“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Mekanisme Reformasi Struktural Mengatasi Krisis Amerika Latin dan Resep Washington Consensus



                    Oleh: Arfianto Rifki
                         Reformasi struktural di Amerika Latin diselenggarakan sejak tahun 1980-an  sebagai respon terhadap krisis finansial yang melanda negara-negara di kawasan tersebut. Pada awalnya di tahun 1980-an pemerintah Amerika Latin berupaya bernegosiasi dengan pemerintah AS terkait dengan Rencana Bantuan Marshall, namun keuangan AS pada saat itu dalam keadaan defisit dan lemah sehingga kesempatan untuk peminjaman bilateral terbatas.Maka jalan yang memungkinkan untuk menerima pendanaan melalui pinjaman dari agen-agen multilateral seperti IMF dan Bank Dunia yang menjadi sumber utama pendanaan bagi negara-negara yang terlilit hutang di Amerika Latin. 

         Namun konsekuensinya, aturan dan kontrol diberlakukan bagi negara-negara peminjam untuk mereformasi struktur dan kondisi ekonomi domestiknya dalam rangka untuk menerima pendanaan dari lembaga ini. Aturan tersebut menekankan pencapaian pada pertumbuhan ekonomi berorientasi ekspor (melalui liberalisasi perdagangan dan nilai tukar), meningkatkan pembentukan modal domestik (melalui reformasi keuangan dan pajak), dan mereduksi peran pemerintah di sektor ekonomi.[1] Sepanjang 1980-an banyak negara-negara menentang implementasi reformasi bersyarat itu, tapi yang lain bergerak lebih cepat dari apa yang disyaratkan oleh agen multilateral tersebut. Misalnya program privatisasi Mexico, di mana 100 badan usaha milik negara siap dijual, Begitu juga dengan Chile yang segera menghapus pembatasan dalam perdagangan. Hal yang paling mencolok yang segera dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin dalam upaya reformasi struktural ekonomi ialah dengan mengeluarkan paket kebijakan fiskal untuk mengantisipasi kondisi perekonomian negara. Di Brazil misalnya, pemerintah mengurangi anggaran pengeluaran dan meningkatkan penerimaan negara (lewat pajak) sambil pada saat yang sama memperbaiki neraca pembayaran. Dan juga dalam kebijakan moneter segera ditempuh program penyesuaian nilai tukar otomatis melalui depresiasi dollar sebanyak 7 persen pertahun. Kebijakan seperti itu.hampir seragam diterapkan di negara-negara Amerika Latin.

       Organisasi multilateral berbasis Washington seperti IMF, Bank Dunia , dan IDB (Inter-American Development Bank) secara kuat berpengaruh baik sebagai peminjam dan penasihat kebijakan di tahun 1980an dan 1990an di Amerika Latin. Sehingga apa yang kemudian disebut Washington Consensus yang memiliki tiga ideologi utama dalam hal kebijakan ekonomi:[2]
a)        Pembukaan pasar-pasar Amerika Latin pada ekonomi dunia melalui liberalisasi perdagangan (fokus pada impor) dan memperemudah investasi langsung luar negeri.
b)        Mereduksi intervensi pemerintah secara langsung di sektor ekonomi melalui privatisasi begitu juga meningkatkan peran teknokrat dari kementerian ekonomi-  melalui pemberlakukan disiplin fiskal, perimbangan anggaran dan reformasi pajak.
c)        Meningkatkan signifikansi pasar dalam mengalokasikan sumber daya dan membuat sektor-sektor swasta sebagai instrumen utama dan pertumbuhan ekonomi- melalui deregulasi, jaminan hak kepemilikan, dan liberalisasi keuangan.
        

Latar Belakang Krisis Hutang Amerika Latin dan Peran Lembaga Keuangan Internasional


   Oleh: Arfianto Rifki
          Berubahnya skala dan komposisi dari aliran modal asing, dimana telah menjadi bagian dari negara berkembang, pada tahun 1970-an dapat dikatakan sebagai asal mula terjadinya krisis di beberapa negara berkembang. Selama dekade tersebut hutang negara-negara di Amerika Latin meningkat secara dramatis. Puncak dari krisis hutang luar negeri ini terjadi pada awal tahun 1980-an, dibuktikan oleh ketidakmampuan pemerintah negara-negara Amerika Latin untuk membayar hutang luar negerinya. Kondisi tersebut membuat Bank komersil menghentikan pinjaman. Hal ini menimbulkan kenaikan permintaan dari negara berkembang dan juga keinginan bank swasta untuk menyediakan modal asing. 

        Aliran modal tersebut menimbulkan jumlah hutang negara-negara berkembang meningkat dengan cepat. Pada tahun 1970, negara berkembang secara keseluruhan mempunyai hutang sebanyak 72,7 milyar dollar pada pemilik modal asing. Pada tahun 1980-an, total hutang luar negeri tadi mengalami lonjakan yang fantastis menjadi 586,7 milyar dollar. Kebanyakan hutang tersebut dimiliki oleh sebagian kecil negara. Amerika Latin merupakan penghutang terbesar. Hutang luar negeri terbesar 7 negara Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, Chili, Colombia, Mexico, Peru dan Venezuela meningkat 10 kali lipat antara tahun 1970 sampai 1982. Pada akhir tahun 1980-an, tujuh negara tersebut mempunyai hutang sebesar 80% dari total hutang Negara Amerika Latin dan sekitar sepertiga dari total hutang luar negeri negara berkembang di dunia.

        Pada awalnya, aliran modal tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Negara-negara Amerika Latin mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 5,6 persen pertahun antara tahun 1973 sampai 1980. Beberapa negara Amerika Latin mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Di Brazil, sebagai salah satu peminjam terbesar, rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 7,8% pertahun antara tahun 1973-1980.Begitu pun dengan negara penghutang terbesar lainnya seperti Mexico, mempunyai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7% pada periode yang sama.Dibalik pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut ada beberapa tren yang semakin mengkhawatirkan. Permasalahan hutang mulai muncul ketika pertumbuhan hutang semakin tumbuh pesat dan menjadi lebih besar dari pada kemampuan negara untuk membayar hutang tersebut. Kapasitas pembayaran hutang yang dimiliki oleh sebuah negara adalah kemampuan negara untuk membayar bunga dan angsuran yang ditentukan oleh prasyarat hutang. Ini bisa digambarkan sebagai rasio dari kemampuan pembayaran hutang dengan pendapatan eskpor. Sehingga jika sebuah negara mengalami kenaikan jumlah hutang luar negerinya maka negara tersebut harus meningkatkan juga ekspornya sehingga negara itu mampu untuk membayar angsuran dan bunga hutang luar negerinya.

Neostrukturalisme Sebagai Sebuah Alternatif


Oleh: Ahmad Mubarak Munir
       Neostrukturalisme pada dasarnya bukan pemikiran atau kebijakan yang asing bagi negara-negara Amerika Selatan, sebelum terjadinya krisis pada tahun 1980an negara-negara  Amerika Latin sesungguhnya menggunakan konsep strukturalisme  yang berlandas pada pemikiran merkantilisme dimana negara memiliki peranan utama dalam mengatur prekonomian negara. Munculnya neostrukturalisme di Amerika Latin mendapat dorongan dari  respon masyarakat dan munculnya fenomena pink tide. Pada dasarnya fenomena pink tide merupakan sebuah fenomena terpilihnya beberapa kepala negara dari partai beridiologi kiri atau kiri tengah. Sepertinya terpilihnya Hugo Chaves pada tahun 1998 sebagai Presiden Venezuela dan F.H. Cardoso (1995-2002) menjadi awal munculnya pemerintahan yang mengkritik kebijakan neoliberal.
Neostrukturalisme dianggap sebagai bentuk lain dari neoliberalisme oleh beberapa ahli yang dikenal dengan sebutan neoliberal populish. Lieva berpendapat bahwa neostrukturalisme merupakan pemikiran lanjutan dari neoliberal model. Namun pada dasarnya ada perbedaan mendasar antara kedua pemikiran ini. Neostrukturalisme mengakuai asimetri dalam sistem ekonomi dunia dan menjadi bagian dari sistem juga dibutuhkan, akan tetapi neostrukturalisme mengadopsi pemikiran utama strukturalisme khususnya pentingnya peran negara dalam mengatur ekonomi, sehingga dengan demikian dikatakan sebagai neostrukturalisme. Pemikiran neostrukturalisme menekankan pada peran dan kebijakan negara dalam pembangunan, belajar dari pembangunan di Asia Timur yang berhasil secara selectif berintegrasi dengan ekonomi dunia dengan berkompetisi sehingga mendatangkan keuntungan dengan perencanaan yang baik dan penerapan kebijakan industri yang  fleksibel serta meningkatkan pengetahuan yang berbasis pada ekonomi.

Dampak Kebijakan Neoliberal



 Oleh: Ahmad Mubarak Munir


       Kebijakan Neoliberalisme pada dasarnya telah diterapkan oleh sebagian besar negara Amerika Latin, neoliberalisme muncul sebagai sebuah model pembangunan untuk merespon krisis yang terjadi di Amerika Latin. Krisis yang terjadi di Amerika Latin pada dasarnya dimulai sejak 1970an dan mencapai puncak pada awal 1980an, dimana kebijakan neoliberal pertama kali diimplementasikan di Amerika Latin. Kebijakan neoliberalisme ini diterapkan ditandai dengan masuknya IMF dan World Bank sebagai bentuk intervensi untuk memulihkan krisis yang terjadi di Amerika Latin. Sebelum kebijakan-kebijkan neoliberal diterapkan di Amerika Latin, bentuk pembangunan yang dicanangkan adalah berorientasi pada pemikiran strukturalisme dan dependency theory  yang menggambarkan adanya negara core (inti) dan negara pinggiran, dimana Amerika Latin merupakan representasi dari negara pinggiran (phery-phery) dan peran negara sangat dominan dalam mengatur pasar, tatanan ekonomi dunia baru juga menjadi salah satu asumsi teori ketergantungan.
Krisis Amerika Latin memberikan peluang besar penerapan kebijakan-kebijakan yang berlandasan pada pemikiran neoliberal, dimana pemikiran neoliberal berlandas pada pasar dan marginalisasi peran negara di dalam ekonomi. Neoliberal berasumsi bahwa liberalisasi pada ekonomi dunia dibutuhkan dan liberalisasi tersebut akan mendatangkan keuntungan besar dari negara-negara berkembang.[1] Dengan penerapan ini maka negara-negara Amerika Latin harus menerima konsekuensi beberapa aturan yang dipersyaratkan IMF dan Bank Dunia dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang dicanangkan lembaga berbasis Washington Consensus tersebut. Sebagai salah satu contoh penerapan ini adalah penjualan 100 perusahaan negara Meksiko ke pihak swasta dan Chili harus menghapus segala bentuk hambatan dalam perdagangan dan berointasi pada pasar serta menguatkan ekspor.

Kontroversi HAM Dan Penerapan Hukum Syari'ah di Brunei Darussalam


 Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Sebuah peristiwa penting bagi umat Islam terjadi menjelang akhir 2013. Pada 22 Oktober 2013, Sultan Hassanal Bolkiah menyatakan akan menerapkan syariat Islam di Kesultanan Brunei Darussalam. Keputusan itu sendiri sebenarnya telah dibuat sekitar tiga bulan sebelumnya, yakni pada pertengahan Ramadhan 1434 H (Juli 2013), dengan sebutan Bil. 69 Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013. Pengumumannya oleh Sultan Bolkiah pada Oktober 2013 itu sekaligus secara resmi mencatatkannya dalam Perlembagaan Negara Brunei Darussalam, Perkara 83 (3). Kanun ini terdiri atas sejumlah bab dan pasal, dalam dokumen setebal 132 halaman. Isinya mencakup berbagai masalah yang terkena hadd, yaitu hukuman atau siksaan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul SAW.
Negara Brunei Darussalampun, telah resmi memberlakukan syariah Islam mulai 1 Mei 2014 lalu. Hukum Syariah Islam juga akan berlaku untuk warga non-Muslim. Fase pertama dari Syariah Islam adalah penerapan denda atau penjara bagi wanita yang hamil di luar nikah, menyebarkan agama-agama lain dan meninggalkan sholat Jumat bagi warga Muslim. Fase kedua akan berlaku setelah satu tahun dari fase pertama. Pada fase kedua, Syariah Islam menerapkan hukum cambuk dan amputasi bagi penenggak alkohol. Kemudian fase terakhir atau ketiga berlaku dua tahun setelah fase pertama. Fase ketiga menerapkan hukum rajam bagi pezina, pelaku sodomi, dan penghina Alquran dan Nabi Muhammad. Pelaksanaan Syariah Islam memicu kekhawatiran atas hak-hak minoritas. Sebab, 20 persen dari penduduk Brunei adalah warga non-Muslim, yang kebanyakan memeluk agama Buddha, Kristen, dan penganut kepercayaan ada setempat. Reuters melaporkan, sekitar 30.000 warga asing non-Muslim yang sebagian besar bekerja di sektor minyak juga berada di Brunei. Kebanyakan dari mereka warga Filpina penganut Katolik Roma.[1]
Akibat diberlakukannya undang-undang mengenai hukum syariah tersebut, Brunei Darussalam menjadi sorotan dunia. Di mana di dalamnya memuat praktik hukum rajam bagi pezina dan kaum homo seksual. Dalam pengumumuman penerapan hukum Syariah tersebut, Sultan mengklaim sebagai kewajiban pemimpin yang menjalankan perintah Tuhan. Sultan Brunei Hassanal Bolkiah telah menyatakan ia ingin memperkenalkan hukum syariah penuh di negara minyak tersebut. Ia mengacuhkan kritik yang muncul atas keputusannya menggunakan hukum baru tersebut. Gebrakan Sultan Brunei itu cukup membuat takut kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Kelompok itu semula  ingin menggelar konferensi di hotel milik Sultan Brunei, namun bergegas membatalkannya. Kelompok advokasi LGBT, The Gill Action Fund sendiri memilih memboikot hotel milik Sultan Hassanal sebagai bentuk protes atas gebrakan sang Sultan. Meskipun terdapat banyak kecaman dan protes dari dunia internasional dan PBB tetap tidak ada respon dari Sultan Hassanal sebagai pemimpin negara tersebut.[2] Sultan Hassanal Bolkiah sendiri sudah mengumumkan penerapan hukum Islam tersebut sejak bulan Oktober 2013 silam, dan hukuman berdasarkan syariah Islam tersebut akan dimulai secara bertahap. Sejak itu muncul kecaman dan keprihatinan dari PBB. Kritik juga muncul dari dalam negeri, di mana public melalui media sosial mempertanyakan kebijakan sultan Brunei berusia 67 tahun itu.[3]

Kontroversi Penegakan Hak Asasi Manusia


Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
         HAM dalam implementasinya juga tidak luput dari dari kontroversi .Setidaknya ada  beberapa dua poin yang menjadi permasalah dalam implementasi HAM:
Dominasi barat  dalam konseptual HAM
HAM didominasi barat dan mengesampingkan budaya lokal di negara dunia ketiga. Hal ini disebabkan karena benturan pemahaman konsepsi HAM antara dominansi barat terhadap budaya non barat. Budaya Non barat mengedepanan hak komunitas dan harmoni kelompok sekaligus mengindari konfrontasi sedangkan budaya barat  mengedepankan hak  individu yang menajadi basis  dari defenisi HAM itu sendiri. Michael Ignatief dalam tulisannya human rights as politics menegaskan basis individu sebagai konseptual HAM dari definisi Barat:[1]
“Calling the global diffusion of Western human rights a sign of moral progress may seem Eurocentric. Yet the human rights instruments created after 1945 were not a triumphant expression of European imperial self-confidence but a reflection on European nihilism and its consequences, at the end of a catastrophic world war in which European civilization very nearly destroyed itself. The Universal Declaration represented a return by the European tradition to its natural law heritage, a return intended to restore agency, to give individuals the juridical resources to stand up when the state ordered them to do wrong”
Penegasan  Michael Ignatief diatas mengandung dua poin penting pertama HAM dipandang sebagai konsep yang eurosentris dan memandang the rest sebagian bagian komunitas dunia yang tidak memiliki  konsep HAM. Kedua, basis individu adalah dasar penegakan HAM itu sendiri yang menekan institusi negara untuk tidak bertindak yang melanggar hak tiap individu. Permasalahan terletak pada moral standard yang seringkali berbenturan dengan pemahaman budaya non barat. Hal ini dicontohkan melalui pemakaian jilbab dan burqa yang menurut barat adalah opresi terhadap  kaum perempuan dan merupakan pelanggaran  HAM. Namun sebaliknya beberapa perempuan yang memakai pakaian tersebut tidak memandang apa yang dianggap barat sebagai opressi  adalah sebagai kebebasan perempuan dalam menentukan pakaian dan sebagai bentuk attachment mereka terhadap kepercayaan yang mereka anut. Hal ini seringkali menjadi standard internasional untuk memnadang fenomena di dunia non barat. Globalisasi dalam hal ini juga berkontribusi besar melalui aspek velocity dan deep impact nya semakin mendorong penyebaran ide HAM yang menjadi standard international namun sering kali globalisasi disisi lain juga menjadi sarana westernisasi terutama  diseminasi HAM sebagai norma internasional.

Landasan Mengenai Hak Asasi Manusia



·       Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
   
          Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM). Norma-norma dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara didunia melalui PBB. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan pembentuk dua instrumen HAM, yaitu Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik dan kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya.
·               Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (International Kovenan on Civil and Political Rights), berlaku internasional maret 1979, mengatur tentang, hak hidup, hak tidak disiksa secara kejam, hak kemerdekaan dan keamanan, hak atas persamaan dihadapan hukum.
·         Kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya (International Kovenan on Economic, Social and Cultural Rights). Berlaku januari 1976. Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum, aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
            Menurut Miller, pada dasarnya, logika Westphalia menunjukan bahwa negara-negara bangsa prinsipnya merupakan penentu apakah umat manusia akan hidup dalam martabat dan keadilan. Ini karena sejauh ini negara merupakan fokus kekuasaan politik yang paling penting di dunia. Oleh karena itu, negara harus memberikan rasa aman beserta semua implikasinya bagi realisasi nilai-nilai manusia di atas nilai-nilai dasar untuk semata-mata bertahan hidup bagi anggota-anggota masyarakat yang berbeda di dalamnya. Kemudian kehidupan yang beradab memerlukan perlindungan, maka negara harus menyediakan  perlindungan dan membantu manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhan. Premis ini berasumsi bahwa negara seharusnya meningkatkan hak-hak asasi manusia di dalam wilayah yuridiksinya. Namun premis ini ternyata tidak seindah yang digambarkan. Sebagian besar periode Westphalia masyarakat justru mendapatkan represi dari pemerintah mereka sendiri.

Definisi Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli


Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Pengertian HAM pada umumnya adalah hak dasar yang dimiliki setiap orang sejak lahir sebagai anugarah Tuhan Yang Maha Esa, dan setiap orang memiliki hak dalam menjalankan kehidupannya dan apa yang dikehendakinya selama tidak melanggara norma dan nilai di masyarakat. Hak asasi ini harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, tanpa membedakan status, golongan, keturunan, jabatan dan lain sebagainya.
HAM menurut konsep PBB dalam universal declaration of human rights, bahwa setiap orang mempunyai.[1]  Hak untuk hidup, 2. Kemerdekaan dan keamanan badan, 3. Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, 4. Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, 5. Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara, 6. Hak untuk mendapat hak milik atas benda, 7. Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, 8. Hak untuk bebas memeluk agama, 9. Hak untuk mendapat pekerjaan, 10. Hak untuk berdagang, 11. Hak untuk mendapatkan pendidikan, 12. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat, 13. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
Definisi HAM menurut para ahli :
John Locke, HAM adalah hak-hak yang diberikan secara langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.[2]
Thomas Hobbes, menyatakan bahwa satu-satunya Hak Asasi Manusia adalah hak hidup.
Miriam Budiarjo, mengemukakan bahwa hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan  dibawanya dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat.
Ciri-ciri HakAsasi  Manusia[3]
·         HAM merupakan sesuatu yang telah ada pada diri manusia tanpa harus membeli, meminta atau hasil dari variasi dari orang lain, karena HAM mutlak ada dalam diri manusia sejak lahir dan sebagai anugrah dari Tuhan YME.
·         HAM berlaku untuk siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial, warna kulit, etnis dan lain sebagainya.
·         HAM tidak boleh dilanggar, karena HAM mutlak dimiliki oleh setiap orang sebagai anugrah dari Tuhan YME maka tidak boleh seorang pun mengabaikan hak asasi orang lain apalagi untuk mempertahankan haknya sendiri.

Latar Belakang Mengenai Hak Asasi Manusia


Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia dengan sifat yang mengikat (inheren) sejak manusia dilahirkan. Karena sifatnya yang mengikat sejak manusia lahir ini, HAM merupakan sebuah hak yang tidak memerlukan pengakuan hukum untuk mendapatkannya. Tentunya, HAM bisa mencapai posisinya sampai seperti sekarang ini dengan sejarah yang sangat panjang. Sejarah mencatat bahwa pada setiap peradaban sudah terdapat berbagai ajaran untuk saling menghargai sesama manusia dan menjunjung tinggi hak-hak hidup manusia. Namun memang bentuknya saja yang berbeda beda. Biasanya isu hak-hak dasar manusia yang diangkat pada sebuah peradaban bergantung pada kondisi masyarakat di tempat itu pada waktu itu.
Pada masa islam di abad ke 6 misalnya, pada waktu itu Nabi Muhammad membawa ajaran mengenai pentingnya menghargai HAM dalam bidang keamanan sosial, struktur keluarga, perbudakan dan menghargai etnis minoritas, karena memang waktu itu banyak terjadi penindasan di sektor-sektor ini. Pada era yang lebih modern sedikit kita juga bisa melihat lahirnya Magna Carta di Inggris yang menentang kesemena-menaan raja. Hal ini bisa kita pahami karna pada waktu itu memang sistem monarki sedang berkembang pesat dan feodalisme sedang jaya sehingga penindasan terhadap masyarakat sipil sangat mungkin terjadi ketika raja kurang bijak dalam membuat peraturan dan melaksanakannya. Pada masa perang dingin, isu isu mengenai HAM yang dibawa oleh Soviet dan koloninya berkutat pada masalah hak-hak para pekerja. Tentunya ini sesuai dengan ideologi yang mereka bawa dan mereka gunakan untuk melawan hegemoni kapitalisme negara-negara barat.