Oleh: Ahmad
Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani
Akbar, Zean Pratama
HAM
dalam implementasinya juga tidak luput dari dari kontroversi .Setidaknya
ada beberapa dua poin yang menjadi
permasalah dalam implementasi HAM:
Dominasi barat dalam konseptual HAM
HAM didominasi barat dan mengesampingkan budaya
lokal di negara dunia ketiga. Hal ini disebabkan karena benturan pemahaman
konsepsi HAM antara dominansi barat terhadap budaya non barat. Budaya Non barat
mengedepanan hak komunitas dan harmoni kelompok sekaligus mengindari
konfrontasi sedangkan budaya barat
mengedepankan hak individu yang
menajadi basis dari defenisi HAM itu
sendiri. Michael Ignatief dalam tulisannya human
rights as politics menegaskan basis individu sebagai konseptual HAM dari
definisi Barat:[1]
“Calling the global
diffusion of Western human rights a sign of moral progress may seem
Eurocentric. Yet the human rights instruments created after 1945 were not a
triumphant expression of European imperial self-confidence but a reflection on
European nihilism and its consequences, at the end of a catastrophic world war
in which European civilization very nearly destroyed itself. The Universal
Declaration represented a return by the European tradition to its natural law
heritage, a return intended to restore agency,
to give individuals the juridical resources to stand up when the state
ordered them to do wrong”
Penegasan Michael Ignatief diatas mengandung dua poin
penting pertama HAM dipandang sebagai konsep yang eurosentris dan memandang the rest sebagian bagian komunitas dunia
yang tidak memiliki konsep HAM. Kedua,
basis individu adalah dasar penegakan HAM itu sendiri yang menekan institusi
negara untuk tidak bertindak yang melanggar hak tiap individu. Permasalahan
terletak pada moral standard yang seringkali berbenturan dengan pemahaman
budaya non barat. Hal ini dicontohkan melalui pemakaian jilbab dan burqa yang
menurut barat adalah opresi terhadap
kaum perempuan dan merupakan pelanggaran
HAM. Namun sebaliknya beberapa perempuan yang memakai pakaian tersebut
tidak memandang apa yang dianggap barat sebagai opressi adalah sebagai kebebasan perempuan dalam
menentukan pakaian dan sebagai bentuk attachment
mereka terhadap kepercayaan yang mereka anut. Hal ini seringkali menjadi
standard internasional untuk memnadang fenomena di dunia non barat. Globalisasi
dalam hal ini juga berkontribusi besar melalui aspek velocity dan deep impact
nya semakin mendorong penyebaran ide HAM yang menjadi standard international
namun sering kali globalisasi disisi lain juga menjadi sarana westernisasi
terutama diseminasi HAM sebagai norma
internasional.
Standard Ganda Implementasi HAM
Sebagai Norma internasional, HAM juga
memerlukan Norm entrepreneur yakni negara-negara besar seperti AS dan Uni
Eropa melakukan banyak pelanggaran HAM itu sendiri yang justru mengurangi
keabsahan HAM yang sedang dipromosikan oleh para norm entrepreneurs. Dalam mencapai kepentingan keamanannya AS di
Iraq tentara AS telah menewaskan 109.000 masyarakat sipil dari tahun 2003-2009.[2]
Disisi Domestik AS juga banyak melanggar banyak Hak Asasi manusia antara lain
sebagai berikut;
1. Pelanggaran
HAM dalam diskrimansi rasional. Berdasarkan harian New York Times pada
September 2010 sebanyak 803 komplain dari pekerja muslim di New york yang tidak
pernah mendapatkan tanggapan.
2. Pelanggaran
HAM dalam hak Asasi Perempuan dan Anak-anak terhadap kasus penyerangan seksual
dan banyak anak-anak hidup dibawah kemiskinan akibat krisis 2008
3. Pelanggaran
HAM terhadap tahanan perang di Guantanamo dibawah Agenda war on terror menyebabkan banyak tahanan yang terepresi hak-hak
individu nya seperti kebebasan beribadah.
Disisi lain juga, AS juga melalui power structural nya mempromosikan ide
HAM ke seluruh belahan dunia termasuk dalam pembebasan Aung San su kyi di
Myanmar. Standard ganda AS dibuktikan juga dengan sikap AS yang cenderung tidak
mau tahu dengan pelanggaran negara sekutunya seperti Israel dan jarang sekali menggunakan
aksi koersif AS terhadap AS untuk menghukum pelanggaran HAM nya.
Tantangan HAM
sebagai Norma
HAM sebagai Norma Internasional berdasarkan pemaparan
diatas memiliki dua tantangan besar yakni sebagai berikut
1. Universalitas
HAM mendapatkan tantangan yang disebabkan oleh dominasi barat dan perlunya
mempertimbangkan nilai-nilai yang lebih universal yang juga merangkul
nilai-nilai dari budaya non barat.
2. Implementasi
yang selalu menemui standard ganda
seringkali menjadikan HAM sebagai hanya alat politik semata dan seringkali menghilangkan legitimasi HAM
sebagai norma itu sendiri.
[1] Ignatieff,Michael.2000. Human rights as
politics.:the tanner lectures on human values, Pricenton university.hal.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar