“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

An Empty Nest? Reconciling European Security Institutions In The Bosnian Crisis


Beverly Crawford  

Ancaman Uni Soviet berakhir seiring dengan berakhirnya perang dingin. Selain itu,  fungsi dari dari  NATO juga semakin menjadi samar. Alasan yang pertama adalah, terjadinya pergeseran dalam cara memandang keamanan. Sebelumnya keamanan dipandang sebagai cara bagaimana dapat terhindar dari ancaman yang diakibatkan dari kecurigaan dan ketakutan dengan cara bekerjasama secara kolektif. Namun saat ini, keamanan lebih dipandang dengan bagaimana cara negara-negara dapat bekerjasama dalam level konsensus. Selain itu terdapat juga sebuah argumen yang mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin, kelembagaan NATO akan menjadi semakin kuat dan kompetibel dengan keadaan Eropa. NATO juga memiliki hubungan yang kuat dengan PBB dan memiliki pembagian kerja yang jelas. Untuk mengawali tulisan tersebut setidaknya terdapat beberapa pertanyaan. Apa yang membentuk kekuatan, sifat, dan ruang lingkup rezim yang dominan di Eropa pasca perang dingin? Apakah keamanan di Eropa terbentuk dengan adanya kerjasama antar negara-neara diEropa dalam lembaga internasional? Adakah lembaga yang kompetibel antara satu dengan yang lainnya dan memiliki upaya untuk bekerjasama menangani isu-isu keamanan? Atau Eropa sedan gberusaha untuk membentuk sebuah rezim keamanan regional baru yang independen dan berbeda jauh dari NATO? Ataukan, karena rezin mengenai keamanan di Eropa semakin melemah seiring dengan berakhirnya perang dingin sehingga menimbulkan peningkatan kompetisi dan perselisihan antara negara di Eropa terkait dengan syarat keamanan di Eropa? 

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan di atas secara parsial dengan membahas mengenai respon Barat yang berkembang untuk melakukan perang di bekas negaraYugoslavia. Perang ini terbukti penting untuk memulai kembali kerjasama dan masalah-masalah perselisihan dalam keamanan Eropa. Dan perang tersebut merupakan perang yang pertama kalinya di Eropa semenjak perang di tahun 1945. Ketika awal tahun 1991, perang tersebut dianggap sebagai sebuah kesemaptan untuk membentuk sebuah komunitas keamanan Eropa yang dapat bertindak secara independen dan terlepas dari pengaruh komunitas Atlantik. Serta dapat menunjukkan bahwa lembaga regional dapat menyelesaikan konflik tersebut. Namun saat lembaga regional tersebut gagal mengatasinya, dan perang semakin meluas ke Bosnia. Banyak pakar menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesedian Eropa untuk dapat bekerjasama dengan Amerika dalam menyesuaikan perubahan keadaan geo-strategis di sektiar Eropa. Kasus ini menentukan sejauh mana Eropa dapat bertindak independen dalam masalah keamanan, dan sejauh mana tanggapan multilateral dan unilateral untuk dapat mendefinisikan keamanan, serta sejauh mana lembaga keamanan Eropa dapat berinteraksi dengan lembaga-lembaga internasional lainnya.

Tinjauan Pustaka Terdahulu Menganai Nasionalisasi Perusahaan Minyak Oleh Huga Chavez

Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Tema besar yang membahas mengenai nasionalisasi yang di lakukan oleh Hugo Chavez di Venezuela telah banyak di bahas oleh beberapa penulis sebelumnya. Adapun beberapa tinjauan literatur sebelumnya, yang pertama adalah milik Rino Rizali.[1] Dalam tulisannya yang berjudul Analisis Penerapan Kebijakan Ekonomi Sosialis Venezuela Pada Masa Pemerintahan Hugo Chavez Menghadapi Imprealisme Ekonomi Amerika Serikat Tahun 1998-2013. Dalam tulisannya tersebut, Rizali menggunakan metode kualitatif eksplanatif berusaha untuk memaparkan menenai bagaimana kebijakan ekonomi sosialis diterapkan di Venezuela. Rizali juga turut memaparkan bagaimana upaya dan langkah-;angkah yang dilakukan oleh Hugo Chavez dalam menerapkan sebuah sistem sosialis yang dikenal dengan sebutan sosialis abad 21. 

Beberapa upayany adalah dengan mengubah beberapa bentuk aturan hukum, mendirikan konstitusi baru, serta membentuk sebuah gerakan yang dikenal dengan gerakan Bolivarian. Dalam tulisannya juga, Rizali memaparkan tentang kondisi ekonomi Venezuela pada masa pemerintahan Hugo Chavez, dimana ekonomi Venezuela berlahan merangkak naik dan mengalami perbaikan baik dari bidang pendidikan maupun kesehatan masyarakatnya. Pada bagian terakhir dari tulisannya, Rizali memaparkan pula hubungan antara Venezuela dengan Amerika Serikat yang digambarkan dengan keadaan yang kurang baik, khususnya pada saat Amerika Serikat dipimpin oleh George W Bush. Penekanan yang sama pada upaya kebijakan nasionalisasi juga ditulis oleh Achmad Syai Lubis[2] dalam penelitiannya yang berjudul Kebijakan Nasionalisasi Perusahaan Minyak Swasta Venezuela Pada Masa Pemerintahan Hugo Chavez. Tulisan penelitian tersebut membahas mengenai bagaimana upaya nasionalisasi yang dilakukan oleh Venezuela pada masa pemerintahan Hugo Chavez terhadap perusahaan-perusahaan swasta milik asing yang mengelola dan mengontrol produksi minyak mentah yang ada di negara tersebut. Dalam tulisannya tersebut, Syai Lubis juga mengambarkan bagaimana gerakan-gerakan kiri baru di Venezuela tersebut muncul sebagai gerakan yang melawan neoliberalisme dan kapitalisme asing di venezuela. Penekanan dalam tulisan tersebut tetap pada sosok serta kebijakan dari Hugo Chavez. Kebijakan nasionalisasi dan juga adanya revolusi bolivarian merupakan tongak pokok dari upaya yang dilakukan Venezuela dalam menasionalisasi perusahaan minyak milik swasta yang ada di negara tersebut.

Konsep Latecomer Strategies


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Sebuah negara yang dapat dikatakan sebagai negara dalam kategori latecomer adalah saat bagaimana sebuah negara mencoba untuk membuka berbagai kebijakan yang diupayakan untuk memajukan ekonominya sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dalam persaingan dengan perusahaan asing yang sebelumnya menikmati keuntungan. Sebagian negara yang ada di dunia, kurang lebih telah mengalami sebuah fase yang panjang dalam mengatasi perekonomian dalam negerinya. Dalam hal ini, tidak semua pemerintah yang ada dalam sebuah negara bersedia untuk melakukan nasionalisasi pada industri-industri strategis tertentu milik asing yang ada di dalam negeri, serta melakukan deregulasi pasar. Beberapa alasan berbeda biasanya menjadi pertimbangan pemrintahan sebuah negara adalah:

1.      Adanya kekhawatiran mengenai biaya yang ditimbulkan dari sosial liberal saat melakukan reformasi pasar.
2.      Adanya pertimbangan dalam segi politik, yang memiliki peranan penting[1].
Dalam mengejar ketertinggalannya, negara yang hadir sebagai latecomer akan menerapkan beberapa langkah dan strategi. Dimana strategi tersebut digunakan sebagai arah pedoman negara dalam menghadapi berbagai hambatan dan kendala teknis. Fokus pada tujuan dari strategi merupakan kunci utama dalam mengatasi kelemahan yang selama ini ada di dalam negeri. Sebuah negara dalam katagori latecomer, dapat mengatasi dan mengurangi potensi kerugian dengan fokus pada satu titik yang digunakan sebagai langkah untuk mengejar ketertinggalan, megatasi kelemahan, dan juga mengurangi kerugian negara tersebut.

Konsep Nasionalisasi


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 

Dala konsep ini, negara merupakan salah satu aktor utama yang secara aktif mengatur ekonominya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan juga kekuasaan negara itu sendiri. Ekonomi yang terdapat pada sebuah negara akan dipengaruhi oleh pola interdependensi dengan negara lain, oleh karena itu terkait dengan kebijakan masalah ekonomi akan selalu diikuti oleh pertimbangan dari sisi politik. Dalam mempertahankan sebuah keberlangsungan negara, pemerintah akan melakukan berbagai cara untuk mensejahterakan rakyatnya. Rasa loyalitas yang diberikan kepada negaranya tersebut bisa dikatakan sebagai nasionalisme. Jika dilihat dari defisi yangs sederhana sebenarnya nasionalisme sendiri merupakan sebuah rasa kecintaan pada negara yang membuat seseoang rela berkorban demi negaranya. Hal itu bsa dilakukan dengan berbagai upaya  baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Dalam upaya pemerintah ada sebuah kebiajakan nasionalisasi. Negara menerapkan kebijakan proteksionis dan menolak perdagangan bebas.
Nasionalisasi dapat dikatakan sebagai pengambilalihan kepemilikan sektor-sektor ekonomi, industri,keuangan atau lembaga-lembaga pelayanan yang sebelumnya dimiliki oleh private (individu) kemudian diambil alih oleh pemerintah. Proses kepemilikan sesuatu yang semula milik orang asing menadi milik negara tuan rumah. Dapat dikatakan bahwa nasiolasisasi merupakan perpindahan tangan tangan dari asing (private) ke pemerintah. Nasionalisasi biasanya dilakukan demi memperoleh surplus dan mengahdapai lingukungan yang anrakis. Pemerintah sebuah negara mengembangkan kebijakanaan  nasionalis ekonomi, yaitu dengan cara menerapkan pengendalian harga dan upah buruh, serta menerapkan startegi industrialisasi impor dan menggalakan ekspor barang[1]

Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Indonesia Terkait Produk Otomotif Low Cost Green Car


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Tugas Mata Kuliah Seminar Politik Luar Negeri Indonesia

Latar Belakang
Saat ini globalisasi telah membawa era baru bagi manusia yang tinggal di tiap negara-negara di dunia, sebuah masa dimana yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Berbagai kemudahan akses yang diberikan oleh globalisasi juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduknya yang kurang lebih diperkirakan sebanyak 250 juta jiwa di tahun 2013 akan terus bertambah seiring dengan minimnya tingkat kematian dan tingginya haraoan untuk hidup[1]. Dengan jumlah penduduk sebesar 250 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata perkapita mencapai 5,3 hingga 6,0 persen.[2] Terlepas dari masalah yang terkait dengan sistribusinya telah  menjadadikan ekonomi Indonesia terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tersu meningkat ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan investasi negara-negara pengekspor dalam hal ini adalah negara penghasil produk otomotif dunia seperti Jepang, Korea Selatan, China,  India, Amerika, Jerman, dan juga Amerika. Dengan adanya kemudahan akses informasi, maka sebuah iklim pasar bebaspun menjadi sebuah trend bagi negara-negara di dunia dalam melakukan transaski ekonominya. Ekonomi yang terbuka memungkinkan sebuah produk masuk ke suatu negara dengan harga yang hampir sama dengan harga dari negara asal barang tersebut. Kondisi ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia yang cukup stabil serta tingkat ekonomi masyarakat yang terus membaik, dan kurangnya fasilitas angkutan massal yang ada di Indonesia menjadikan daya beli dan minat masyarakat Indonesia terhadap produk otomotif menjadi semakin tinggi. 

Terdapatnya banyak pilihan dan produk dengan spesifikasi dan harga yang bervariasi, serta kemudahan bertransaksi dan pajak kendaraan yang relatif murah. Menjadikan pasar otomotif di Indonesia semakin tumbuh dari tahun ke tahun. Bahkan kementrian perindustrian Indonesia mentaksirkan pertumbuhan otomotif di Indonesia dapat mencapai angka 25%, jika dlihat dari angka produksinya kendaraan roda empat mencapat 1,2 juta perunit sedangkan kendaraan roda dua mencapai 7,2 unit pertahunnya.[3]