Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah ,
Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
Dalam hukum Internasional terorisme
dibicarakan dalam konteks negara mana yang mempunyai yurisdiksi terhadap
tindakan yang menggunakan teror. Hukum internasional tidak memandang terorisme
sebagai kejahatan internasional. Oleh karenanya, yurisdiksi negara ditentukan
berdasarkan asas teritorial, asas nasionalitas, dan asas perlindungan. Ketentuan
yang mengatur tentang terorisme dalam Hukum Internasional ini dituangkan dalam
perjanjian internasional.
Dalam 18 U.S. Code Chapter 113B – Terrorism, definisi terorisme
disebutkan di section 2331 bahwa
istilah terorisme internasional berarti kegiatan yang melibatkan tindakan
kekerasan atau melakukan tindakan berbahaya bagi kehidupan manusia atau yang
melanggar hukum Amerika Serikat atau negara manapun.
Tragedi 11 september yang mengguncang Amerika
Serikat nampaknya menjadi bahan ujian dan pembuktian terhadap konsepsi dan
sikap AS dan bagi dunia pada umumnya. Tentu saja, pasca terjadinya insiden
tersebut, AS dengan tegas dan giat
melakukan kampanye anti-terorisme hingga ke penjuru dunia. Sebagai bukti, kampanye
ke luar negeri tersebut bermula pada saat AS menangkap Osama bin Laden dan
pengikutnya yang dilanjutkan dengan penyerangan AS terhadap kelompok Taliban di
Afganistan.
Berkaitan dengan agenda war on terrorism,
upaya yang dilakukan oleh AS tidak hanya pada sekuritisasi pada level nasional
saja, akan tetapi agenda tersebut juga berperan besar dan mempengaruhi
kontelasi politik global[1] :
1. Dengan
sikap yang keras, tampaknya AS ingin melahirkan semacam struktur bipolar baru
yang memperumit pola-pola hubungan antar-negara;
2. Tragedi
9/11 telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam
menilai sebuah negara. AS lebih peduli mengenai isu terorisme dibandingkan
dengan isu HAM dan demokrasi;
3. Kecenderungan
para pengambil kebijakan AS untuk mengaitkan terorisme dengan Islam membuat
tatanan politik global diwarnai oleh ketegangan yang semakin kompleks antara AS
dengan negara-negara Islam maupun negara berpenduduk Islam mayoritas;
4. Dalam
mengantisipasi serangan teroris, AS mengadopsi sebuah doktrin baru yaitu preempetion yang berarti AS bisa secara
sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan sepihak
terhadap apa yang dipersepsikan AS sebagai ancaman;
5. Menguatnya
suatu keyakinan bahwa pendekatan militer merupakan yang terbaik dalam
menyelesaikan persoalan keamanan AS.
Dalam konteks keamanan, AS memperkuat keamanan
negaranya pasca 9/11 terutama dalam penerbangan. Hal itu tertuang dalam TSA
atau Transportation Security
Administration (USA Code).
Lagipula di negara tersebut juga terdapat peraturan mengenai terorisme, yaitu 18 U.S. Code Chapter 113B – Terrorism
dimana disebutkan bahwa siapapun yang menggangu keamanan umum (seperti
meledakkan bahan peledak di tempat umum) akan dipidana penjara seumur hidup
bahkan hukuman mati. Dari peraturan tersebut sudah jelas bahwa AS menindak
tegas terhadap terorisme dan akan memerangi negara yang membela teroris seperti
yang dikatakan oleh George W. Bush “either
you are with us or you are with the terrorist”[2].
Selain itu, tentu saja bukti yang paling nyata yang
dilakukan oleh AS dalam upaya war on terrorism semenjak tragedi September,
meskipun juga dikatakan bahwa AS nampaknya belum memenangi peperangan dalam
agenda ini adalah invasi ke Afghanistan dengan tujuan menghancurkan markas
besar Al-Qaeda yang digadang sebagai dalang pada tragedi September tersebut,
operasi penangkapan secara besar-besaran terhadap pemimpin-pemimpin organisasi
yang diindikasikan berada di bawah kontrol Al-Qaeda, dan tentunya melakukan
penelusuran sumber dana terorisme di seluruh penjuru dunia.[3]
[1] Baca Budi Winarno. Op.Cit,
Hal, 179.
[2] Ibid.
[3] U.S Grand Strategy For Countering Islamist Terrorism and Insurgency
In The 21st Century, dalam James J.F. Forest. 2007. Countering
Terrorism and Insurgency in The 21st Century : International
Perspective Volume 1-3. Preager Security International. London. Hal. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar