“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Sejarah Datangnya Narkoba di Indonesia

Oleh: Dwita Amrilia (Mahasiswa HI UMM 2009)

Di Indonesia Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik narkoba atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu[1].

Pada mulanya zat Narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan. Dengan berkembangan pesat industri obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat Narkotika semakin meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula zat-zat narkotka tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus-menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa disembuhkan[2].

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu.


Ganja banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman erythroxylon coca atau cocaine banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927. Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut[3].

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya. Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama Bakolak Inpres No. 6 tahun 1971, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan antar departemen terhadap semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan pengawasan terhadap orang-orang asing. Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda pada tahun 1927 sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur dalam pasal 32 tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik, dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan[4]

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka Undang-Undang Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah Undang-Undang Anti Narkotika nomor 22 tahun 1997, menyusul dibuatnya Undang-Undang Psikotropika nomor 5 tahun 1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati. Dan jauh sebelum Indonesia mengenal narkoba, sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium. Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah Asia lainnya, cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini. Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya cina ditaklukan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong. 

Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin yang diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius. Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan tersebut ketagihan disebut sebagai penyakit tentara. Tahun 1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin dengan asam anhidrat, campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing, yang kemudian hasilnya menyatakan bahwa anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah. Namun tahun 1898 pabrik obat Bayer memproduksi obat tersebut dengannama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit. Tahun 1960-an hingga tahun 1970-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah Golden Triangle yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah Golden Crescent yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan Amerika[5]

Selain morphin dan heroin adalagi jenis lain yaitu kokain berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 1970-an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta tekhnologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat dan pil.


[1] F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, hal53.
[2] Martono, Lydia Harlina, 2007, Ancaman narkoba bagi generasi bangsa, Jakarta
[3] Laporan sidang BNN ke 49 http://bnn.go.id/portalbaru/portal/file/laporan_bnn/laporan_sidang%20ke-49%20CND.pdf Diakses pada tanggal 2 februari 2016
[4] Sudarto, 2007. Makalah Seminar Narkotika dan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
[5] Sunarmo, 2007. Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya, penerbit PT, Bengawan Ilmu Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar