Astiwi Inayah,
Citra Istiqomah, Cut Fitri Indah Sari, Dian, Trianita Lestari, Novian Uticha
Sally
Dalam orde ekonomi-perdagangan
neo-liberal yang berlaku secara global seperti saat ini, setiap negara seakan
diwajibkan mengikuti arus pasar bebas (free
trade) dan keterbukaan pasar (open
market) tanpa kecuali. Negara dituntut untuk membuka pasar domestik
seluas-luasnya bagi masuknya produk-produk asing dengan menghilangkan
hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif, kuota, dan sebagainya, termasuk
negara-negara berkembang yang notabene seringkali dianggap menerapkan
kebijakan-kebijakan proteksionisme demi melindungi kepentingan nasionalnya.
Negara-negara maju pun berupaya untuk membuka proteksi yang diterapkan
pemerintah negara-negara berkembang terhadap pasar domestiknya dengan alasan
mendasar bahwa mereka tidak mematuhi prinsip perdagangan bebas. Akan tetapi,
kecenderungan negara-negara maju untuk memonopoli keuntungan dari perdagangan
global pun tak jarang memunculkan kontradiksi, dimana negara maju justru turut
menggunakan kebijakan-kebijakan serupa secara implisit sebagai instrumen untuk
“mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam
negerinya dan melakukan pembatasan impor. Mereka seringkali menggunakan isu-isu
non-perdagangan ataupun non-tariff
barriers, salah satunya isu kesehatan.
Salah satu kasus yang melibatkan isu
proteksionisme non-perdagangan ialah Country
of Origin Labelling (COOL) yang melibatkan proteksionisme AS terhadap
Kanada. Sebagai bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada,
AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta
produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dari Kanada yang dianggap
terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine
Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi
gila (mad cow disease) serta virus
H1N1 atau swine flu. Upaya Kanada
untuk membawa kasus ini ke dispute
settlement body di WTO hingga
Agustus 2013 masih berada dalam proses dan masih berlanjut sampai sekarang. Inilah
salah satu alasan mengapa isu tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut. Rumusan
masalah yang kami ajukan dalam paper
ini yaitu: Mengapa COOL dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme? Bagaimana
hal ini mempengaruhi perdagangan antara AS dan Kanada?
Pembahasan
Isu Proteksionisme sebagai Isu Penting dalam Perdagangan Internasional
Terbentuknya
World Trade Organization (WTO) pada
tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur perdagangan global
diharapkan dapat mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun dalam
perkembangannya, perdagangan global dewasa ini justru banyak diwarnai oleh isu
proteksionisme yang mengganggu kebebasan arus perdagangan antarnegara.
Proteksionisme sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan ekonomi yang membatasi
perdagangan antarnegara melalui tarif bea masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff protection), dan aturan
lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan aturan ekstrim seperti
larangan impor.[1]
Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik
dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan
hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru
membuka sektor industri otomotifnya yang kala itu belum dapat bersaing dengan
industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan
subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan lebih laku
di pasaran. Contoh lainnya ialah kebijakan pembatasan kuota yang pernah
dilakukan AS di era 1970-an. Ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan
masyarakat AS lebih memilih membeli mobil berukuran kecil yang notabene
merupakan produk dari Jepang dengan tujuan melakukan penghematan terhadap bahan
bakar. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya, AS mengeluarkan
kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang
yang diperbolehkan masuk ke AS. Meskipun kebijakan ini bertujuan melindungi
pasar domestik, tetap saja hal ini bertentangan dengan prinsip perdagangan
bebas, yakni penghapusan segala bentuk hambatan yang mengganggu arus
perdagangan antarnegara.