“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Konsep Kebebasan Dalam Perspektif Liberal dan Marxis


Oleh Haryo Prasodjo
Meskipun kini kehidupan umat manusia telah memasuki era abad ke 21, dimana sistem dalam masyarakat modern pada umumnya menjadi semakin kompleks dan terintegrasi secara ekonomi, sosial dan politik. Hal tersebut tidak berarti membuat dua perspektif liberal dan marxis yang pernah menjadi sebuah perspektif dominan menjadi usang dan tidak terpakai. Globalisasi yang menyajikan kemajuan dalam bidang tekhnologi informasi dan transformasi, telah berhasil membawa kehidupan umat manusia dalam sebuah transformasi akan nilai-nilai sosial baru dalam interaksi sehari-hari. Dengan adanya nilai-nilai baru, sistem baru, serta interaksi ekonomi dan produksi baru tidak berarti menjadikan dua perspektif ini menjadi tumpul dalam melihat fenomena sosial yang ada.
Para kaum liberalis maupun marxis justru membuat suatu terobosan-terobosan dan upaya baru agar perspektif ini tetap menjadi sebuah perspektif yang dapat digunakan dalam melihat fenomena sosial saat ini. Dan yang pada akhirnya menjadikan dua perspektif ini tetap menjadi sebuah perspektif yang relevan untuk melihat keadaan interaksi sosial yang ada. Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk membandingkan dua perspektif besar ini, baik melalui perspektif liberal maupun melalui perspektif marxis dalam melihat konsep kebebasan dan bagaimana peran pemerintah dalam hal ini negara dalam pendistribusian mengenai kebebasan tersebut.
Liberalisme merupakan teori yang positif dan idealis dalam memandang hubungan antara negara dari politik dunia. Selain itu, liberalisme juga merupakan salah satu doktrin utama dalam filsafat ilmu politik Barat.  Yang mana berangkat dari sebuah konsep kebebasan bagi individu dan kesetaraan, serta memiliki pandangan bahwa semua manusia pada dasarnya adalah baik. Dan kalaupun terdapat manusia jahat, hal tersebut merupakan bentukan dari lembaga yang ada. Cita-cita inti dari liberalisme adalah menekankan pada aspek individualisme, hak asasi manusia, uviversalitas, kebebasan dari adanya otoritas, serta persamaan hak di mata hukum.[1] Dalam politik, perspektif liberal memandang bahwa kebebasan individu merupakan tujuan yang paling utama. Pemerintah hadir untuk melindungi hak-hak individu serta memberikan kesempatan yang sama bagi tiap individu. Adapun prinsip-prinsip kebebasan dalam perspketif liberal meliputi kebebasan untuk berfikir, berbicara, serta kebebasan dalam ekonomi dan adanya transparansi serta demokratis dalam iklim pemerintahan negara.
Bagi perspketif liberal, hak asasi manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah dan diganggu. Adapun hak asasi tersebut juga meliputi hak untuk hidup serta memiliki kekayaan. Pada tahun 1968 John Locke mengemukakan dua ide mengenai dasar dari liberalisme yaitu kebebasan ekonomi seperti hak untuk memiliki dan menggunakan kekayaan, serta kebebasan intelektual yang meliputi kebebasan manusia untuk mengikuti kata hati nurani. Dan dua hal tersebut dirangkum dalam teori yang dikenal dengan “Hak Alami” yang merupakan kebebasan individu untuk hidup dan memiliki materi.[2]
Perspektif ini percaya bahwa kerjasama internasional dapat diwujudkan dalam bentuk kelembagaan internasional yang juga berfungsi untuk mengontrol dunia yang dianggap oleh kaum Realis sebagai dunia yang anarki. Liberalisme lebih mengedepankan etika dan moral yang universal sebagai salah satu cara untuk mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Dimana untuk mengedepankan moral tersebut perspektif ini berangkat dari argumen dasar yaitu manusia pada umumnya haruslah diberi kebebasan yaitu  kebebasan untuk berfikir dan bertindak.[3] Dalam liberalisme klasik, kebebasan dapat diartikan sebagai bebas dari paksaan. Sedangkan dalam liberalisme sosial, menekankan pada peran aktif pemerintah dalam mempromosikan kebebasan warga negara. Dimana seseorang dikatakan memiliki kebebasan jika seseorang tersebut sudah dapat dikatakan hidup sehat, berpendidikan, dan jauh dari kemiskinan. Dalam hal ini, peran negara ditekankan pada aspek menciptakan layanan kesehatan dan pendidikan serta upah yang layak bagi warga negaranya. Selain itu, liberalisme juga menggunakan kekuasaan negara untuk memberikan kesempatan akan kebebasan yang sama bagi individu yang kurang mampu dalam hal kebebasan untuk bertindak, berbicara dan juga bebas dari deskriminasi.

Critical Review Chapter: “Sistem Moneter Internasional” Antara Outley dan R. Gilpin



Oleh: Haryo Prasodjo
Tulisan ini akan membahas mengenai critical review terkait dengan judul sistem moneter internasional yang terdapat dalam buku Outlay.  Dalam bukunya tersebut, Outlay lebih menjelaskan mengenai sistem moneter internasional dengan beberapa bagian didalamnya dengan gaya bahasa yang sifatnya teknis dan definisi. Buku dari Outlay sendiri mendefinisikan sistem moneter internasional, sebagai sbuah sistem yang diciptakan untuk mengatur mekanisme dari sistem moneter. Saat sistem tersebut berjalan dengan baik, maka perdagangan internasional dan investasi akan berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, saat sistem tersebut mengalami masalah, maka yang terjadi adalah krisis ekonomi. Moneter internasional sendiri lebih ditunjukkan dengan nilai total dari transaksi internasional dalam hal ini yaitu antara Amerika dan seluruh negara di dunia. Untuk mengetahui bagaimana sistem moneter ini bekerja adalah dengan cara mengetahui bagaimana sistem moneter internasional tersebut digunakan dalam mekanisme ekonomi internasional.
Setidaknya dalam buku tersebut dijabarkan,  terdapat beberapa sistem nilai tukar yang terdapat dalam sistem moneter internasional. Yang pertama adalah Exchage- Rate System, yang merupakan cerminan dari interaksi antara permintaan dan penawaran dalam sebuah foreign exchange market. Ketidak seimbangan antara penawaran dan permintaan terjadi karena adanya perubahan dari nilai tukar yang digunakan. Exchange rate system sendiri merupakan sebuah aturan pemerintah yang mengatur tentang seberapa banyak mata uang nasional milik negara digunakan dan didepresiasi pada pasar valuta asing. Setidaknya terdapat dua tipe sistem yang digunakan dalam sistem tukar ini diantaranya yaitu fixed exchange-rate system dan floating exchange-rate system. fixed exchange-rate system dapat diartikan sebagai sistem yang mana pemerintah diperbolehkan untuk melakukan pengaturan dalam menentukan nilai tukar dari mata uang. Sehingga memungkinkan adanya kestabilan dalam nilai tukar. Selain itu dalam exchange-rate system juga terdapat apa yang dinamakan sebagai foreign exchange market intervension, yang memungkinkan pemerintah melakukan intervensi terhadap perubahan yang terjadi pada nilai tukar mata uang yang dikalukan dengan melakukan jual beli mata uang dalam pasar valuta asing. Hal ini dilakukan untuk menjamin kestabilan nilai tukar mata uang tersebut. Sedangkan pada floating exchange-rate system, dapat diartikan dimana tidak ada batasan atas pertukaran dan perubahan nilai mata uang yang terjadi pada pasar. Dalam sistem ini, pemerintah tidak ikut campur dalam hal penentuan nilai tukar karena nilai tukar tersbut dikembalikan kepada standar yang digunakan. Nilai tukar seperti ini biasanya dapat dilihat melalui aktifitas institusi financial dan juga aktor individu. Kedua sistem tersebut memang memiliki representasi yang berbeda. Yang mana dalam fixed exchange-rate system, lebih mengedepankan apa yang dinamakan sebagai flexebility dalam nilai tukar.
Dalam buku karya Outley tersebut juga dijelaskan, bagaimana cara pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar dalam sistem floating exchange rate system. Yaitu dengan cara mengatur dari nilai tukar yang mengambang tersebut. Dengan mekanisme mengkatagorikan berapa nilai tukar tersebut kedalam beberapa katagori dan mengaturnya agar tidak terjadi float yang terlalu bebas dan meluas. Secara tidak langsung, intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pasar valuta asing akan bepengaruh pada nilai tukar masing-masing mata uang. Dalam sistem moneter internasional kontemporer, pemerintah melakukan pengawasan dengan membentuk sebuah exchange rate arrangements.

Konsep Perdamaian Serta Penerapannya Dalam Konflik Perbatasan India-Pakistan


Oleh: Haryo Prasodjo 13/359514/PSP/04941
Pendahuluan
Manusia hidup tidak akan dapat dipisahkan dari apa yang kita sebut sebagai konflik. Sehingga dpat dipastikan bahwa usia konflik yang ada saat ini, sama dengan usia saat adanya kehidupan manusia. Secara harfiah, konflik dapat diartikan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau bahkan pertentangan. Konflik biasanya terjadi akibat adanay perbedaan, persingungan, dan juga pergerakan. Hal ini dikarenakan, setiap manusia memiliki cara gerak yang khas, unik dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, konflik merupakan suatu hal ang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Konflik sendiri biasanya melibatkan berbagai macam aktor didalamnya. Mereka di dalamnya ada yang terlibat langsug, maupun ada yang hanya sebagai penghubung dan mediator dalam konflik yang berlangsung. Mereka yang peduli akan resolusi sebuah konflik akan terfokus pada peranan dari para aktor yang berusaha menjembatani dan menyelesaikan masalah tersebut dengan berbagai cara dari negosiasi hingga mediasi.
Dalam perjalanannya, resolusi konflik memeiliki sebuah posisi yang sangat penting dalam sebuah evolusi dan dinamika konflik terbaru beserta analisisnya. Yaitu erat hubungannya dengan sejarah konflik, penyebab konflik, serta komposisi masing-masing pihak yang berkonflik di dalamnya. Mulai dari sifat keterlibatannya, perspektif, posisi, serta motifasinya dibalik keterlibatannya dalam konflik tersebut. Sedangkan adanya tujuan intervensi dalam sebuah konflik merupakan sebuah bentuk bantuan yang digunakan untuk menanggulangi dinamika dari siklus konflik seta mengurangi tingkat kekerasan atau permusuhan, dan memberi peluang untuk terbukanya sebuah dialog. Dlam sebuah konflik, biasanya terdapat beberapa pihak yang ikut masuk kedalamnya sebagai mediator kubu-kubu yang berkonflik. Tujuan dari adanya mediator tersebut tidaklah lain  untuk terciptanya sebuah kondisi tanpa adanya kekerasan, atau yang juga bisa disebut dengan perjalanan kondisi menuju sebuah perdamaian.
Konsep Perdamaian
Konsep perdamaian dalam definisi Galtung lebih diartikan sebagai keadaan dimana tidak adanya kekerasan. Dan dapat diartikan, bahwa perdamaian adalah jarak keadaan dari kekerasan menuju pada ketiadaan kekerasan. Selain itu, menurut Galtung perdamaian atau damai sendiri terbagi ke dalam dua katagori. Dalam bukunya tersebut, Galtung membagi kekerasan ke dalam tiga pembagian. Yang pertama adalah kekerasan fisik langsung, kekerasan seperti ini biasanya ditandai dengan bentuk kekerasan yang dapat dilihat oleh mata dan dilakukan secaa langsung. Seperti contoh pada konflik yang terjadi atas dasar agama ataupun suku seperti pembunuhan, penganiayaan, serta perusakan. Yang kedua adalah kekerasan struktural, kekerasan seperti ini adalah kekerasan yang terjadi akibat ketidak seimbangan pada sebuah sistem sosial. Yang mana ketimpangan tersebut mengakibatkan sebagian manusia merasakan penderitaan dan penindasan. Biasanya kekerasan dalam bentuk struktural ini memiliki dampak yang tidak secara langsung dirasakan. Seperti kemiskinan, diskriminasi, pengangguran dll. Dan bentuk kekerasan yang terakhir adalah kekerasan kultiral. Kekekrasan pada model yan gketiga ini, biasanya identik dengan kekerasan yang diakibatkan atau dipengaruhi oleh aspek-aspek bawaan dalam diri mansuia. Seperti halnya aspek agama, budaya, ideologi, atau bahkan pada sebuah kesenian ataupun yang pad ailmu pengetahuan.
Dan saat bicara mengenai perdamaian, Galtung membaginya kedalam dua macam bentuk pedamaian. Yang pertama adalah Negative Peace (perdamaian negatif) yaitu sebuah kondisi yang ditandai dengan ketiadaan kekerasan yang dilakukan oleh perseorangan, perdamaian dalam bentuk ini biasanya lebih merujuk pada kekerasan personal. Sedangkan bentuk perdamaian yang kedua menurut Galtung adalah Positive Peace (perdamaian positif) yang diartikan sebagai keadaan saat tidak terdapat kekerasan yang dilakukan secara terstruktur, berbeda terbalik dengan negative peace, positive peace lebih merujuk pada kekerasan dalam bentruk struktural. Perdamaian juga tidak hanya berfokus pada bagaimana mengontrol dan mereduksi kekerasan yang terjadi. Lebih dari itu, perdamaian juga harus dapat memberikan sebuah pembangunan vertikal yang lebih baik. Perdamaian juga tidak hanya menyangkut pada teori-teori yang bersangkutan dengan konflik semata, tapi jug aharus mencakup pada pembangunan perdamaian itu sendiri. Penelitian mengenai perdamaian juga harus mencakup hal-hal ataupun situasi yang berkenaan dengan masa lalu, saat ini, dan juga yang akan datang. Selain itu, ntuk mewujudkan perdamaian tersebut, maka harus terdapat hubungan antara perdamaian itu sendiri dengan cara untuk melakukan pembangunan perdamaian. Kekerasan personal yag kerap terjadi, biasanya terdapat dalam sebuah struktur. Dan untuk mengatasi perdamaian dalam kekerasan struktural membutuhkan sebuah dorongan lebih, dari pada penyelesaian perdamaian dalam kekerasan personal.

Sistem Keamanan Indonesia Dari Masa ke Masa



Oleh: Haryo Prasodjo, Caesar Oktavia, Anita Sholeha.
 
Pendahuluan

            Indonesia merupakan satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, terdiri dari 17 ribu lebih pulau dan luas wilayah terluas adalah perairan. Secara geografis Indonesia memiliki topografi wilayah yang cukup kompleks dimana terdiri dari dataran tinggi, rendah, hutan, gunung, dan lautan yang memiliki tingkatan kedalaman, luas, yang berbeda-beda. Selain itu pula, Indonesia sendiri berbatasan langsung dengan banyak negara semisal India, Malaysia, Australia, Papua Nugini, Palau, dan Timor Leste. Dalam mengelola, melindungi, dan mempertahankan kedaulatan wilayahnya, peran sistem pertahanan dalam hal ini militer sangat diperlukan. Hal ini pula juga dipengaruhi oleh aspek geostrategis sendiri, dimana wilayah Indonesia merupakan jalur dari transportasi dunia.
Indonesia tidak bisa mengelak bahwa letak wilayahnya merupakan satu area dimana secara strategis berpotensi pula terhadap keamanan nasionalnya. Secara sistem keamanan global dalam cakupan geostrategis sendiri, Indonesia dapat dikatakan sendirian dalam regional wilayahnya jika dibanding dengan negara0negara tetangganya. Hal ini mengingkat terhadap fenomena patron pertahanan yang dimiliki oleh Malaysia, Singapura, Australia, dan Filipina yang didukung atau dapat dikatakan bersekutu dengan Amerika Srikat, sedangkan Indonesia, sejak awal berdirinya negara tidak memilki jalinan patron pertahanan yang terinstusi secara resmi.
            Secara sosio-kultural sendiri Indonesia dapat dikatakan mejadi satu negara yang rawan. Hal ini dikarenakan jumlah dari banyaknya kesukuan, ras, yang mendiami wilayah dan tergabung menjadi satu identitas Bangsa Indonesia sangatlah banyak. Setiap suku-suku ini memilki potensi untuk saling bersitegang baik dengan suku lain maupun dengan pemerintah, walaupun konsepsi persatuan Indonesia telah digulirkan katika  sumpah pemuda maupun proklamasi kemerdekaan.
Banyak bukti yang kemudian menjadikan hal ini layak menjadi potensi keamanan dari lingkup domestik dan tidak menganl era, sebut saja ketika awal kemerdekaan, muncul banyak usaha-usaha pemberontakan seperti Permesta, PRRI, hingga kemudian di tahun-tahun berikutnya berkembangnya gerakan-gerakan separatis seperti OPM, RMS, GAM, hingga konflik-konflik horizontal kontemporer seperti di Poso, Ambon, Sampit, dan Lampung. Disinilah peran pemerintah mutlak diperlukan, tidak hanya dalam pemerataan kesejahteraan, dan atau pengelolaan persatuan Indonesia, bahkan untuk menghadapi hal-hal tersebut sistem pertahanan nasional juga perlu ditingkatkan.
Kondisi lain yang kemudian menjadikan kompleksitas dari letak dan keadaan Indonesia adalah potensi-potensi ancaman yang timbul akibat dari Globalisasi. Globalisasi telah menjadikan batas wilayah dari sebuah negara menjadi bias. Hal ini bukan berarti negara tidak lagi memliki batas wilayah yang riil, namun adanya kebebasan dan kemudahan akses untuk memasuki wilayah satu negara, khsusnya Indonesia mengakibatkan berkembangnya potensi-potensi ancaman terhadap negara tersebut.
Dahulu, aspek keamanan mencakup ancaman-ancaman tradisional seperti perang, namun sekarang potensi ancaman telah bertransformasi ke arah yang lebih spesifik seperti terorisme, kejahatan transnasional, penyelundupan, dan sebagainya. Oleh sebab itu maka pertahanan yang baik secara kualitas dan kuantitas mutlak diperlukan Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayahnya. Contohnya ialah ketika dahulu diawal pra kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai upaya belanda untuk kembali menguasai NKRI, salah satunya dengan peperangan, namun sekarang hal tersebut bergeser ketika banyak masalah-masalah keamanan non-tradisonal yang mengancam Indonesia. Contoh dari hal tersebut adalah Terorisme sendiri yang marak terjadi di Indonesia.
Berbicara tentang sistem pertahanan, maka hal sebelumnya kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan sistem pertahanan itu sendiri dalam perannya terhadap keamanan suatu negara. Sistem pertahanan adalah satu sistem yang didalamnya terdapat struktur, mekanisme dan tujuannya. Khusus mengenai kaitan sistem pertahanan dengan kemanan nasional, maka hal yang kemudian menjadi penting adalah militer, sebagai salah satu struktur yang dominan dalam sistem tersebut. Dominasi milter ini berangkat dari fungsi dasar militer itu sendiri yakni sebuah kekuatan bersenjata yang menjadi alat negara untuk menjamin kedaulatan wilayah, keamanan, dan tidak digunakan untuk kepentingan lain seperti politik.
Dalam penguatan sistem pertahanan nasional, maka dengan merujuk pada uraian singkat diatas, penguatan tersebut juga secara otomatis berkaitan dengan penguatan terhadap kekuatan militer di satu negara. Salah satu hal yang kemudian menentukan kuat atau tidaknya kualitas dan kapabilitas militer dari satu negara adalah perkembangan sistem persenjataannya, selain dari jumlah personel militer dan kualitas kemampuan teknis yang dimilikinya. Indonesia sendiri merupakan satu negara yang memiliki kekuatan militer dan sistem pertahanan militer dimana hal tersebut mengalami banyak dinamika terutama dalam hal kebijakan. Kebijakan disini merujuk pada keputusan-keputusan yang menyangkut dari penguatan militer terhadap sistem pertahanan nasional dan dalam pengkhususan kajiannya adalah penguatan persenjataan.

Rumusan Masalah:
Bagaimana pengembangan sistem persenjataan militer di Indonesia baik dari awal kemerdekaan hingga era kontemporer terkait dengan kepentingan nasionalnya ? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika tersebut?.

Landasan Konseptual.
Dalam kebijakan suatu pemerintahan di satu negara terkait dengan pengembangan dan penguatan sistem persenjataanya, hal yang kemduian menjadi tujuannya adalah terciptanya kepentingan nasionalnya. Hal ini merujuk pada prespektif realisme dimana kepentingan nasional menjadi satu tujuan yang kemudian menentukan kebijakan suatu negara, baik dalam politik domestik hingga internasionalnya. Salah satu bentuk dari kepentingan nasional sendiri ialah menyangkut dari aspek keamanan dan pertahanan negara. Banyaknya potensi yang sangat mungkin memiliki pengaruh buruk dan mengancam keamanan nasional dapat dijadikan rujukan mengapa satu negara tetap menjadikan militer sebagai basis utama pertahanannya.
Merujuk pada konsepsi tentang persenjataan yang erat kaitannya dengan realisme itu sendiri, maka untuk mengupas dinamika kebijakan terkait dari penguatan sistem persenjataan antar rezim di Indonesia, maka konseptualisasi analisanya dapat menggunakan apa yang Barry Buzan telah sampaikan salah satunya adalah deterence dan offense dan defense. Deterrence merujuk pada pengertian yang telah diberikan Barry Buzan, ialah sebuah upaya dengan menggunakan ancaman untuk menangkal agar sesuatu tidak terjadi.
 Dalam konsepsi ini hal yang lebih spesifik adalah mengenai deterrence strategy, yakni penggunakan persenjataan dengan mengawalinya terlbih dahulu tetapi tidak berarti menggagalkan serangan setelah serangat itu terjadi.[1] Untuk konsepsi tentang offense sendiri, K.R Adams menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan satu bentuk tindakan yang melibatkan antar negara atau antar kekuatan militer, dimana biasanya berkaitan dengan persengketaan wilayah dan atau persaingan antar kepentingan nasional.[2] Selain itu pula konsepsi terhadap Defense adalah merujuk pada upaya pemvbangunan kekuatan militer dalam hal pertahanan untuk mencapai dan atau melindungi dari ancaman-ancaman yang berpotensi merugikan kepentingan nasional.[3] Kepentingan nasional sendiri mencakup banyak hal dan keamanan nasional merupakan salah satu bentuk dari kepentingan nasional.
Adapun kebijakan upaya negara untuk memperkuat persenjataanya militernya juga sangat dipengaruhi oleh aspek perekonomian dan kesejahteraan nasional.[4] Hal ini merupakan satu bentuk logis hubungan antara aspek ekonomi dan dengan aspek militer, yakni bilamana negara yang mendapatkan pemasukan yang kurang secara ekonomis, dapat dikatakan tidak akan mampu untuk membangun tingkat pesenjataan yang berkualitas. Hal itu nantinya berujung pada kualitas dari sistem pertahanan yang tidak memadai sebab secara nilai ekonomis, harga yang dibayar untuk pembeliaan persenjataan atau pengembangan sistem persenjataan tidaklah murah. Negara kemudian memerlukan sumber dana yang besar untuk mencukupi kebutuhan pertahanan tersebut.

Dinamika Kebijakan Antar Rezim Terhadap Pengembangan Sistem Persenjataan   Militer di Indonesia

Sebelum melihat bagaimana dinamika yang terjadi di Indonesia terkait dengan penguatan sistem persenjataannya, maka hal yang kemudian menjadi penting adalah sejarah dari perkembangan persenjataan militer di Indonesia sendiri. Hal ini pula nantinya dapat dilihat bagaimana kebijakan pemerintah sangat berperan dalam dinamika tersbeut, selain dari situasi dan kondisi pada masa-masa tertentu. Dalam melihat adanya dinamika tersebut, maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan membagi periode-periode kekuasaan di tiap-tiap rezim yang telah dan atu sedang berkuasa di Indonesia, dimana didalamnya terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi kebijakan rezim tersebut nantinya pada pengembangan persenjataan di Indonesia.

  • Kebijakan Penguatan Persenjataan pada masa Pra Kemerdekaan, Revolusi dan Demokrasi Terpimpin di era Presiden Soekarno.

            Indonesia merupakan satu negara yang berhasil meraih kemerdekaan dengan jalan perlawanan fisik dan diplomasi. Khusus dalalm perlawanan fisik sendiri fakta sejarah mencatat bahwa perlawanan itu dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat dan terjadi di berbagai temapt di Indonesia, hingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya secara mandiri dari tangan Jepang yang merupakan penjajah terakhir yang ada di bumi nusantara. Pasca kemerdekaan tersebut tidak serta nantinya menjadikan Indonesia menjadi aman, namun pada wal-awal masa kemerdekaan itulah kondisi keamanan negara menjadi rawan. Hal ini diakibatkan oleh berbagai situasi dan kondisi baik itu berasal dari pengaruh eksternal yang berupa  situasi dan kondisi politik internasional dan dari situasi internal Indonesia sendiri.
            Adapun potensi ancaman yang ditimbulkan dari politik internasional saat itu adalah bagaimana Belanda dalam masa tersebut bergabung dalam kekuatan sekutu tidak menghendaki kemerdekaan Indonesia dan tampil sebagai persekutuan pemenang perang. Jepang yang mengalami kekalahan telak pada perang dunia kedua tidak lagi mampu untuk mempertahankan posisi tawarnya di muka internasional sehingga dapat dikatakan secara de facto Jepang kemudian tunduk terhadap pasukan sekutu.[5] Implikasi yang kemudian muncul terhadap kemerdekaan Indonesia adalah pihak sekutu, dalam hal ini Belanda kemudian mengingkan agar Indonesia kembali menjadi wilayah jajahan Belanda, sehingga terjadilah Agresi Militer Belanda 1 dan 2 di Indonesia.

Perlombaan Senjata Nuklir di Asia Selatan Antara India dan Pakistan


Oleh : Haryo Prasodjo 13/359514/PSP/04941

Latar Belakang Sejarah Hubungan India-Pakistan
India dan Pakistan merupakan negara yang merdeka di tahun 1947, yaitu etelah Inggris meninggalkan kawasan. Secara geografis, kedua negara yang berada di kawasan Asia Selatan negara ini merupakan negara tetangga yang saling berdekatan dan berbatasan. Negara India memiliki keadaan ekonomi yang jauh lebih baik dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu.  Sebaliknya, Pakistan memiliki keadaan ekonomi yang berada di bawah India dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Namun sesuai dengan partisi 562, terdapat satu wilayah yang menjadi kawasan abu-abu. Kawasan tersebut berada di wilayah Jammu dan Khasmir, yang mana wilayah diberikan kebebeasan untuk memilih negara mana yang akan diikuti. Pilihan tersebut, biasanya didasari atas banyaknya agama mayoritas di negara bagian tersebut. Setidaknya tiga perempat dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut merupakan masyarakat muslim, dan sebagian lainnya merupakan masyarakat yang beragama Hindu. Perselisihan terjadi setelah Pakistan mengklaim bahwa Khasmir yang berpenduduk 70% merupakan muslim adalah bagian dari Pakistan. Sedangkan bagi India, setelah Khasmir memiliki raja yang beragamakan Hindu, maka wilayah tersebut berhak untuk ikut masuk ke dalam wilayah teritorial India.[1]
Pada tanggal 22 Oktober 1947, India mengirimkan pasukannya ke wilayah yang dipersengketakan tersebut, hal ini menuai respon dari Pakistan yang juga turut mengirimkan pasukannya ke wilayah tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1947, India meminta PBB untuk ikut melakukan campur tangan dalam masalaha tersebut.[2] Untuk meredam konflik antara kedua negara tersebut, pada bulan Januari tahun 1948. PBB mendirikan sebuah komisi yang dinamakan United Nation Commision for India and Pakistan (UNCIP) untuk menyelidiki perselisihan dan menjadi mediator dalam perselisihan yang terjadi antara India dan Pakistan. Pada bulan April 1948, dewan keamanan PBB memperbedsar jangkauan keanggotaan komisi tersebut, untuk mempercepat rekomendasi yang terkait dengan langkah-langkah perdamaian. Selain itu, tujuan dibentuknya komisi tersebut juga sebagai komisi yang berperan untuk memonitoring kawasan yang dipersengketakan.[3]
Beberapa perjanjian dan referendum disepakati baik oleh India maupun oleh Pakistan. Ditahun 1965 perang kedua negara antara India dan Pakistan kembali terjadi, setelah bentrokan antara petugas patroli perbatasan di negara bagian Rann of Kutch, India. Hal tersebut juga diperparah dengan menyebrangnya pasukan Pakistan sebanyak 33.000 orang dengan menggunakan pakaian seperti layaknya penduduk Khasmir. Hal tersebut di respon oleh pihak India denga mengirimkan pasukan bersenjata dan sebanyak 600 tank ke wilayah perbatasan. Namun pada bulan September di tahun tersebut genjatan senjata dilakukan setelah adanya mandat dari PBB untuk menghentikan perang. Namun perang kembali pecah di tahun 1971, setelah pasukan Pakistan menjatuhkan bom di lapangan terbang wilayah barat laut India. Peperangan terjadi selama 13 hari dengan kekalahan di pihak Pakistan, dimana lebih dari 90.000 pasukannya menjadi tawanan perang. Pada tanggal 6 Desember di tahun yang sama, Pakistan Timur resmi lepas dari Pakistan Barat dan berdiri menjadi negara yang merdeka dengan nama Bangladesh.[4]
Pada tahun 1972, Pakistan yang di wakili oleh PM Zulfiqor Ali Bhutto dan India yang diwakili oleh PM Indhira Gandhi bertemu di Simla dan bersepakat untuk mengakhiri berbagai macam konfrontasi dan mengantikannya dengan hubungan yang kerjasama ekonomi yang lebih harmonis. Perjanjian Simla pada tanggal 17 Desember 1972, merupakan perjanjian Line of Control, dimana kedua negara   harus saling menghormati tanpa mengurngi posisinya pada  batas yang sudah disepakati oleh kedua pihak.[5] Namun di tahun 1974 pemerintah negara bagian Khasmir mengumumkan bahwa menurut konstituen, Khasmir merupakan bagian dari wilayah India dan keputusan tersebut di tolah oleh Pakistan. Dan pada bulan Mei, untuk pertama kalinya dalam sejarah, India meledakkan perangkat nuklir di wilayah Pokhran dengan kode “smilling Budha”.[6] Di tahun 1988, kedua negara kembali mengadakan perjanjian untuk tidak saling menyerang terhadap basis instalasi nuklir di masing-masing negara. Dan dalam perjanjian tersebut, juga diikutsertakan sebuah agenda kerjasama untuk saling menginformasikan terkait posisi dari wilayah yang terdapat instalasai nuklir setiap bulan Januari di tiap tahunnya. Hubungan antara India dan Pakistan pada rentang waktu 1989-1996 lebih diwarnai dengan gerakan-gerakan sparatis di wilayah perbatasan. Pada tahun 1998, India kembali meledakan sedikitnya lima perangkat nuklir di wilayah Porkhran. Hal tersebut juga direspon oleh Pakistan dengan ikut serta meledakkan enam perangkat nuklinya di Changgai Hills. Pada tahun yang sama, baik India mapun Pakistan juga melakukan uji coba rudal jarak jauhnya. Di tahun 1999, untuk pertama kalinya India dan Paksitan menandatangai sebuah kesepakatan bersama, untuk menegaskan kembali komitmen bersama kedua negara dalam Simla Accord dan melakukan sejumlah langkah-langkah apa yang dinamakan dengan Confidence Building Measure (CBM). Perjanjian tersebut dihadiri oleh perdana menteri masing-masing negara, yang mana India saat itu diwakilkan oleh PM Atal Bihari Vajpayee dan Pakistan diwakili oleh Nawaz Syarif.[7]

Kebangkitan Islam Sebagai Ideologi Internasional


Oleh: Haryo Prasodjo 13/359514/PSP/04941
Pendahuluan
Saat perang dingin berlangsung, paradigma dalam hubungan internasional yang berkembang saat itu seperti komunisme dan liberalisme telah berkembang dalam sistem dunia yang bipolar sebagai refleksi pemikiran teoritis dari seluruh spektrum ideologi yang berasal dari dunia barat. Hal tersebut menjadikan sebelum tahun 90-an aktor dominan dalam politik internasinal adalah negara dimana terdapat dua kekuatan besar yang mendominasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berakhirnya perang dingin telah menghilangkan pertempuran ideologi global. Yang memberikan kenyataan bahwa rezim komunis dapat menyerah secar alangsung tanpa adanya intervensi langsung dari dunia Barat. Fenomena ini dapat menjadi bukti bahwa karakter dari nilai-nilai dan doktrin-doktrin universal Barat yang menghancurkan komunisme. Keruntuhan komunisme pada dan akhir dunia yang bipolar menjadikan sebuah perubahan yang luar biasa dalam dimensi ideologi hubungan internasional. Berakhirnya perang dingin di akhir tahun 80-an, turut menandai berakhirnya perang ideologi antara komunisme dan liberal. Dan mengalami implikasi pada pergeseran aktor serta definisi power dalam hubungan internasional.
Peran ideologi dalam hubungan internasional menjadi sebuah subyek teoritis setelah banyaknya genomena-fenomena dalam wacana dunia politik. Bahkan jauh sebelum itu, telah terdapat unsur-unsur utama yang menggunakan sampul ideologi dalam prilaku politik untuk melakukan propaganda guna memperoleh legtimasi baik secara internal maupun internasional. Hal yang demikian dapat kembali kita lihat dalam kisah perang agama di Eropa serta sejarah Perang Salib yang sangat terkenal tersebut.
Sebuah refleksi yang sangat signifikan menyita perhatian sebagian pemikir besar dunia politik. F Fukuyama dalam tulisannya mengenai The End of The History menjelaskan bagaimana akhir dari perang dingin merupakan akhir dari sebuah perjuangan ideologi. Dimana komunisme harus tersingkir oleh liberalisme.[1]
Seiring dengan kemajuan dalam bidang tekhnologi informasi dan transportasi, fenomena-fenomena yang ada di dunia semakin menjadi komplek dan rinci. Ideologi pergerakan yang berasaskan Islam sendiri pertaman kali muncul dalam hal perdaganan minyak mentah. Yaitu dengan dibentuknya Organisasi Negara Islam penghasil minyak yang tergabung dalam OKI.
Di awal tahun 2000-an kita digemparkan oleh berita internasional terkait serangan teroris yang merubuhkan menara kembar WTC di Amerika Serikat. Maka pada saat itupula, dunia internasional kembali dibagi kedalam dua kubu yaitu kubu Amerika Serikat dan teroris yang diidntikkan dengan Islam. Banyak dari kelompok-kelompok gerakan yang  berlandaskan Islam menyatakan, bahwa apa yang menjadi tujuan mereka adalah untuk membangun kembali Negara Islam yang meliputi semua negara-negara Islam. Seperti sebuah ideologi yang ingin mendirikan sebuah aturan global. Sepeti gerakan-gerakan Islam fundamental yang menghadirkan ancaman serius bagi negara-negara di dunia yang termasuk negara muslim non Arab di dalamnya.
Islam Sebagai Ideologi
Sebelum kita berbicara mengenai Islam sebagai ideologi, maka kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan ideologi tersebut. Ideologi merupakan sebuah studi yang mengarah pada gagasan. Ideologi biasanya mengacu pada sistem pemikiran manusia yang koheren terkait dnegan kepercayaan. Sistem camacam ini, mencakup gambaran-gambaran bahwa manusia memiliki dunia luar serta ranah normatif yang harus manusia tersebut lakukan. Dlaam sebuah istilah, idologi lebih sering digunakan sebagai bentuk kepecayaan kepada Tuhan. Ideologi juga memiliki cara penggunaan tertentu, yaitu digunakan dalam sebuah pandangan mengenai dunia. Yang mana pandangan ini mengacu pada sistem pemikiran yang berkaitan dengan tindakan manusia. Adapun fungsi dari sistem seperti ini adalah memberikan pedoman kepada manusia untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang memang sepatutnya ia lakukan sebagai manusia.[2]
Agama Islam dimulai saat Nabi Muhammad menyebarkan agama tersebut pada abad ke 7 di jazirah Saudi Arabia. Islam sendiri merupakan sebuah ajaran mengenai keyakinan yang berlandaskan akan keimanan akan Tauhid yang berarti mengesakan Tuhan. Yaitu meyakini bahwa Allah hanyalah satu-satunya Tuhan yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Tiada Tuhan selain Allah. Islam sendiri lahir, sebagai agama penyempurna dari agama-agama yang telah dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Islam hadir sebagai cahaya penerang, dan hadir sebagai rahmatan lil ‘alami (sebagai rahmat alam semesta). Dalam penyebarannya, Islam dapat tumbuh dengan cepat ke seluruh negara-negara Arab, baik di Afrika Utara maupun di kawasan Timur Tengah. Di tengah-tengah bangsa Arab, Islam yang sejatinya adalah agama, teha bertransformasi sebagai alat nasionalisme. Islam merupakan sebuah agama yang tidak membatasi ruang lingkup hidup manusia. Lebih dari itu, Islam memiliki cara pandang mengenai kehdupan yang lebih lengkap dan luas dalam semua aspek kehidupan mansuia. Islam memberikan panduan untuk aspek kehidupan baik sosial maupun hidup individu. Yang mana di dalamnya telah diatur mengenai materi, moral, ekonoomi, politik, hukum, dan budaya, baik yang sifatnya nasional maupun yang internasional. Islam menyatakan bahwa tujuan dari agama tersebut adalah pemurnian jiwa dan rekonstruksi serta reformasi masyarakat. Adapun dalam hal ini, Ideologi Islam lebih didasarkan pada prinsip bahwa kehidupan manusia harus ditujukan untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Sehingga jelas bahwa bentuk ideologi seperti ini hanya diterima bagi mereka yang percaya bahwa Tuhan itu ada.
Islam hadir sebagai ideologi alternatif saat ini ditengah ketidak mampuan negara-negara didunia untuk mensejahterakan masyarakatnya. Para panganut ideologi ini merasa bahwa kejayaan Islam dimasa lalu harus kembali diwujudkan dengan menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam tatanan nilai-nilai kehidupan. Buku dari Francis Fukuyama yang berjudul clash of civilization telah dengan gamblang bagaimana ideologi Liberal menang atas ideologi Komunis dan menjadikannya sebagai akhir dari sejarah peradaban manusia. Namun ditengah fenomena tersebut, justru ideologi yang berlandaskan nilai-nilai Islam kembali hadir sebagai penganti dari ideologi pembanding dari ideologi dominan tersebut.

Masalah Ekonomi Global Bagi Negara Berkembang dan Tantangan Bagi Indonesia


Oleh: Haryo Prasodjo
1.                   Menurut saya, persoalan ekonomi global yang patut untuk diberi perhatian lebih terkait dengan negara berkembang adalah masalah perdagangan bebas. Karena posisi negara berkembang dalam hal ini seperti sangat dilematis. Negara berkebang yang pada umumnya merupakan negara bekas jajahan masa kolonial. Memiliki banyak sekali masalah dalam hal pembangunan ekonominya. Hal ini tidak terlepas dari masalah dalam negeri seperti kemiskinan, kesenjangan, tingkat pendidikan serta masalah infrastruktur. Bagi kaum liberal, untuk melakukan pembangunan, maka negara-negara berkembang harus mengikuti langkah-langkah pembangunan yang telah dilakukan oleh negara maju. Yaitu dengan cara mengatasi masalah yang berkaitan dengan hambatan pada produksi dan pra industri. Hal yang demikan apa yang dikatakan oleh kaum liberal sebagai “teori modernisasi”.

Bagi kaum liberal, negara diharuskan untuk membuka pasar dalam negerinya. Baik untuk perdagangan bebas maupun investasi asing yang masuk ke negara tersebut. Dengan demikian, negara berkembang akan mendapatkan keuntungan yaitu tanpa harus bersusah payah memproduksi sendiri apa-apa yang dapat diproduksi oleh negara lain. Yang menjadi masalah kemudian adalah, bagaimana nantinya negara berkembang akan dapat bersaing dengan negara-negara maju yang lebih dahulu memiliki kemampuan yang jauh diatas negara berkembang dalam hal efisiensi produksi dan juga tekhnologi.

Bagi pandangan marxisme, hal yang demikian hanya akan menjadikan negara berkebang sebagai ekor dari negara maju. Yaitu dengan menjadikan negara berkembang untuk terus bergantung dengan negara-negara industri maju. Negara berkembang tidak akan dapat bersaing dengan negara maju. Karena apa yang dilihat dalam pasar bebas oleh pandangan marxis adalah tidak lain hanyalah sebagai alat hegemoni negara-negara maju terhadap negara berkembang. Karena pasar bebas hanya dianggap sebagai alat negara maju untuk melancarkan hegemoni ekonominya melalui TNC dan MNC yang ada di negara tersebut.  Hal seperti ini dapat kita lihat pada fenomena ekonomi dunia saat ini. Di mana hanya sedikit dari negara berkembang yang mampu lepas dari jeratan pasar bebas.

Krisis Keamanan Antara Rusia dan Ukraina Dalam Perspektif Realis



Oleh: Febrilya Widiartanti , Arfianto Rifki , Haryo Prasodjo
Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir, Rusia tidak pernah melakukan intervensi di luar perbatasan dan mengatasnamakan diaspora etnis Rusia. Krisis antara Rusia dan kraina dimulai saat Rusia mengirimkan pasukannya ke Crimea. Meskipun berbagai kecaman agar Rusia menarik pasukannya dari Crimea datang dari Ukraina dan negara-negara yang tergabung dalam NATO. Pengambil aliahn wilayah Crimea dilakukan oleh Rusia dengan menguasai gedung-gedung pemerintahan, infrastruktur komunikasi, pangkalan militer, dan juga gudang-gudang senjata.[1]
Setelah bergabungnya Crimea menjadi bagian dari Rusia, ketegangan antara Rusia dan Ukraina terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari pengiriman sejumlah pasukan Rusia ke wilayah Ukraina. Aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina menjadi titik awal diamna konflik ini bergejolak. Pada masa Uni Soviet, wilayah Crimea telah menjadi salah satu pangkalan militer Uni Soviet untuk menguasai  area Laut Hitam. Setelah Uni Soviet runtuh, Rusia tetap menjadikan kawasan tersebut sebagai pangkalan militernya dengan membayar sewa kepada Ukraina. Selain itu pembentukan negara baru telah dideklarasikan dan bendera Rusia telah berkibar di atas sebuah gedung parlemen lokal di Simferopol Crimea.
Selain Rusia dan Ukraina, ketegangan juga dirasakan oleh negara-negara sekitar yang tergabung dalam NATO. Hal ini ditandai dengan pengiriman sejumlah pesawat tempur milik Inggris dan Perancis untuk melakukan operasi, melindungi negara-negara anggota NATO yang berada di kawasan Eropa Timur dan Baltik. Selain mengirim pesawat tempurnya, Prancis juga sudah mengirimkan 70 personel militer dan sejumlah kapal perang untuk berpatroli di kawasan tersebut.[2]
Tidak seperti saat perang dingin, saat ini semua negara-negara di dunia telah terkoneksi satu dengan lainnya. Sehingga satu masalah yang terjadi di sebuah wilayah akan memiliki dampak kepada wilayah sekitarnya. Meskipun aneksasi negara yang berdaulat bukan lagi menjadi trend di masa modern ini. Namun yang demikian masih menjadi sebuah hal yang rasional dalam perspektif realis.

Pandangan Realis Dalam Krisis Keamanan Rusia-Ukraina
Realisme merupakan salah satu perspektif utama dalam studi Hubungan Internasional. Realisme dimaknai sebagai perspektif mengenai politik internasional yang menitikberatkan pada sisi konflik dan kompetisi. Perspektif ini meyakini bahwa politik dunia berjalan dengan sistem anarki internasional negara-negara berdaulat, dimana tidak ada kekuasaan tertinggi di atas negara. Segala macam aktivitas politik menitikberatkan pada tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, politik internasional digambarkan sebagai “politik kekuatan”.
Selain itu, realisme juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban internasional dalam moral antar negara-negara merdeka. Menurut Machiavelli, salah satu tokoh realis, menganggap bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional yaitu kemerdekaan. Negara harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan stabilitas nasionalnya karena tidak akan ada negara lain yang bersedia membantu jika negara tersebut mengalami kesulitan. Jika pun ada, maka sudah dipastikan bahwa ada maksud terselubung di balik bantuan yang diberikan. Oleh karena itu, setiap negara harus berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya serta menjamin kelangsungan hidupnya.