Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah ,
Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
Sepertihalnya
yang telah sedikit disinggung pada bagian sebelumnya, pasca tragedi 11
September 2001 yang ditandai dengan runtuhnya gedung WTC di AS oleh aksi
terorisme, yang juga dikatakan sebagai tragedi yang menandai konstelasi baru
politik global pasca Perang Dingin, AS dengan sangat keras maju sebagai pelopor
gerakan perang melawan terorisme yang mengakomodasi kekuatan secara
besar-besaran baik pada tingkat nasional maupun internasional dengan
menempatkan dirinya sebagai komandonya. Upaya hukum, diplomasi, intelejen,
pemeriksaan keuangan, aksi militer dan bantuan keuangan dan pangan menjadi
instrumen yang diupayakan guna menuntaskan ancaman terorisme.[1]
Bahkan melalui dewan keamanan PBB, AS mengharuskan ke-189 negara untuk
menandatangani resolusi guna mengakhiri ancaman terorisme di dunia.
Hasilnya, hampir 112
negara telah melaksanakan apa yang dikomandoi oleh AS. Negara-negara tersebut
telah melakukan pemblokiran dan pembekuan aset diseluruh bank dari rekening AS
yang terindikasi menjadi sumber pendanaan aksi terorisme, organisasi penyantun
di seluruh Eropa bahkan aliran dana yang berasal dari toko-toko madu di Timur
Tengah. Selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa merespon serius dengan
melakukan pertemuan secara langsung antara Dewan Keamanan dan Dewan Umum untuk
memberikan perhatian kepada seluruh anggota untuk meningkatkan intensifitas
kerjasama dan respon pada level internasional. Beberapa aksi peningkatan
intensitas sekuritisasi terhadap terorisme tersebut dapat dilihat dari beberapa
program yang dijalankan organisasi-organisasi di bawah pengawasan PBB
diantaranya[2]
:
·
International
Atomic Energy Agency (IAEA) yang secara
tegas memperluas pengawasannya terhadap fasilitas-fasilitas pengembangan nuklir
yang dimiliki oleh negara-negara yang menjadi anggotanya. Bahkan IAEA bekerja
sama dengan organisasi non-pemerintah Nuclear
Threat Initiative (NTI) untuk memberikan pengawasan terhadap kemungkinan
dikuasainya energi nuklir di tangan pihak yang tidak memiliki otoritas atau
ilegal.
·
International
Civil Aviation Organization (ICAO), merespon
dengan meningkatkan standar keamanan, termasuk memastikan kondisi kokpit
pesawat sipil maupun pesawat militer. Hal ini diupayakan untuk menghindari
ancaman pada keselamatan penerbangan. Peningkatan keamanan juga dijalankan
melalui penerapan penggunaan biometric
identification technique, yakni semacam scanning pada wajah dan sidik jari
untuk mengidentifikasi identitas dari setiap penumpang secara otomatis.
·
International
Maritim Organizations (IMO), melalui
organisasi tersebut keamanan khususnya di wilayah laut lepas menjadi perhatian
khusus. Hal ini untuk mengantisipasi pergerakan terorisme yang bisa jadi datang
dari wilayah perairan.
·
Organisation
for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW)
yang memberikan perhatian yang lebih terhadap kemungkinan ancaman senjata
nuklir yang dapat digunakan untuk aksi terorisme. Organisasi ini berupaya untuk
memberikan jawaban guna memberikan rasa aman melalui upaya pendeteksian dan
penangkalan terhadap ancaman senjata kimia yang digunakan dalam aksi teror.
·
World
Health Organization (WHO), organisasi ini
bekerja keras pada masalah kesehatan masyarakat yang dapat digunakan sebagai
celah bagi para teroris dalam menjalankan aksinya. Karena beberapa penyakit
sepertihalnya antrax, cacar dan wabah bubonic dapat dijadikan senjata biologis
bagi teroris melalui interaksi secara langsung (komunikasi, bersentuhan,dll).
Selain dari itu, PBB sebagai organisasi
internasional yang berupaya mengakomodasi kepentingan negara-negara di dunia
juga telah melakukan beberapa langkah lanjutan berupa beberapa penandatanganan
perjanjian dalam hal penanganan terhadap ancaman terorisme. Diantaranya adalah
Convention on Offence Committed on Board Aircraft (1963), Convention for the
Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ((1970), Convention for the
Suppression Unlawful Againts Civil Aviation (1971), Convention of the
Prevention and Punishment of Attack on Internationally Protected Person (1973),
International Convention Againts the Taking of Hostage (1979), Convention on
The Physical Protection of Nuclear Materials (1980), Protocol for the
Suppression of Unlawful Act at Airport (1988), Convention for the Suppression
of Unlawful Act Againts Maritim Navigation (1988), Convention on the Marking of
Plastic Explosive (1991), International Convention for the Suppression of
Terrorist Bommbing (1999), dan International Convention on the Suppression of
Terrorist (2001-2002).[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar