Critical Review:
Alice Amsden “Global Fordism”
Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Setelah melewati
Perang Dunia Kedua, sistem produksi Fordisme memberikan sebuah hal dasar
mengenai perluasan permintaan yang paling efektif dengan gaya ekonomi Keynesian
di Amerika Serikat. Yang mana sistem produksi ini memberikan sebuah rezim
kesejahteraan untuk reproduksi global yang stabil saat itu. Fordisme merupakan sebuah konseptualisasi dari moldel
industrialisasi dengan model sistem produksi pabrik “assembly line” yang diperkenalkan oleh Henry Ford pada perusahaan
Auto Manufacture di Highland Park pada tahun 1914 dan 1926 di River Rouge. Fordisme muncul dari kegagalan dua kondisi penting produk
industrialisasi saat itu yaitu, modus akumulasi kapitalis dan juga kegagalan untuk menyesuaikan
konsumsi massa dengan peningkatan produktivitas yang dihasilkan oleh akumulasi modal. Dalam "tahun emas" setelah
Perang Dunia Kedua, kedua kondisi ini telah terpenuhi. Fordisme memobilisasi
kapasitas industri di kedua ekstrem yaitu dengan adanya tenaga kerja terampil. Keuntungan yang memuaskan dihasilkan
dari konsumsi massa, yang terus berpacu dengan pertumbuhan investasi. Fordisme merupakan tipe model industrialisasi ideal yang
menggambarkan modus keseluruhan massa
produksi dan intensifikasi produktivitas . Fordisme
adalah jawaban untuk krisis internasional pada tahun 1929 hingga 1930 dan
berlangsung hingga
pertengahan tahun 1950.
Fordisme tidak lain adalah sebuah motode manajemen
industri yang berazaskan assembly line atau sering disebut metode ban
berjalan dalam proses produksi yang bersifat massal. Konsep tersebut menggambarkan
proses ekonomi produksi dengan cara membagi proses produksi ke dalam ratusan
atau bahkan ribuan unit kecil. Dengan cara tersebut menurut Ford, ongkos dapat
diminimalkan dan keuntungan akan dapat segera dimaksimalkan. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar dalam fordisme
yaitu, standarisasi, upah tinggi, dan juga
penyederhanaan produksi. Untuk mencapai produktifitas tinggi dilakukan
dengan cara, menstandarisasi
output, memisahkan pekerja ke dalam
tugas-tugas keterampilan yang lebih spesifik yaitu dengan cara mengkombinasikan mesin dan tenaga pekerja, menekankan pada harga yang
minimal
daripada keuntungan maksimal. Sebetulnya
Ford sendiri mengadopsi gagasan FW
Taylor, yaitu sosok yang pertama
kali menemukan manajemen industri secara keilmuan. Yaitu atas dasar gagasan mengenai time dan motion
dalam industri. Ford menerapkannya pada cara
produksi masal dengan pembagian kerja yang kompleks dan gerak kerja yang
berulang-ulang (repetitive).
Sistem ini terkait erat dengan bagaimana menejemen negara
dalam mengatasi hal permintaan dan juga dalam membuat beberapa kebijakan
fiskal. Adapun empat dimensi dari
Fordisme, yaitu : proses kerja, akumulasi, regulasi, dan societalization. Dimana Fordisme juga menggabungkan antara upah dengan indeks pertumbuhan produktivitas
dan inflasi. Negara memiliki peran sentral dalam mengelola permintaan dan juga
kebijakan yang berkaitan dengan konsumsi masyarakat. Karakteristik model
insdustrialisasi ini juga dikombinasikan dengan metode organisasi Teylorist,
yang mana dekadensi mode pembuatan produksi berdasarkan
"Scientification" kerja, spesialisasi ketnagakerjaan, polarisasi antara
khusus
dan umum, bonus produktivitas, pengawasan di tempat kerja,
intensifikasi spesialisasi. Sampai
saat ini, industrialisasi
diyakini sebagai cara sebuah bangsa untuk mencapai kemakmuran. Setidaknya sejak
revolusi industri di Inggris pada abad 18, proses industrialisasi menjadi
pilihan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan modernisasi negara. Sebab
dalam industrialisasilah apa yang disebut kapitalisme mendapat bentuk dan
tempat yang pas dalam sejarah
Kritik
Terhadap Fordisme
Dalam pandangan penulis sendiri, sistem meskipun dalam
sistem produksi Fordisme para buruh dibayar dengan upah tinggi namun jumlah pendapatan mereka tak sebanding dengan jumlah produk yang mereka
hasilkan. Hal ini berkaitan erat dengan logika dimana upah
seorang buruh, tidak mungkin dapat digunakan untuk membeli semua barang yang ia
hasilkan di pabrik tempat ia bekerja. Dalam hal ini, Fordisme adalah gaya tradisional
dari model ekonomi Kapitalis setelah Perang Dunia Kedua. Fordisme
identik dengan sistem produksi masal yang
kaku. Diamana
sistem ini identik dengan upah pekerja yang cukup tinggi dan juga konsumsi yang
tinggi. Segala bentuk barang diproduksi berdasarkan pada kuota
based bukan pada costumer oriented sehingga barang-barang yang diproduksi
bentuknya tidak variatif dan cendrung sama dan kaku. Selain itu, model Fordisme ternyata juga memiliki
kelemahan, dimana sistem ini tidak dapat mengakomodasi kebutuhan masal hingga
akhirnya sistem ini runtuh dan tergantikan dengan sistem setelah krisis pada akhir tahun 1960 dan awal
1970. Stagflasi dan penurunan dalam tingkat dan volume
keuntungan menjadi lebih terlihat tahun-tahun setelah krisis minyak tahun
1973.
Setelah
keruntuhanya, model ekonomi setelah fordisme lebih diwarnai dengan revolusi
elektronik dimana sistem produksi lebih bersifat hirarki dimana kelompok kerja
dibagi dalam tenaga ahli yang terampil. Yang mana dengan adanya globalisasi dan
juga kemajuan dalam tekhnologi informasi menjadikan aktifitas produksi menjadi
lebih dinamis dan efisien. Akibatnya, akumulasi modal semakin ketat dan
terdapat perspektif jangka panjang terhadap jalan kapitalisme dengan stabilitas
politik yang tetap terjaga. Dalam hal ini sistem ekonomi fordime dengan model
Keynesian tidak lagi dapat berjalan efektif dikarenakan sistem ini sebagai
model ekonomi lebih berlaku jika diterapkan dengan skala nasional. Dengan
adanya kemajuan dalam bidang tekhonolgi, model ekonom ini tidak lagi bisa
efektif
menanggapi kebutuhan daya saing internasional dan
globalisasi pasar. Ekonomi
dalam era ini lebih berbasiskan pada ekonomi ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Fordisme
sendiri menjadi alat dan atau digunakan Amerika Serikat lewat sektor industrinya
untuk lebih menancapkan pengaruh dalam dunia internasional. Negara dan sektor
industri menjadikannya sebagai alat untuk merekronstruksi situasi ekonomi
politik internasional dan menancapkan hegemoni atas dunia liberasisasi
kapitalis. Selain itu perbedaan dalam
hal kemajuan tekhnologi antara negara-negara maju dan berkembang tampak jelas
dalam industrialisasi. Dimana dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
negara-negara berkembang tidak akan dapat bersaing dengan negara-negara maju
khusunya dalam hal efisiensi produksi. Tekhnologi yang ada di negara maju jauh
lebih canggih dan efisien jika dibandingkan dengan apa yang ada di negara
berkembang. Maka dari perbedaan tersebutlah dimana pada akhirnya negara-negara
berkembang hanya akan menjadi ekor dari negara-negara maju dalam hal
industrialisasi. Negara-negara maju dengan segala kemajuan tekhnloginya akan
terus menanamkan pondasi dan pengaruh ang kuat untuk dapat menguasai dan
mendominasi ekonomi internasional melalui jalur industrialisasi.
Fordisme berbendapat bahwa dengan banyaknya jumlah barang
yang beredar dipasar akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat dan akan
meningkatkan kesejahteraannya. Namun dalam penerapannya hal yang demikian hanya
terjadi pada dalam negeri Amerika Serikat sat itu dan tidak membawa
kesehahteraan dalam kerangka global. Selain itu dengan upah buruh yang relatif
tinggi memungkinkan bagi para buruh untuk membeli barang-barang hasil produksi
mereka, sehingga selain menjadi tenaga kerja peran buruh juga berfungsi sebagai
konsumen. Maka pada tahun itu pulalah dikenal dengan apa yang dinamakan sebagai
“The Golden Age
of American Working Class”. Fordisme runtuh diakibatkan oleh ketidak mamupaannya
menghadapi krisis ekonomi global saat itu.
Ekonomi Neoliberal menggantikan pola Keynesian setelah
runtuhnya Fordisme. Munculnya Margaret Thatcher (1979-1990) di Inggris dan
Ronald Reagan (1981 - 1989)
di Amerika Serikat menandai era baru ekonomi dengan model Neoliberal. Agenda privatisasi
berlangsung di berbagai bidang dan "flexibilisation"
produksi dan tenaga kerja menggantikan
agenda ekonomi Keynesian. Manajemen baru dalam permintaan publik berjalan lebih
"efektif" dan "efisiens" dan ekonomi
swasta menjadi dominan setelah runtuhnya Fordisme. Neil Brenner dan Nik
Theodore , dalam artikel
mereka tentang “Cities
and Geographies of Actually Existing Neoliberalism" ( 2002) , mencoba mengambarkan peran kunci kota dan perkotaan
governance dalam restrukturisasi neoliberal, bentuk menejemen
permintaan ditinggalkan penyelenggaraan layanan kesejahteraan nasional yang
tradisional dibongkar. Dari sisi lain, neoliberalisme
menjadi "pengosongan" kapasitas negara nasional
untuk mengatur uang , perdagangan, dan arus investasi serta "rolling forward". Fordisme tidak
hanya dilihat sebagai sistem produksi lebih dari itu sistem tersebut membentuk
stratifikasi sosial baru, dimana posisi sosial lebih ditentukan dengan fungsi
tekhnis dan juga bentuk-bentuk baru dari moralitas sosial dan keribadian seperti
halya tingkat pendidikan dan kemampuan. Menurut
Bob Jessop, seorang pemikir dari Departemen Sosiologi Lancaster University, UK,
ada tiga kekuatan utama yang mengendalikan kemunculan post fordism yaknikemjuan
teknologi, internasionalisasi dan peralihan paradigm fordism menuju post
fordism itu sendiri.
Meskipun
demikian sistem industrialisasi Post-Fordisme juga memiliki kelemahan. Yaitu dimana
sistem industri
berpengaruh besar terhadap kehidupan pribadi dan sosial. Hal ini dikarenakan,
Post-Fordisme menciptakan proyek-proyek jangka pendek. Setelah proyek itu
selesai pekerja cenderung mencari yang lebih baik, di daerah yang berbeda. Ini
tersebut menganggu hubungan mereka dengan masyarakat dan menciptakan rasa
ketidakpercayaan. Bisa dikatakan bahwa hilangnya stabilitas, yang pernah begitu
penting dalam keluarga dengan anak-anak. Selain itu, dalam spesialisasi yang
fleksibel dalam teknologi terus berubah. Bahkan orang-orang dengan gelar
universitas menemukan bahwa pada beberapa titik dalam hidup mereka, mereka
harus kembali dilatih kembali karena laju perkembangan teknologi begitu cepat.
Dan untuk alasan ini, pekerja yang lebih tua atau bahkan yang tengah umur
dirugikan bila dibandingkan dengan lulusan universitas muda, karena perusahaan
sering lebih suka memiliki karyawan muda beradaptasi. Post fordism tidak hanya melulu dengan term - term
transformasi ekonomi, tetapi secara luas juga diasosiasikan dengan
perubahan-perubahan social dan budaya. Misalnya fragmentasi dan pluralism,
melemahnya solidaritas sosial kolektif dan kelompok-kelompok indentitas,
munculnya indentitas baru yang diasosiasikan dengan fleksibelitas kerja,
maksimalisasi pilihan individu melalui konsumsi yang sifatnyapersonal
Daftar Pustaka
Jackson,
Robert dan George, Sorensen. 1999. Introduction to International Relations.
New York: Oxford University Press.
Gramsci,
Antonio. 1971. Americanism and Fordism, dalam Selectios from the
Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart
Dalam “Fordisme, Post-Fordisme and The
Flexible System Of Production”. Diakses melalui http://www.willamette.edu/~fthompso/MgmtCon/Fordism_&_Postfordism.html.
Brenner , Neil , Theodore , Nick , ( 2002) , " “Cities and Geographies of Actually
Existing Neoliberalism" " , di Antipode Vol . 34 , No 3, hal 356 - 386 .
Jessop, Bob. ‘Fordism and post-Fordism: a
critical reformulation’. Diakses
melalui http://bobjessop.org/2013/11/05/fordism-and-post-fordism-a-critical-reformulation/.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar