-wilayah jajahannya.
Menurut Bill Aschroft dkk sebagai pelopor kajian postkolonial menyatakan bahwa, postkolonialisme sebagai “... deals with the effects of colonization on cultures and societies”. Artinya postkolonialisme mengedepankan kajian terhadap efek atau pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat tertentu dengan cara mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme.

Perspektif Posmodernisme Dalam Hubungan Internasional


Oleh: Novian Uticha Sally
Post modernisme adalah sebuah teori baru dalam kajian Hubungan Internasional yang muncul di tahun 1980, dan dipelopori oleh pemikir-pemikir seperti: Michel Foucault, Jacques Derrida, James Der Derian dan Jean-Francois Lyotard. Teori ini menelaah teori-teori yang sudah ada sebelumnya dalam fungsinya sebagai kritik teori. Seperti juga yang disampaikan oleh Jacques Derrida bahwa untuk memahami lebih jauh pengetahuan yang ada di muka bumi ini maka diharuskan untuk membaca sejarah dan pengalaman yang lalu. Dengan cara itu, menunjukkan bagaimana teori dan pembelajaran menjadi seobjektif, senatural mungkin (Smith 2001:240). Ada beberapa hal yang bersifat khusus yang diusung oleh teori ini, hal-hal tersebut adalah:
1. Cara post modernisme memandang kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Apa yang diyakini oleh Foucault adalah hal yang bertentangan dengan konsensus sosial yang ada pada waktu itu. Dimana dalam ilmu sosial ortodoks, agar suatu ilmu pengetahuan itu bersifat objektif maka, ilmu pengetahuan itu haruslah bebas dari pengaruh kekuasaan. Namun Foucault berpendapat bahwa pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan, karena kekuasaan itulah yang membentuk pengetahuan; Atau yang beliau sebut dengan aturan imanensi (rule of immanence)
2. Genealogi adalah suatu bentuk sejarah yang mengartikan sejarah atas hal-hal yang dianggap berada diluar sejarah, termasuk hal-hal atau pemikiran yang telah terkubur, tertutup atau hilang dari pandangan dalam tulisan dan penciptaan sejarah[1]. Sejarah bukannya mengungkap makna/kebenaran, tapi malah menampilkan pengulangan dominasi tanpa akhir.
3. Dekonstruksi yang bertujuan menunjukan akibat kerugian yang dihasilkan oleh pertentangan baku, untuk menyingkap hubungan parasitical antara hal-hal yang bertentangan dan upaya memindahkannya
4. Pembacaan ganda. Pembacaan pertama adalah menguraikan kehomogenitasan teks tersusun, sedangkan pembacaan kedua menyoroti ketegangan-ketegangan internal dan bagaimana kemudian ketegangan itu terbuang.

Perspektif Posmodernisme


Oleh: Ahmad Anwar
Teori posmodernisme berupaya untuk membuat sadar para ilmuan atas penjara konseptual. Konseptual yang paling utama ialah modernitas itu sendiri, bahwa modernisasi menyebabkan kemajuan dan kehidupan yang lebih baik (Jackson & Sorensen 1999: 303). Modernitas dengan positivismenya lebih mengedepankan ilmu pengetahuan berdasarkan fakta-fakta empiris dan kebenaran objektif. Pokok utama teori posmodernisme adalah mengkritik asumsi dasar positivisme tersebut bahwa sebenarnya kebenaran yang ada adalah subjektif. Tokoh pemikirnya antara lain Michel Foucault, Nietzsche, dan Jacques Derrida.
Menurut pandangan posmodernis, pengetahuan dan kekuasaan itu saling mempengaruhi secara langsung  satu sama lain. Foucault memandang bahwa tidak ada kekuasaan tanpa adanya pembentukan korelatif atas sebuah bidang pengetahuan, begitu juga tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak menyaratkan dan membentuk hubungan kekuasaan dalam waktu yang sama. Pengetahuan selalu digerakkan oleh kepentingan tertentu. Penelitian tidak sepenuhnya dilakukan demi kemajuan pengetahuan itu sendiri, tetapi juga dilakukan untuk mendukung suatu kepentingan yang memotorinya (Burchill, 1996: 245). Sehingga seperti teori kritis lainnya, menurut posmodernis suatu pengetahuan tidak bisa dikatakan bebas nilai.
Hal ini dikorelasikan oleh Foucault dalam metode Genealogy-nya. Genealogi memfokuskan pada usaha berusaha melacak pengertian suatu hal sesuai dengan arti originalnya, yang belum terungkap atau bahkan dikecualikan, seperti pada penulisan sejarah. Posmodernisme sangat skeptis dalam menggunakan metodologi historis. Kebenaran penulisan sejarah dipandang cenderung berisi pengulangan peristiwa-peristiwa dominan saja dan menghilangkan esensi sejarah lainnya. Sejarah sebagai pengetahuan merupakan kondisi yang tersituasi oleh kepentingan penguasa dan isu yang dominan saat itu (Devetak, 2000: 163). Perkembangan dan pergeseran jaman memberikan pengaruh yang kuat, sehingga sejarah tidak selamanya objektif. Kebenaran yang ada hanyalah subjektivitas dari individu-individu yang berbeda karenanya. Karakteristik penguasa negara juga mempengaruhi politik negaranya dalam membangun paradigma saat itu. Peran pengetahuan yang ada telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal.

Teori Posmodernisme


Oleh: Farida Choirunisa
Teori posmodernisme muncul sebagai kritik atas teori-teori positivis dalam ilmu hubungan internasional yang tidak mau begitu saja menerima hubungan antara epistemology dan ontology. Posmodernisme selalu mempertanyakan dan mencari kebenaran suatu makna, dan menganggap bahwa tidak ada yang real karena ilmu pengetahuan adalah hasil intrepetasi manusia saja.
Dalam kaitan kekuasaan dan ilmu pengetahuan, salah satu pemikir posmodernisme yaitu Foucault mempermasalahkan teori Immanuel Kant yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan haruslah bersifat murni dan objektif dan didasarkan pada logika murni, sedangkan menurut Foucault ada keterkaitan antara kebenaran ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, kebenaran itu penting dan memberi pengaruh tetap pada kekuasaan, sehingga antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan (rule of immanence). Keterkaitan inilah yang kemudian pada satu titik memunculkan yang dinamakan kedaulatan yang kemudian mengatur hubungan politik di era modern. Berbeda dengan Foucault, pemikir posmodernisme yang lain yaitu Ashley merujuk rule of immanence pada hubungan antara ilmu pengetahuan dan ilmu tentang manusia, bahwa manusia sebagai makhluk berakal dengan ilmu pengetahuan total yang dicapai dapat pula mencapai suatu kekuasaan total.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam memahami posmodernisme adalah pendekatan genealogis, yakni suatu jenis pemahaman yang mengungkapkan adanya hubungan historis antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Genealogis menegaskan bahwa semua ilmu pengetahuan bersifat temporer atau berada dalam kurun waktu, tempat tertentu dan muncul dari suatu perspektif tertentu, sehingga yang terjadi kemudian adalah adu perspektif, satu perspektif mencoba mengalahkan perspektif yang lain dan menjadi hegemon. Foucault menyebut bahwa tidak ada kebenaran dalam ilmu hubungan internasional, yang ada hanyalah perspektif dan rezim kebenaran yang saing bersaing.

Perspektif Marxisme


Oleh: Citra Istiqomah
Marxisme telah lama dikenal sebagai salah satu meta-theory dalam ilmu hubungan internasional. Ajaran Marxisme berangkat dari pemikiran-pemikiran Karl Heinrich Marx, seorang sosiolog, filsuf yang kemudian menjadi tokoh revolusioner dari Trier, Jerman yang hidup pada tahun 1818-1883. Pemikiran-pemikiran Marx menjadi landasan bagi munculnya pemikiran-pemikiran kritis yang berkembang pada abad berikutnya.
            Para Marxist dan Neo-Marxist seringkali bertolak pada pemikiran-pemikiran Marx yang tertuang dalam karya-karya mendekati akhir hayatnya, seperti Communist Manifesto dan Capital yang dengannya, mereka memahami dan sepaham mengenai asas-asas dasar dalam pemikiran Marx berupa materialisme historis, perjuangan kelas dan nilai lebih. Hal ini kemudian membentuk basis pandangan yang kemudian mengarahkan orang pada konseptualisasi bahwa ajaran Marx materialistik, tidak humanis, dan juga ateis, sehingga orang perlu menutup diri terhadap ajaran tersebut. Di AS misalnya, Erich Fromm melihat kecenderungan orang menjustifikasi atau memberikan pandangan klise dan cenderung negatif bahwa Marxisme semata bersikap materialistik, mengesampikan individu di bawah negara atau masyarakat, dan oleh karena itu berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.[1]
Di sisi lain, orang seringkali melupakan ajaran Marx yang tidak kalah esensial, lebih filosofis-humanis ketimbang ekonomi-politik, yang tertuang dalam gagasan-gagasan awal atau karya-karya masa mudanya, seperti Economic and Philosophical Manuscripts (1844). Dalam karya awalnya itu Marx bahkan berupaya untuk memerangi materialisme yang muncul dalam gaya hidup borjuis untuk menciptakan kondisi masyarakat di mana manusia adalah kebaikan tertinggi (summum bonum). Dari sini kita dapat melihat dimensi humanis Marx. Namun dalam perkembangannya, orang lebih sering melihat sisi-sisi dari pemikiran Marx yang umum, yang dikenal lebih radikal.

Terorisme dan Konflik Pra Black September 9/11


Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Terorisme dan perang melawan terorisme merupakan tema yang paling sering disebut-sebut sebagai tema yang mungkin paling mempengaruhi konstelasi politik internasional saat ini. Meskipun begitu sebenarnya para peneliti juga masih kesulitan mendefinisikan secara fixed tentang terorisme itu sendiri, namun yang jelas terorisme telah membawa pergeseran fokus keamanan internasional. Fokus keamanan yang dulunya sangat state centric yang hirau dengan masalah kedaulatan nasional harus memberikan tempat yang istimewa kepada non state actor yang dulunya seakan-akan diabaikan. Namun pada sub bab ini akan lebih difokuskan pada masa sebelum terjadinya tragedi Black September.
Yang menjadi hal menarik adalah bahwa menurut sejarah definisi terorisme ternyata sangatlah berbeda dengan definisi terorisme yang kita pahami sekarang. Dalam buku “Terrorism, War, and International Law”, Myra Williamson mengatakan bahwa terorisme adalah bentuk kebijakan dari pemerintah untuk melakukan represi terhadap rakyatnya untuk menerima kebijakannya.[1] Hal ini penting karena bentuk represi ini merupakan instrumen pemerintah yang ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan nasional, lebih dari itu bentuk tindakan terror seperti ini juga menjadi alat intimidasi pemerintah untuk mempertahankan status quo.
The regime of terror was designed to consolidate the new government’s power by intimidating counter-revolutionaries, subversives and all other dissidents whom the new regime regarded as ‘enemies of the people’. Historically, states have conducted terror on a far more massive and lethal scale than groups. They have employed terror as a weapon of tyranny and repression and as an instrument of war. [2]

Penyebaran Budaya Populer Korea Selatan dan Pengaruhnya secara Global


Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Pembentukan Korean Wave sebagai soft power Korea Selatan melibatkan unsur-unsur seperti sumber soft power, aktor yang terlibat (“referees” dan “receivers”) serta agenda setting dan attraction yang disertai dengan faktor-faktor pendukung daya tarik soft power.  Menurut Nye, soft power suatu negara bersumber dari tiga hal, yakni kebijakan luar negeri, nilai-nilai dan kebijakan domestik, serta kebudayaan[1]. Korean Wave dalam hal ini menjadi soft power Korea Selatan dengan sumber soft power berupa budaya populer (pop culture). Korean Wave dapat terbentuk sebagai soft power karena sumber budaya populer tersebut diekspor ke berbagai negara dalam bentuk produk budaya antara lain drama televisi, film, musik K-Pop, animasi dan games. Budaya populer seperti ini diciptakan untuk dapat dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan dan generasi. Terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pembuatan budaya populer, terutama dalam drama televisi dan film, Korea Selatan memadukan modernitas dan teknologi dengan tradisi dan nilai kekeluargaan, sehingga drama Korea dapat diterima banyak kalangan. Demikian dengan K-Pop, animasi dan games, Korea Selatan memproduksi produk budaya yang diminati dan digemari oleh masyarakat luas karena keunikan unsur domestik khas Korea dengan teknologi dan modernitas ala Barat[2]. Dengan upaya ini Korea Selatan berhasil menjembatani budaya Barat dan Timur dan menghasilkan suatu produk yang bisa diterima oleh keduanya.
Aktor yang terlibat dalam pembentukan Korean Wave sebagai soft power Korea Selatan adalah pemerintah, media (televisi, internet), industri produk budaya (industri drama televisi, musik, film, animasi, games), industri produk komersial (MNC seperti Samsung dan LG) sebagai “referees serta publik negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika sebagai “receivers”. Sebagai referee, pemerintah Korea Selatan terlibat dalam mendukung promosi budaya populer dalam Korean Wave melalui kebijakan-kebijakannya. Sedangkan media berperan sebagai sarana sumber rujukan untuk menikmati produk budaya seperti drama, film, animasi, K-Pop dan online games. Industri drama televisi, film, musik, animasi dan games adalah pihak yang terlibat dalam produksi kreatif budaya populer. Industri produk komersial seperti perusahaan multinasional Samsung dan LG adalah pihak yang terlibat dalam mendukung sekaligus memanfaatkan Korean Wave sebagai alat promosi produk komersial. Di sisi lain, receivers dari Korean Wave adalah publik di negara-negara Asia, Eropa dan Amerika yang menerima ekspor budaya populer Korea Selatan dan mengkonsumsi baik produk budayanya maupun produk komersial yang dipasarkan dengan memanfaatkan popularitas Korean Wave.

Korean Wave (Hallyu) dan Budaya Populer sebagai Soft Power Korea Selatan


Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Budaya populer Korea Selatan, atau yang lebih dikenal dengan K-Pop kini telah menjadi salah satu instrumen soft power Korea Selatan. Penyebaran budaya tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya Korean Wave atau yang juga sering disebut Hallyu, yakni istilah atau terminologi yang digunakan oleh pers di Cina untuk menggambarkan popularitas budaya populer Korea Selatan yang masuk ke negara itu di akhir dekade 1990-an. Bergeraknya budaya Korea Selatan ini dimotori oleh industri hiburan seperti serial televisi, musik, film dan sebagainya yang awalnya menyebar ke negara-negara di kawasan Asia.
Ekspansi budaya Korea Selatan sendiri pada dasarnya telah bermula dari proses demokratisasi Korea Selatan pada akhir tahun 1980 yang turut mempengaruhi keterbukaan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, seperti masuknya film-film Hollywood ke Korea pada akhir 1980 setelah diangkatnya restriksi film asing semenjak era 1960-an oleh Park Chung Hee.[1] Hal tersebut dijadikan sebagai inisiasi ekonomi baru yang dimunculkan pada awal era 2000-an pasca krisis ekonomi Asia yang juga melanda Korea Selatan pada tahun 1997. Pemerintah Korea pada masa itu melalui presiden Kim Daejung mendirikan organisasi yang diagendakan untuk mempromosikan kebudayaan Korea. Pemerintahannya kemudian juga mengalokasikan dana sebesar 148,5 juta Dollar AS untuk mendukung pengorganisasian industri budaya tersebut. Proses ini kemudian mencapai puncaknya ketika budaya populer Korea Selatan yang masuk ke Cina pada akhir era 1990-an mendapat animo yang luar biasa dan kemudian meningkatkan popularitasnya di dunia internasional. Pasca peningkatan popularitas Korean Wave, perekonomian Korea Selatan berangsur-angsur mengalami kestabilan ekonomi dan bahkan mengalami peningkatan tajam. Pemerintah Korea memperkenalkan produk-produk industri budaya yang sebelumnya tidak dikenal menjadi digemari dan bahkan dicintai oleh masyarakat dunia melalui Korean Wave.

Soft Power sebagai Pendekatan Baru dalam Keamanan Internasional


Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia         
       Munculnya arus globalisasi pada masa sekarang ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, demikian juga halnya dengan semakin derasnya arus informasi sebagai bagian penting yang tidak dapat terpisahkan dari globalisasi itu sendiri. Derasnya arus informasi dalam era globalisasi ini turut serta dalam memberi perubahan kepada dunia tempat kita tinggal dalam berbagai macam sektor kehidupan dan interaksi yang termasuk di dalamnya. Hubungan antarnegara di dunia internasional pada masa dewasa ini pun tak luput dari arus globalisasi yang terjadi pada masa kini, oleh karena itu tidak heran bahwa tidak sedikit negara-negara di dunia pada masa sekarang menghadapi sekaligus memanfaatkan hal tersebut dalam dunia hubungan internasional.
            Era globalisasi ini membawa perubahan dalam dunia internasional tidak hanya dalam hal memunculkan aktor-aktor baru, yakni aktor non-negara, seperti korporasi dan non-governmental organization (NGO), tetapi juga memberi dampak terhadap pola-pola diplomasi dan bentuk interaksi lainnya, seperti power yang digunakan dari satu aktor terhadap aktor lainnya. Pada masa sekarang ini aktor hubungan internasional, khususnya negara tidak hanya sekedar menggunakan hard power seperti kekuatan militer dalam menyebarkan pengaruh mereka terhadap negara lainnya, atau dengan cara memberikan bantuan ekonomi untuk mempengaruhi negara-negara lainnya, tetapi juga dengan menggunakan soft power dengan cara-cara persuasif seperti pengaruh kultural.

Definisi Soft Power


Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Soft power adalah salah satu konsep yang diusung oleh Joseph S. Nye selain smart power. Soft power adalah sebuah istilah yang mulai banyak digunakan untuk mengartikan atau menjelaskan sebuah proses relasi dan realisasi kekuasaan. Makna soft power sendiri dapat dilihat dari istilah ‘soft’ yang berarti ‘lunak’ atau ‘halus’ dan ‘power’, yakni suatu kemampuan untuk melakukan segala sesuatu dan mengontrol pihak lain, untuk membuatnya melakukan sesuatu yang belum tentu ingin mereka lakukan (“an ability to do things and control others, to get others to do what they otherwise would not”).[1] Sehingga, soft power dapat didefinisikan sebagai sebuah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi perilaku negara lain dengan cara persuasif daripada dengan koersi atau maupun imbalan. Soft power ini bersumber dari kebudayaan, nilai-nilai yang dianut dan elemen-elemen intangible lainnya yang menjadi daya tarik:
 Soft power is the ability to get what you want through attraction rather than through coercion or payments[2] – Joseph Nye

Menurut Nye, soft power suatu negara bertumpu pada tiga sumber: “budaya (di tempat-tempat menarik bagi orang lain), nilai-nilai politik (ketika mereka hidup di dalam dan di luar negeri), dan kebijakan luar negeri (saat orang lain melihat negara ini memiliki kepemilikan yang sah atas suatu kebijakan politik dan otoritas.)”[3] Suatu negara dapat memperoleh hasil yang diinginkan dalam politik dunia karena negara-negara lain mengagumi nilai-nilainya, meniru contohnya, bercita-cita untuk meningkatkan kemakmuran dan keterbukaan negaranya. Dalam pengertian ini penting juga untuk mengatur agenda dan menarik pihak lain dalam politik dunia, dan bukan hanya untuk memaksa mereka berubah dengan ancaman kekuatan militer atau sanksi ekonomi tetapi juga dengan soft power.

Analisis Penyebaran Senjata Konvensional "SALW" dan Dampaknya Bagi Keamanan Internasional


Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Dian Trianita Lestari, Evita, Nasikhatun Listya Atika Farah

Abstract

This paper try to analyze the spreading availability of small arms and light weapon (SALW) that has been a major factor in the increase in the number of conflicts, and in hindering smoother rebuilding and development after a conflict has ended. Also, all its effects in international security, and how it should be managed in order to bring understanding about its correlation toward global security both for traditional security studies and non-traditional security studies. The distributing of convensional weapon: both small arms and light weapon has become a part issues of security studies in international relation and become a new way to understand many war and conflict analisies in different region, in this case we take an issue about “Arms Trade: Threat the World Security.” These and idea of convensional weapon in Arms Trade: Big Business, even until now, creates pro and contra from not only the country who become as supplier but also as demander. Hopefully this paper will bring clarity of con vensional weapon concept to give more understanding in international security studies.

Keyword: senjata konvensional, small arms and light weapon (SALW), keamanan internasional

Isu tentang proliferasi terlarang small arms and light weapon (SALW)” pertama  kali diangkat dalam Resolusi Majelis Umum 1995 (A/RES/50/70B). [1] Ketika, dua kelompok tim yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal, mengeluarkan laporan pada dalam artikel (A/52/298 (1997) dan A/54/258 (1999)), keduanya menegaskan perlunya mengontrol bersama penyebaran senjata di seluruh dunia. Kerjasama multilateral ini telah menunjukkan langkah yang signifikan dengan dibentuknya Konferensi PBB tentang Perdagangan Gelap Senjata Kecil dan Senjata Ringan di semua aspek, yang berlangsung pada Juli 2001 di Markas Besar PBB di New York. Pada kesempatan ini, para negara peserta sepakat untuk mengadopsi Program Aksi (PoA) untuk mencegah, menangkis, dan memberantas perdagangan gelap SALW.
SALW termasuk dalam senjata konvensional, yaitu senjata yg lazim umum, biasa digunakan tidak termasuk senjata atom, nuklir, kuman (kimia dan biologi), dan senjata-senjata inkonvensional lainnya. Senjata konvensional dalam halini termasuk “Small arms include light weapons such as hand guns, pistols, sub-machine guns, mortars, landmines, grenades, and light missiles”.[2] Sedangkan, menurut PBB  small arms” adalah senjata-senjata yang khusus dibuat dengan spesifikasi militer yang di desain untuk digunakan secara perorangan, dan berbeda dari senjata berat yang membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan dan memeliharanya.[3] Penyebaran gelap SALW telah membuktikan banyaknya jumlah kematian dalam konflik bersenjata sejak 1945. Pada masa perang dingin SALW merupakan bagian dasar dari perlengkapan militer, tidak begitu kontroversial, dan seperti senjata pemusnah massal, penyebarannya tidak diatur. Pada akhir tahun 1990-an ada faktor yang telah membawa isu penyebaran SALW menjadi perhatian komunitas internasional. [4]

Parameter Sejarah Dalam Politik Luar Negeri Jepang


Oleh: Erwina Salsabila
Politik luar negeri Jepang ditujukan untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan negara. Hal ini tercermin dari kapabilitas pemerintah pasca Perang Dunia II untuk meminimalisir dampak negatif terhadap keamanan Jepang terlepas dari peperangan dan revolusi di Asia Timur. Sebaliknya, pemerintah Jepang mampu memanfaatkan sistem ekonomi Bretton Woods untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri inilah yang meningkatkan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap kemampuan pemerintah dalam memformulasikan politik luar negeri.
Pasca Perang Dingin, konstelasi politik internasional diwarnai oleh isu-isu yang bervariasi, mulai dari hubungan buruk antara Jepang dan Korea, kemajuan ekonomi Cina, hingga perang melawan terorisme. Pemerintah Jepang dituntut untuk merespon berbagai tantangan dan memetakan kembali hubungan bilateral baik dengan Amerika maupun dengan Cina. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Jepang, karena mereka tidak hanya dituntut untuk tetap mengikuti pola politik luar negeri yang sudah berjalan selama ini namun juga harus mampu menganalisa dan membaca peta hubungan antar negara.
Beberapa tantangan pun muncul dalam merealisasikan tuntutan-tuntutan tersebut. Hal ini sejatinya dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, adanya perbedaan generasi yang memimpin hubungan luar negeri Jepang. Generasi masa kini mungkin tidak merasakan secara langsung ketegangan dengan beberapa negara seperti Cina dan Korea yang tentunya akan berpengaruh bagi pemetaan hubungan luar negeri Jepang. Kedua, sistem pemerintahan Jepang yang lebih transparan menuntut pemerintah untuk lebih peka dalam memenuhi aspirasi masyarakat. Salah satu implikasi hal ini adalah desus krisis legitimasi pemerintahan dan ketidakpercayaan masyarakat terutama salah satu contohnya adalah akibat adanya kasus penyimpangan yang terungkap dari departemen luar negeri Jepang.
Oleh sebab itu, beberapa parameter penting yang mempengaruhi politik luar negeri Jepang pasca Perang Dunia II akan ditelaah di bawah ini.

A.     Menyejajarkan diri dengan Barat versus Mempertahankan Identitas Asia
Sejak memasuki era modernisasi, para pemimpin Jepang telah menyadari adanya kontradiksi
dalam identitas nasional Jepang. Chomin Nakae[1] dalam esainya yang terkenal menjelaskan mengenai perdebatan antara dua karakter nasional: keluar dari Asia untuk bergabung dengan kekuatan Barat, atau tetap menjadi bagian dari Asia. Namun, segala usaha modernisasi yang dilakukan oleh Jepang semenjak Restorasi Meiji dapat dikatakan sebagai usaha nasional untuk mengejar ketinggalan atas kemajuan bangsa Barat.
Proses mengejar ketinggalan yang dilakukan oleh Jepang dapat dibedakan ke dalam dua fase, yaitu sejak Restorasi Meiji hingga dimulainya Perang Dunia II serta pasca Perang Dunia II hingga era 1970-an. Pada fase yang pertama yaitu antara tahun 1868-1945, pertentangan antara kedua peran memang belum terlalu banyak mempengaruhi kebijakan nasional Jepang. Demi mengejar ketinggalan dari bangsa Barat dan barangkali untuk mencegah kolonisasi kekuatan Barat, Jepang berpartisipasi secara ‘liar’ dalam penjajahan di Asia. Tujuan utama Jepang pada saat itu bukanlah meninggalkan Asia, namun dipicu oleh tekanan yang dirasa Jepang atas identitasnya serta kegusaran terhadap hegemoni Barat terutama Britania Raya (UK) dan Amerika Serikat. Bahkan, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe sempat menuliskan sebuah esai yang mengutuk supremasi kedua negara Barat tersebut dalam politik internasional pada tahun 1918.