Oleh: Arfianto Rifki
Reformasi
struktural di Amerika Latin diselenggarakan sejak tahun 1980-an sebagai respon terhadap krisis finansial yang
melanda negara-negara di kawasan tersebut. Pada awalnya di tahun 1980-an pemerintah Amerika
Latin berupaya bernegosiasi dengan pemerintah AS terkait dengan Rencana Bantuan
Marshall, namun keuangan AS pada saat itu dalam keadaan defisit dan lemah sehingga kesempatan untuk
peminjaman bilateral terbatas.Maka
jalan yang memungkinkan untuk menerima pendanaan melalui pinjaman dari
agen-agen multilateral seperti IMF dan Bank Dunia yang menjadi sumber utama
pendanaan bagi negara-negara yang terlilit hutang di Amerika Latin.
Namun
konsekuensinya, aturan dan kontrol diberlakukan bagi negara-negara peminjam
untuk mereformasi struktur dan kondisi ekonomi domestiknya dalam rangka untuk
menerima pendanaan dari lembaga ini. Aturan tersebut menekankan pencapaian pada
pertumbuhan ekonomi berorientasi ekspor (melalui liberalisasi perdagangan dan
nilai tukar), meningkatkan pembentukan modal domestik (melalui reformasi
keuangan dan pajak), dan mereduksi peran pemerintah di sektor ekonomi.[1]
Sepanjang 1980-an banyak negara-negara menentang implementasi reformasi
bersyarat itu, tapi yang lain bergerak lebih cepat dari apa yang disyaratkan
oleh agen multilateral tersebut. Misalnya program privatisasi Mexico, di mana
100 badan usaha milik negara siap dijual, Begitu juga dengan Chile yang segera
menghapus pembatasan dalam perdagangan. Hal yang paling
mencolok yang segera dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin dalam upaya
reformasi struktural ekonomi ialah dengan mengeluarkan paket kebijakan fiskal
untuk mengantisipasi kondisi perekonomian negara. Di Brazil misalnya,
pemerintah mengurangi anggaran pengeluaran dan meningkatkan penerimaan negara
(lewat pajak) sambil pada saat yang sama memperbaiki neraca pembayaran. Dan
juga dalam kebijakan moneter segera ditempuh program penyesuaian nilai tukar
otomatis melalui depresiasi dollar sebanyak 7 persen pertahun. Kebijakan
seperti itu.hampir seragam diterapkan di negara-negara Amerika Latin.
Organisasi multilateral
berbasis Washington seperti IMF, Bank Dunia , dan IDB (Inter-American Development
Bank) secara kuat berpengaruh baik sebagai peminjam dan penasihat kebijakan di
tahun 1980an dan 1990an di Amerika Latin. Sehingga apa yang kemudian disebut
Washington Consensus yang memiliki tiga ideologi utama dalam hal kebijakan ekonomi:[2]
a)
Pembukaan pasar-pasar
Amerika Latin pada ekonomi dunia melalui liberalisasi perdagangan (fokus pada
impor) dan memperemudah investasi langsung luar negeri.
b)
Mereduksi intervensi
pemerintah secara langsung di sektor ekonomi melalui privatisasi begitu juga
meningkatkan peran teknokrat dari kementerian ekonomi- melalui pemberlakukan disiplin fiskal,
perimbangan anggaran dan reformasi pajak.
c)
Meningkatkan
signifikansi pasar dalam mengalokasikan sumber daya dan membuat sektor-sektor
swasta sebagai instrumen utama dan pertumbuhan ekonomi- melalui deregulasi,
jaminan hak kepemilikan, dan liberalisasi keuangan.
Reformasi
kebijakan ekonomi terjadi dalam dua generasi. Generasi pertama reformasi di
tahun 1980an. Secara keseluruhan tujuan utamanya adalah untuk mencapai stabilitas
makro ekonomi. Reformasi generasi pertama tidak di adopsi secara seragam di
seluruh di Amerika Latin. Stalings dan Peres mengidentifikasi beberapa negara yang
bertindak secara “agresif”
(Argentina, Bolivia, Chili, Peru ) sebagai lawan yang lebih “berhati-hati” dalam (Brazil, Colombia, Costa Rica, Jamaica
dan Mexico ) pada basis kecepatan dan lingkup reformasi. Keempatreformis'agresif' mengalamikrisisyang signifikan
selamatahun 1980, namun kemudian mengalami pertumbuhan yang cepat(rata-rata keseluruhan
4,6persenper tahun) antara tahun 1990dan 2001. Pola inikemudian berubahkarenakrisisekonomi di Argentinayang dimulai
padaakhir tahun 2001. Sebaliknya,reformis yang “berhati-hati” telah tumbuhdengan
cepat di bawahorientasike dalam(tingkat pertumbuhan
rata-rata 7,1persenpertahunantara tahun 1965dan 1980untuk
Brazil, Colombia dan Mexico) dantelah mencatattingkat
pertumbuhanselama krisishutang.
Washington
Consensus terus berkembang sepanjang 1990-an,
menggabungkan kebijakan sosial dan ekonomi ke dalam paket reformasi. Reformasi
generasi kedua menekankan hal-hal yang institusional dalam rekomendasi
kebijakan mereka.Pemerintah diposisikan sebagai penggerak utama perubahan
institusi (seperti penciptaan Bank sentral yang independen dan anggaran yang
lebih kuat). Dan sebagai reaksi atas krisis finansial, maka pentingnya untuk
memperkuat pengawasan Bank. Selain itu, mengacu pada kebutuhan untuk
menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif tidak hanya melalui privatisasi dan
deregulasi tapi juga melalui investasi dalam institusi dan sumber daya manusia.Kebijakan sosialdilihat sebagaibagian integraldari prosesreformasi.
Ketika pengeluaran pemerintahdalam kegiatan produktifberkurang,
hal iniakanmembebaskansumber daya publikuntuk belanjasosial.
Dampak
krisis hutang dan setelahnya di awal 1980-an
juga menyediakan katalis pada perubahan dasar dalam kebijakan. Salah satunya
melalui reformasi perdagangan. Reformasi perdagangan menawarkan kemungkinan
untuk devaluasi nilai tukar, peningkatan ekspor dan surplus perdagangan yang
lebih tinggi yang berimplikasi pada keseimbangan modal dari negara-negara Amerika
Latin. Jika ditinjau praktisnya,
negara Amerika Latin memulai program liberalisasi rezim perdagangan antara
tahun 1985 dan 1991. Di seluruh Amerika Latin, pembatasan tarif dan non tarif
telah berkurang begitu juga kontrol terhadap mata uang asing khususnya di
negara-negara kecil. Di samping itu terjadi pengurangan yang tajam di tingkat
proteksi tarif pada impor. Reformasi perdagangansering
dikaitkandengan perubahanpenting dalamnilai tukar. Setelahkrisis hutang, banyakmata uang Amerika latin telah didevaluasi, dan
membuatekspordari sebagian besarnegara-negara AmerikaLatinbanyaklebih
kompetitifdan merupakan salah satupenyebab utamapertumbuhan ekspordi banyak
negara.
Krisis
finansial yang melanda negara-negara berkembang di Asia di tahun 1997-1998
berimplikasi menganggu stabilitas perekonomian di masing-masing negara, seperti Indonesia, Thailand dan Korea Selatan.
Sadar akan hal itu pemerintah menggunakan jasa IMF dan Bank Dunia untuk
mendapatkan pinjaman dana agar menutupi defisit. Namun konsekuensinya, samaseperti negara-negara
di Amerika Latin,
bahwa aturan dan kontrol diberlakukan bagi negara-negara peminjam untuk
mereformasi struktur dan kondisi ekonomi domestiknya. Oleh ekonom Jhon
Williamson,[3]
reformasi ekonomi ini dirangkum dalam sepuluh ketentuan yang ia sebut sebagai
Washington Consensus,
yaitu: (1) pengetatan fiskal; (2) mengurangi alokasi dana pemerintah untuk
sektor publik seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; (3)
reformasi perpajakan; (4) liberalisasi nilai suku bunga; (5) penerapan nilai
tukar yang kompetitif; (6) liberalisasi perdagangan; (7) liberalisasi investasi
asing; (8) Privatisasi; (9) deregulasi; (10) Jaminan kepemilikan.
IMF
menyaratkan reformasi dalam persetujuan kondisional IMF dalam mengatasi krisis
keuangan di Asia yang ditargetkan dalam tiga area dimana hal ini telah tertuang dalam Letter
of Intent (LoI) yang ditandatangani masing-masing pemerintah dengan IMF
dalam kesepakatan tersebut. Ketiga area tersebut yaitu:[4]
a)
Stabilisasi makro-ekonomi,
Stabilisasi
makro-ekonomi menurut IMF
dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan pasar dan untuk mencegah keluarnya arus
modal. Pemerintah didesak untuk mengetatkan kebijakan moneter dengan
menaikkan suku bungauntuk membendungdepresiasimata uang mereka. Pengetatan
kebijakanfiskaljuga disyaratkanagar menghasilkansumberkeuangan yang diperlukan(cadangan
devisa) untuk membayarrestrukturisasisektor keuangan.
Reformasi
sektor keuangan didasarkan pada tiga komponen yang saling berkaitan. Pertama, pemerintah disyaratkan untuk
menutup institusi keuangan yang bangkrut. Di Thailand, misalnya, pemerintah
menutup 56 perusahaan keuangan yang pailit; pemerintah Korea Selatan menutup 9
Bank dagang; pemerintah Indonesia menutup 64 dari 273 Bank. Kedua, pemerintah diminta untuk untuk
merekapitalisasilembaga keuanganyang lemah. Misalnya, pemerintah Korea Selatan
merekapitalisasi Korea First Bank (KFB) dan Seoul Bank (SB) hingga mampu
berjalan lebih efektif. Indonesia merekapitalisasi bank swasta diantaranya Danamon,
BCA, dan Lippo dan Bank BUMN seperti BNI, BRI, dan BTN. Ketiga, Pemerintah disyaratkan merestrukturisasi sistem keuangan
mereka untuk meningkatkan kualitas intermediasi keuangan. Restrukturisasimensyaratkanmendesain
ulangperaturan keuanganuntuk mendorongpengawasan yang lebih baik,
mengakhirihubungan yangerat antarapejabat pemerintahdan lembaga
keuangan, dan membukaindustri jasa keuangandalam negeri
untuklembaga keuangan asing.
c)
Reformasi struktural
Reformasi struktural
termasuk liberalisasi perdagangan, menghapus praktik-praktik monopoli domestik
begitu juga dengan regulasi dan praktik-praktik yang tidak kompetitif, dan
privatisasi BUMN. Di Thailand, reformasi struktural ditujukan pada layanan
publik dan BUMN. Di Indonesia, IMF menekan pemerintah untuk menderegulasi
pertanian dan mengurangi posisi monopoli dari lembaga pemasaran pertanian
nasional. Bulog misalnya, dikurangi kekuasaannya hanya untuk menangani beras
saja, setelah sebelumnya memonopoli impor dan distribusi beras, gula serta
gandum. Pemerintah Indonesia
juga ditekan untuk memprivatisasi 13 BUMN dan menundapengembangan
industriotomotif(MOBNAS) dan pesawat (IPTN).
[1]Gwynne, “Structural reform in
South America & Mexico: Economic & regional perspectives” (Chapter 3)
dalam Gwynne & Kay, 2004, Latin
America Transformed: Globalization & Modernity, hal 47
[2]Oatley,
2006, International Political Economy, Longman.
[3]Jhon Williamson, Latin America Adjusment: How much has
Happened? Dalam Syamsul Hadi, et,al, 2007, Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi, di Indonesia,
Tangerang: Margin Kiri, hal, 21
[4]Op.Cit, Oatley
Tidak ada komentar:
Posting Komentar