Oleh: Ahmad Mubarak Munir
Membangun resolusi konflik sangat erat kaitannya
dengan proses analisa konflik (analyzing
conflict), proses yang menjadi landasan utama dan pertama dalam membuat
resolusi-resolusi yang memungkinkan untuk sebuah konflik. Mapping conflict memiliki peranan yang sangat penting dalam membuat
kemungkinan-kemungkinan resolusi konflik, mapping
process yang mencakup proses pemahaman kasus (cases profile), aktor yang terlibat dan penyebab konflik (causes of conflict), memberikan kita
kesempatan untuk menarik suatu kesimpulan yang nantinya menjadi suatu hipotesa
dalam menyikapi dan menyiapkan resolusi. Pemetaan konflik dapat dilakukan dengan
banyak metode, antara lain pohon konflik, piramida, analogi bawang dan
metode-metode lainnya, keseluruhan metode pada dasarnya bertujuan memberikan
gambaran terkait dengan konflik itu sendiri dan menjadi landasan langkah apa
yang tepat untuk konflik tersebut.
Dalam proses penyelesaian konflik (conflict resolution) proses mediasi
menjadi salah satu proses penting untuk memberikan wadah komunikasi yang baik
antara pihak yang berkonflik. Pihak ketiga menjadi aktor penting di luar para
pemangku kepentingan dalam konflik, proses mediasi merupakan proses awal
membangun resolusi konflik, proses mediasi memberikan pandangan yang berbeda
dari kondisi yang yang tidak menguntungkan. Adapun alasan utama aktor dalam
sebuah konflik menerima intervensi pihak ketiga atau dikenal dengan mediator
antara lain adalah berangkat dari
kepercayaan bahwa dengan menyerahkan penyelesaian konflik pada sebuah proses
mediasi dapat menyalurkan kepentingan-kepentingan mereka dari pada membiarkan
konflik tersebut tetap memanas tanpa ada proses dan regulasi yang jelas.[1]
Hal ini menjadi motivasi utama pihak yang berkonflik bersedia menerima adanya
mediator atau pihak ketiga.
Motivasi kuat lainnya mengapa pihak yang berkonflik
memasukkan mediasi kedalam proses konflik antara lain[2].
Pertama, mediasi biasanya menjadi sebuah pilihan kebijakan strategis ketika
pihak yang berkonflik mendapat kendala dan mengadapi deadlock dalam sebuah
konflik, proses mediasi ini juga dapat menjadi bagian penting pihak yang
berkonflik untuk meningkatkan posisinya dalam konflik tersebut. Kedua, mediasi
merupakan sebuah strategi komunikasi bersama (multiple communication strategy), strategi ini digunakan untuk
meningkatkan legitimasi kebijakan-kebijakan pihak yang berkonflik. Mediasi ini
juga digunakan untuk meningkatkan dukungan atau simpati di luar pihak yang
berkonflik, artinya inisiatif untuk mediasi digunakan sebagai langkah politis
meningkatkan dukungan, hal ini juga bertujuan untuk membuat pihak luar
memberikan tekanan terhadap lawan konflik.
Ketiga, keterlibatan dalam mediasi juga dianggap
sebagai cara untuk meningkatkan kondisi umum konflik. Sesuai dengan penjelesan
sebelumnya bahwa kesiapan untuk mediasi merupakan salah satu strategi untuk
meningkatkan posisi, dalam menggambarkan kondisi umum maka pihak di luar
konflik akan mendapat gambaran yang baik terhadap salah satu pihak yang
berkonflik. Terlepas dari alasan utama aktor dalam sebuah konflik menerima
mediasi pihak ketiga, mediasi juga dpat menjembatani kepentingan fungsional, komunikasi
langsung antara pihak yang berkonflik seringkali mengalami distorsi, terlebih
jika pihak lawan besikukuh pada pendiriannya. Kurangnya komunikasi berarti
bahwa kurangnya transparansi, dengan membawa pihak ketiga akan membantu
membangun komunikasi yang lebih merangkul semua kepentingan. Singkatnya
kebutuhan akan pihak ketiga meruapakan kepentingan pihak yang berkonflik yang
tujuannya bukan untuk mencari kesepakatan akan tetapi memecahkan kebuntuan dan
mengamankan kepentingan-kepentingan mereka.
Terkait dengan membangunan perdamaian yang
berkelanjutan, menurut Krisberg ada empat dimensi rekonsiliasi yang sangat
esensial untuk membangun perdamaian dalam masyarakat pasca konflik yaitu
kebenaran, keadilan, penghormatan dan keamanan. Dimana empat dimensi ini menjadi
pilar kuat untuk menciptakan perdamaian yang positif.[3] Sedangkan
terkait dengan kualitas pihak ketiga atau mediator yang diinginkan pihak-pihak
yang berkonflik antara lain[4]:
-
Memiliki kompetensi,
-
Memiliki komitmen
pribadi, menghargai dan berintegritas;
-
Memiliki sikap
berempati;
-
Sabar;
-
Independen (tidak
memihak);
Fleksibel dan memilki
kemampuan praktikal
[1] Hans J. Giessmann and Oliver Wils Seeking Compromise? Mediation
Through the Eyes of Conflict Parties. Dalam http://www.berghof-handbook.net/articles/section-iii-third-party-tools-and-capacity-building/,
diakses tanggal 20 Maret 2014.
[2] Ibid
[3] Martina Fischer, “Transitional Justice and Reconciliation: Theory
and Practice”, dalam, http://berghof-handbook.net/documents/publications/fischer_tj_and_rec_handbook.pdf,
diakses tanggal 20 Maret 2014.
[4] Op.Cit., hal 197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar