“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Kerjasama Internasional : Sekuritisasi Terorisme Dalam Mewujudkan Keamanan Internasional


Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
           Sepertihalnya yang telah sedikit disinggung pada bagian sebelumnya, pasca tragedi 11 September 2001 yang ditandai dengan runtuhnya gedung WTC di AS oleh aksi terorisme, yang juga dikatakan sebagai tragedi yang menandai konstelasi baru politik global pasca Perang Dingin, AS dengan sangat keras maju sebagai pelopor gerakan perang melawan terorisme yang mengakomodasi kekuatan secara besar-besaran baik pada tingkat nasional maupun internasional dengan menempatkan dirinya sebagai komandonya. Upaya hukum, diplomasi, intelejen, pemeriksaan keuangan, aksi militer dan bantuan keuangan dan pangan menjadi instrumen yang diupayakan guna menuntaskan ancaman terorisme.[1] Bahkan melalui dewan keamanan PBB, AS mengharuskan ke-189 negara untuk menandatangani resolusi guna mengakhiri ancaman terorisme di dunia.
            Hasilnya, hampir 112 negara telah melaksanakan apa yang dikomandoi oleh AS. Negara-negara tersebut telah melakukan pemblokiran dan pembekuan aset diseluruh bank dari rekening AS yang terindikasi menjadi sumber pendanaan aksi terorisme, organisasi penyantun di seluruh Eropa bahkan aliran dana yang berasal dari toko-toko madu di Timur Tengah. Selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa merespon serius dengan melakukan pertemuan secara langsung antara Dewan Keamanan dan Dewan Umum untuk memberikan perhatian kepada seluruh anggota untuk meningkatkan intensifitas kerjasama dan respon pada level internasional. Beberapa aksi peningkatan intensitas sekuritisasi terhadap terorisme tersebut dapat dilihat dari beberapa program yang dijalankan organisasi-organisasi di bawah pengawasan PBB diantaranya[2] :
·            International Atomic Energy Agency (IAEA) yang secara tegas memperluas pengawasannya terhadap fasilitas-fasilitas pengembangan nuklir yang dimiliki oleh negara-negara yang menjadi anggotanya. Bahkan IAEA bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah Nuclear Threat Initiative (NTI) untuk memberikan pengawasan terhadap kemungkinan dikuasainya energi nuklir di tangan pihak yang tidak memiliki otoritas atau ilegal.

·            International Civil Aviation Organization (ICAO), merespon dengan meningkatkan standar keamanan, termasuk memastikan kondisi kokpit pesawat sipil maupun pesawat militer. Hal ini diupayakan untuk menghindari ancaman pada keselamatan penerbangan. Peningkatan keamanan juga dijalankan melalui penerapan penggunaan biometric identification technique, yakni semacam scanning pada wajah dan sidik jari untuk mengidentifikasi identitas dari setiap penumpang secara otomatis.
·            International Maritim Organizations (IMO), melalui organisasi tersebut keamanan khususnya di wilayah laut lepas menjadi perhatian khusus. Hal ini untuk mengantisipasi pergerakan terorisme yang bisa jadi datang dari wilayah perairan.
·            Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) yang memberikan perhatian yang lebih terhadap kemungkinan ancaman senjata nuklir yang dapat digunakan untuk aksi terorisme. Organisasi ini berupaya untuk memberikan jawaban guna memberikan rasa aman melalui upaya pendeteksian dan penangkalan terhadap ancaman senjata kimia yang digunakan dalam aksi teror.
·            World Health Organization (WHO), organisasi ini bekerja keras pada masalah kesehatan masyarakat yang dapat digunakan sebagai celah bagi para teroris dalam menjalankan aksinya. Karena beberapa penyakit sepertihalnya antrax, cacar dan wabah bubonic dapat dijadikan senjata biologis bagi teroris melalui interaksi secara langsung (komunikasi, bersentuhan,dll).
Selain dari itu, PBB sebagai organisasi internasional yang berupaya mengakomodasi kepentingan negara-negara di dunia juga telah melakukan beberapa langkah lanjutan berupa beberapa penandatanganan perjanjian dalam hal penanganan terhadap ancaman terorisme. Diantaranya adalah Convention on Offence Committed on Board Aircraft (1963), Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ((1970), Convention for the Suppression Unlawful Againts Civil Aviation (1971), Convention of the Prevention and Punishment of Attack on Internationally Protected Person (1973), International Convention Againts the Taking of Hostage (1979), Convention on The Physical Protection of Nuclear Materials (1980), Protocol for the Suppression of Unlawful Act at Airport (1988), Convention for the Suppression of Unlawful Act Againts Maritim Navigation (1988), Convention on the Marking of Plastic Explosive (1991), International Convention for the Suppression of Terrorist Bommbing (1999), dan International Convention on the Suppression of Terrorist (2001-2002).[3]


[1] Ibid. Hal. 293
[2] David J. Whittaker.2002. Terrorism : Understanding Global Threat. London. Pearson Education. Hal. 187.
[3] David J. Whittaker. Op.Cit. Hal 189-191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar