Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Sebuah
peristiwa penting bagi umat Islam terjadi menjelang akhir 2013. Pada 22 Oktober
2013, Sultan Hassanal Bolkiah menyatakan akan menerapkan syariat Islam di
Kesultanan Brunei Darussalam. Keputusan itu sendiri sebenarnya telah dibuat
sekitar tiga bulan sebelumnya, yakni pada pertengahan Ramadhan 1434 H (Juli
2013), dengan sebutan Bil. 69 Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah
2013. Pengumumannya oleh Sultan Bolkiah pada Oktober 2013 itu sekaligus secara
resmi mencatatkannya dalam Perlembagaan Negara Brunei Darussalam, Perkara 83
(3). Kanun ini terdiri atas sejumlah bab dan pasal, dalam dokumen setebal 132
halaman. Isinya mencakup berbagai masalah yang terkena hadd, yaitu
hukuman atau siksaan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul SAW.
Negara Brunei
Darussalampun, telah resmi memberlakukan syariah Islam mulai 1 Mei 2014 lalu.
Hukum Syariah Islam juga akan berlaku untuk warga non-Muslim. Fase pertama dari
Syariah Islam adalah penerapan denda atau penjara bagi wanita yang hamil di
luar nikah, menyebarkan agama-agama lain dan meninggalkan sholat Jumat bagi
warga Muslim. Fase kedua akan berlaku setelah satu tahun dari fase pertama.
Pada fase kedua, Syariah Islam menerapkan hukum cambuk dan amputasi bagi
penenggak alkohol. Kemudian fase terakhir atau ketiga berlaku dua tahun setelah
fase pertama. Fase ketiga menerapkan hukum rajam bagi pezina, pelaku sodomi,
dan penghina Alquran dan Nabi Muhammad. Pelaksanaan Syariah Islam memicu
kekhawatiran atas hak-hak minoritas. Sebab, 20 persen dari penduduk Brunei
adalah warga non-Muslim, yang kebanyakan memeluk agama Buddha, Kristen, dan
penganut kepercayaan ada setempat. Reuters melaporkan, sekitar 30.000
warga asing non-Muslim yang sebagian besar bekerja di sektor minyak juga berada
di Brunei. Kebanyakan dari mereka warga Filpina penganut Katolik Roma.[1]
Akibat
diberlakukannya undang-undang mengenai hukum syariah tersebut, Brunei Darussalam
menjadi sorotan dunia. Di mana di dalamnya memuat praktik hukum rajam bagi
pezina dan kaum homo seksual. Dalam pengumumuman penerapan hukum Syariah
tersebut, Sultan mengklaim sebagai kewajiban pemimpin yang menjalankan perintah
Tuhan. Sultan Brunei Hassanal Bolkiah telah menyatakan ia ingin memperkenalkan
hukum syariah penuh di negara minyak tersebut. Ia mengacuhkan kritik yang
muncul atas keputusannya menggunakan hukum baru tersebut. Gebrakan Sultan
Brunei itu cukup membuat takut kelompok lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT). Kelompok itu semula ingin menggelar konferensi di
hotel milik Sultan Brunei, namun bergegas membatalkannya. Kelompok advokasi
LGBT, The Gill Action Fund sendiri
memilih memboikot hotel milik Sultan Hassanal sebagai bentuk protes atas
gebrakan sang Sultan. Meskipun terdapat banyak kecaman dan protes dari dunia
internasional dan PBB tetap tidak ada respon dari Sultan Hassanal sebagai
pemimpin negara tersebut.[2]
Sultan Hassanal Bolkiah sendiri sudah mengumumkan penerapan hukum Islam
tersebut sejak bulan Oktober 2013 silam, dan hukuman berdasarkan syariah Islam
tersebut akan dimulai secara bertahap. Sejak itu muncul kecaman dan
keprihatinan dari PBB. Kritik juga muncul dari dalam negeri, di mana public
melalui media sosial mempertanyakan kebijakan sultan Brunei berusia 67 tahun
itu.[3]
Dalam penerapan hukum Syariah Islam tersebut, Sultan
Bolkiah mengatakan, eksekusi berlaku bagi siapa pun melakukan berbagai
“kejahatan” seksual, termasuk sodomi, perzinahan dan pemerkosaan. Selain itu,
hukuman mati dengan rajam untuk kejahatan seperti perzinahan, potong tangan
bagi pelaku pencurian, dan hukuman cambuk bagi sejumlah pelanggaran, seperti
aborsi dan konsumsi alkohol.[4]
Namun, hukum itu hanya akan berlaku untuk umat Islam, yang jumlahnya
penganutnya sekitar dua per tiga dari total penduduk di negara itu. Sedangkan
umat agama lain, seperti Kristen dan Budha akan diatur oleh aturan adat.
PBB sudah
mengkritik adopsi hukum Syariah Islam oleh Brunei. Mereka menganggap hukum
rajam seperti itu tidak memenuhi standar hak asasi manusia internasional. Menurut juru bicara Komisi Tinggi PBB (UHCHR)
untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville, bahwasannya di bawah hukum
internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan atau perlakuan
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan perlakuan hukum.[5]
Bahkan UHCHR mendesak pemerintah menunda penerapan revisi hukum tersebut dan
melakukan peninjauan yang komprehensif untuk memastikan kesesuaiannya dengan
standar hak asasi manusia internasional. [6]
Selain dari PBB, keputusan mengenalkan hukum syariah dan hukuman mati tersebut
juga dikritik oleh lembaga swadaya masyarakat dan komunitas non-Muslim karena
keputusan Sultan tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Kelompok
aktivis HAM internasional menyebut tindakan Brunei sebagai suatu langkah mundur
bagi hak asasi manusia. Sebagai protes, aktor Inggris Stephen Fry juga
meyerukan boikot atas jaringan hotel yang dimiliki Sultan Brunei. [7]
Selain
itu, kelompok pegiat hak asasi manusia Human
Rights Watch mengecam keras kebijakan ini. Phil Robertson, Wakil Direktur
divisi Asia kelompok yang berkantor di Bangkok itu mengatakan hukum pidana
syariah itu adalah langkah mundur bagi Brunei. “Hal ini adalah langkah otoriter
yang mendekati hukuman abad pertengahan brutal dan tidak punya tempat di dunia
abad ke-21 yang modern,” kata Robertson dalam keterangan tertulis yang
diperoleh BBC.[8]
Selama ini, Pemerintah Brunei telah melarang penjualan dan konsumsi alkohol.
Sultan Brunei juga sudah memberlakukan peraturan konservatif Islam yang lebih
ketat pada rakyatnya, dibandingkan dengan negara Musli di Asia Tenggara
lainnya, seperti Malaysia dan Indonesia.[9]
Selama ini, 400 ribu warga Brunei menikmati salah satu standar hidup tertinggi
di Asia. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, perdebatan soal penerapan hukum
Syariah telah membuat resah warga negara terkecil di Asia Tenggara itu. Warga
Beverly Hills, Amerika Serikat, meloloskan sebuah resolusi yang berisi tuntutan
agar Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, menjual jaringan hotelnya di kota mewah
itu. Tuntutan itu dikeluarkan setelah Hassanal memberlakukan hukum pidana
Syariah. Dilansir dari stasiun berita Al Jazeera, Kamis 8 Mei
2014, resolusi itu diloloskan pada Selasa kemarin. Resolusi itu kemudian akan
dikirimkan ke Departemen Luar Negeri AS dan meminta agar Pemerintah Negeri
Paman Sam mengambil tindakan sesuai untuk mengecam kebijakan Brunei. [10]
Adapun alasan
Sultan menerapkan hukun Islam tersebut karena Allah SWT yang telah menciptakan
hukum bagi kita. Sehingga kita bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan keadilan.
menegaskan penerapan syariat Islam adalah untuk memenuhi kewajiban kita
kepada Allah SWT. Dan tindakan itu merupakan bagian dari langkah besar
sejarah Burnei Darussalam.Selain itu Sultan mengklaim bahwa sistem monarki
absolut adalah 'firewall' yang sangat kuat dan efektif dalam menghadapi
tantangan globalisasi. [11] Ada
sejumlah hal yang perlu umat Islam pahami dan renungkan dari peristiwa penting
ini. Pertama, penduduk negeri Brunei yang majemuk, dengan warga Muslim hanya 67
persen, sama sekali tidak menjadi penghalang bagi ketaatan pada hukum Allah SWT
dan Rasul SAW. Sebagai ulil amri, yakni sultan yang dipandu oleh para
fuqaha, Sultan Bolkiah dan rakyat Brunei mencontohkan kepada kita jalan
kembalinya dan cara menegakkan syariat Islam. Penerapan syariat Islam tidak
memerlukan keputusan parlemen dengan undang-undang atau perda, tapi melalui
titah seorang ulil amri, yaitu seorang sultan, yang didampingi oleh Dewan
Shura.[12]
Dalam kasus
ini kita melihat bagaimana terdapat perbedaan mengenai nilai-nilai hak asasi
manusia itu sendiri. Dalam perspektif hukum internasional, hukuman rajam dan
potong tangan dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan norma-norma HAM.
Sedangkan dalam hukum Islam, potong tangan dan hukum rajam dimaknai sebagai
pencegahan agar hak asasi manusia lainnya tidak terganggu. Dalam kasus ini kita
melihat adanya benturan konsep mengenai HAM, yaitu antara pandangan Barat dan
Timur mengenai konsep HAM. Adanya kecaman dan perlawanan dari beberapa masyarakat
Amerika Serikat dan PBB menandai adanya pemaksaan mengenai konsep HAM itu
sendiri.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam perkembangannya HAM
sebagai norma internasional memiliki beberapa kendala yakni
1.
HAM sebagai norma
hanya didominasi oleh barat sebagai penentu standard dari nilai yang terkandung dan membutuhkan
pertimbangan untuk merangkul lebih local wisdom dari budaya non barat agar
norma tersebut lebih universal
2.
Dari segi Norm
enterpreuner yang memiliki peran penting dalam legitimasi dan viabilitas HAM
sebagai norma internasional justru menjadi kendala besar sebab banyak melakukan
pelanggaran yang berarti dalam
mengganggu norma itu sendiri seperti satndard ganda yang diciptakan oleh AS
Kaitannya dengan globalisasi, globalisasi menjadi sarana dari baik dampak
negatif dan positf tehradap HAM sebagai Norma yakni
1.
Norma HAM dapat
diseminasikan secara borderless agar semua masyarakat internasional menyadari
pentingnya Hak-Hak Manusia dalam melawan kesewenangan negara yang merampas baik
hak komunitas dan individu. Selain itu mendorong negara untuk memajukan HAM
sebab bagaimana pun negara sebagai aktor utama yang bertanggung jawab jaminan
HAM warganya
2.
Efek buruk
homogenisasi atau penyeragaman dari Globalisasi melalui westernisasi
menyebabkan HAM harus dipaksakan melalui standard barat yang mengesampingkan
pandangan dari budaya non barat.
[1] Dalam “Syariah Islam Berlaku di Brunei Besok
Hukuman Rajam Menyusul”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2014/04/30/40/859057/syariah-islam-berlaku-di-brunei-besok-hukum-rajam-nyusul. Pada tanggal 15 Mei 2014.
[2] Dalam “Ketika Gebrakan Hukum Syariah Menjadi
Bumerang Bagi Sultan Brunei”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2014/05/09/45/862086/ketika-gebrakan-hukum-syariah-jadi-bumerang-sultan-brunei. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[3] Dalam “Brunei Tunda Penerapan Hukum Rajam
Bagi Pezina Dan Gay”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2014/04/22/40/856432/brunei-tunda-penerapan-hukum-rajam-bagi-pezina-gay. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[4] Dalam “Sultan Brunei Ancam Kritikus Di Dunia
Maya”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2014/02/26/40/839475/sultan-brunei-ancam-kritikus-di-dunia-maya. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[5] Dalam “Brunei Terapkan Hukum Rajam Kelompok
Gay Ketakutan”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2014/04/21/40/856081/brunei-terapkan-hukum-rajam-kelompok-gay-ketakutan. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[6] Dalam “Mulai Besok Brunei Terapkan Hukum
Rajam Bagi Pezinah Dan Gay”. Diakses melalui http://dunia.news.viva.co.id/news/read/498232-mulai-besok--brunei-terapkan-rajam-bagi-pezinah-dan-gay. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[7] Dalam “Tiga Tahapan Penerepan Hukum Islam Di
Brunei Darussalam”. Diakses melalui http://poskotanews.com/2014/05/04/tuga-tahapan-penerapan-hukum-islam-di-brunei-darussalam/. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[8] Dalam “Brunei Terapkan Hukum Syariah Secara
Bertahap”. Diakses melalui http://poskotanews.com/2014/05/02/brunei-terapkan-syariah-islam-secara-bertahap/. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[9] Dalam “Brunei Darussalam Akan Terapkan Hukum
Syariah”. Diakses melalui http://international.sindonews.com/read/2013/10/23/40/797149/brunei-darussalam-akan-terapkan-hukum-syariah. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[10] Dalam “terapkan Syariat Hotel Sultan Brunei
Diboikot di Amerika Serikat”. Diakses melalui http://dunia.news.viva.co.id/news/read/503042-terapkan-syariat--hotel-sultan-brunei-diboikot-di-as. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[11] Dalam “Berlakukan Hukuman Rajam Sampai Mati
Sultan Brunei Diprotes”. Diakses melalui http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/14/04/01/n3bdy1-berlakukan-hukuman-rajam-sampai-mati-sultan-brunei-diprotes. Pada tanggal 16 Mei 2014.
[12] Dalam “Brunei Tegakkan Syariat”. Diakses
melalui http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/14/03/16/n2icwy-brunei-tegakkan-syariat-bagian1. Pad atanggal 16 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar