Oleh : Ahmad Anwar
Sistem produksi fordisme pada puncaknya
menyebabkan krisis over-produksi yang menekan perusahaan di negara-negara
kapitalis. Sistem mass production
yang ditawarkan fordisme ternyata menyebabkan banjir barang-barang homogen yang
beredar di pasar dunia. Hal ini terjadi karena sistem fordisme yang hanya
berfokus pada penawaran tanpa mempertimbangkan permintaan dianggap terlalu kaku[1]
dan menyebabkan sistem produksi seperti ini mengalami tingkat kejenuhan. Harga menjadi
jatuh dan berimbas pada penurunan angka pertumbuhan dan tingkat upah.
Krisis fordisme mengalami puncaknya
ketika terjadinya oil shock pada
tahun 1973 yang menyebabkan hiper inflasi. Harga minyak dan bahan baku
substansial ikut meningkat. Sehingga biaya produksi kian naik, termasuk biaya
upah pekerja.
Krisis yang sudah mencapai pada tingkat
batasnya tersebut dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu teknis, ekonomis, dan
sosial:[2]
1. Pada
aspek teknis kemampuan untuk meningkatkan produktivitas dengan berusaha
mencapai economies of scale dengan
proses de-skilling dan
mengintensifkan para pekerja sudah tidak mungkin diterapkan lagi karena munculnya
aksi perjuangan kelas yang menentang atas model produksi ‘mass-worker’ pada sistem fordisme[3].
2. Pada
aspek ekonomi disebabkan oleh turunnya
keuntungan yang diakibatkan dari meningkatnya modal komposisi organis
yang terdiri dari buruh pekerja dan alat (mesin, bahan baku dan lain-lain).
sementara tuntutan upah buruh semakin meningkat padahal produktivitas menurun
dan pasar homogen yang semakin terbatas.
3. Pada
aspek sosial, fordisme dianggap sudah mencapai batas karena meningkatnya tekanan
untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya hak preogratif yang dimiliki manajemen pabrik sementara transparansi
keuangan yang dituntut oleh para pekerja yang terjebak dalam upah yang stagnan
dan pengangguran massal.
Kemudian muncul beberapa pandangan
mengenai krisis fordisme. Perdebatan yang mengemuka adalah mengenai tingkat
konsumsi yang rendah dan peran negara dalam kebijakan ekonomi (khususnya dalam
hal impor manufaktur).
Pertama, Persaingan pemasaran yang
menimbulkan tingkat penjualan rendah tersebut berimbas pada turunnya tingkat
upah. Kekuatan-kekuatan produksi massal jauh melebihi kapasitas pekerja untuk
mengonsumsi, sehingga pasar di lingkungan internal pun mengalami penurunan
drastis. Pekerja-pekerja industri manufaktur telah terjebak pula dalam kondisi
konsumsi rendah.
Kedua, peran negara dalam kebijakan
ekonomi. Fordisme di Amerika Serikat pada kenyataannya memberikan peluang bagi
peran negara dalam ekonomi terkait
penanganan krisis melalui kebijakan regulasi yang mendukung pasar yang
kompetitif. Sementara di negara-negara industri baru, lebih dari itu peran
pemerintah jauh lebih besar. Terutama dalam merangsang pertumbuhan industri,
pemerintah melakukan proteksi pasar domestik demi peluang pasar industrinya.[4]
Dalam pandangan saya, negara dunia
ketiga mempunyai dwifungsi bagi dunia pertama. Sebagai sumber bahan baku untuk
industri manufaktur, dan sebagai pasar bagi industri mereka. Pada
perkembangannya, negara-negara di dunia ketiga mengorientasikan produk mereka
pada Home Market. Di mana pemerintah mengambil peran besar dalam menyokong dan
merangsang industri, sebagaimana di Korea dan Taiwan. Hal ini menyebabkan
produk massal manufaktur Amerika kehilangan sebagian besar pasar potensialnya
di dunia ketiga. Sementara untuk mengalihkan pasar ke negara miskin pun bukan
pilihan untuk meningkatkan angka penjualan, karena sebagian besar masih dalam
masyarakat dengan tingkat konsumsi yang rendah.
Sumber:
Clarke, Simon. 2010. “The Crisis of Fordism and the
Crisis of Capitalism.” Department of Sociology, University of Warwick. Diakses
pada 30 September 2013 pukul 13.13 wib dari homepages.warwick.ac.uk/~syrbe/pubs/telos.pdf
Hoogevlt, Ankie. 2001. “Flexibility and
Informationalism,” dlm Globalization and the Postcolonial World, The New
Political Economy of Development. Hampshire, Palgrave
Tunggal, Aprilia Restuning. 2013. “Ilmu Hubungan
Internasional: Politik, Ekonomi, Keamanan dan Isu Global Kontemporer.”
Yogyakarta: Graha Ilmu
[1] Hoogevlt, Ankie. 2001. “Flexibility and
Informationalism,” dlm Globalization and the Postcolonial World, The New
Political Economy of Development. Hampshire, Palgrave. Hal.96
[2] Tunggal,
Aprilia Restuning. 2013. Ilmu Hubungan
Internasional: Politik, Ekonomi, Keamanan dan Isu Global Kontemporer.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.4
[3] Clarke,
Simon. 2010. “The Crisis of Fordism and the Crisis of Capitalism.” Department
of Sociology, University of Warwick. Hal.37
[4] Ibid.
Hal.6-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar