“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Dealing with Conflict Dalam Foundation in Peace Studies


Oleh: Ahmad Mubarak Munir
 Membangun resolusi konflik sangat erat kaitannya dengan proses analisa konflik (analyzing conflict), proses yang menjadi landasan utama dan pertama dalam membuat resolusi-resolusi yang memungkinkan untuk sebuah konflik. Mapping conflict memiliki peranan yang sangat penting dalam membuat kemungkinan-kemungkinan resolusi konflik, mapping process yang mencakup proses pemahaman kasus (cases profile), aktor yang terlibat dan penyebab konflik (causes of conflict), memberikan kita kesempatan untuk menarik suatu kesimpulan yang nantinya menjadi suatu hipotesa dalam menyikapi dan menyiapkan resolusi. Pemetaan konflik dapat dilakukan dengan banyak metode, antara lain pohon konflik, piramida, analogi bawang dan metode-metode lainnya, keseluruhan metode pada dasarnya bertujuan memberikan gambaran terkait dengan konflik itu sendiri dan menjadi landasan langkah apa yang tepat untuk konflik tersebut.
Dalam proses penyelesaian konflik (conflict resolution) proses mediasi menjadi salah satu proses penting untuk memberikan wadah komunikasi yang baik antara pihak yang berkonflik. Pihak ketiga menjadi aktor penting di luar para pemangku kepentingan dalam konflik, proses mediasi merupakan proses awal membangun resolusi konflik, proses mediasi memberikan pandangan yang berbeda dari kondisi yang yang tidak menguntungkan. Adapun alasan utama aktor dalam sebuah konflik menerima intervensi pihak ketiga atau dikenal dengan mediator antara  lain adalah berangkat dari kepercayaan bahwa dengan menyerahkan penyelesaian konflik pada sebuah proses mediasi dapat menyalurkan kepentingan-kepentingan mereka dari pada membiarkan konflik tersebut tetap memanas tanpa ada proses dan regulasi yang jelas.[1] Hal ini menjadi motivasi utama pihak yang berkonflik bersedia menerima adanya mediator atau pihak ketiga.

Motivasi kuat lainnya mengapa pihak yang berkonflik memasukkan mediasi kedalam proses konflik antara lain[2]. Pertama, mediasi biasanya menjadi sebuah pilihan kebijakan strategis ketika pihak yang berkonflik mendapat kendala dan mengadapi deadlock dalam sebuah konflik, proses mediasi ini juga dapat menjadi bagian penting pihak yang berkonflik untuk meningkatkan posisinya dalam konflik tersebut. Kedua, mediasi merupakan sebuah strategi komunikasi bersama (multiple communication strategy), strategi ini digunakan untuk meningkatkan legitimasi kebijakan-kebijakan pihak yang berkonflik. Mediasi ini juga digunakan untuk meningkatkan dukungan atau simpati di luar pihak yang berkonflik, artinya inisiatif untuk mediasi digunakan sebagai langkah politis meningkatkan dukungan, hal ini juga bertujuan untuk membuat pihak luar memberikan tekanan terhadap lawan konflik.
Ketiga, keterlibatan dalam mediasi juga dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kondisi umum konflik. Sesuai dengan penjelesan sebelumnya bahwa kesiapan untuk mediasi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan posisi, dalam menggambarkan kondisi umum maka pihak di luar konflik akan mendapat gambaran yang baik terhadap salah satu pihak yang berkonflik. Terlepas dari alasan utama aktor dalam sebuah konflik menerima mediasi pihak ketiga, mediasi juga dpat menjembatani kepentingan fungsional, komunikasi langsung antara pihak yang berkonflik seringkali mengalami distorsi, terlebih jika pihak lawan besikukuh pada pendiriannya. Kurangnya komunikasi berarti bahwa kurangnya transparansi, dengan membawa pihak ketiga akan membantu membangun komunikasi yang lebih merangkul semua kepentingan. Singkatnya kebutuhan akan pihak ketiga meruapakan kepentingan pihak yang berkonflik yang tujuannya bukan untuk mencari kesepakatan akan tetapi memecahkan kebuntuan dan mengamankan kepentingan-kepentingan mereka.
Terkait dengan membangunan perdamaian yang berkelanjutan, menurut Krisberg ada empat dimensi rekonsiliasi yang sangat esensial untuk membangun perdamaian dalam masyarakat pasca konflik yaitu kebenaran, keadilan, penghormatan dan keamanan. Dimana empat dimensi ini menjadi pilar kuat untuk menciptakan perdamaian yang positif.[3] Sedangkan terkait dengan kualitas pihak ketiga atau mediator yang diinginkan pihak-pihak yang berkonflik antara lain[4]:
-          Memiliki kompetensi,
-          Memiliki komitmen pribadi, menghargai dan berintegritas;
-          Memiliki sikap berempati;
-          Sabar;
-          Independen (tidak memihak);
Fleksibel dan memilki kemampuan praktikal


[1] Hans J. Giessmann and Oliver Wils Seeking Compromise? Mediation Through the Eyes of Conflict Parties. Dalam http://www.berghof-handbook.net/articles/section-iii-third-party-tools-and-capacity-building/, diakses tanggal 20 Maret 2014.
[2] Ibid
[3] Martina Fischer, “Transitional Justice and Reconciliation: Theory and Practice”, dalam, http://berghof-handbook.net/documents/publications/fischer_tj_and_rec_handbook.pdf, diakses tanggal 20 Maret 2014.
[4] Op.Cit., hal 197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar