“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Mendefinisikan Terrorisme


Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
           Biasanya, aksi terorisme dijalankan di lebih dari satu negara. Dengan memanfaatkan perbedaan-perbedaan hukum, adat, kebiasaan, intervensi dalam berbagai konflik, maupun transisi politik merupakan celah-celah yang biasanya dimanfaatkan oleh gerakan ini untuk melakukan aksinya. Namun, secara definisi terorisme nampaknya masih sangat kabur. Dalam arti bahwa, fnomena ini sangat sulit untuk diidentifikasi. Penggolongan tindakan yang mengarah atau dapat dikatakan sebagai tindakan teror nampaknya masih sangat sulit untuk dimaknai. Karena tentu saja, segala sesuatu yang berhubungan dengan perlawanan, tindak kekerasan, maupun penolakan terhadap sebuah keputusan dengan jalan kekerasan belum tentu dapat dikatakan sebagai tindakan terorisme.
            Maka dari itu, perlu lebih awal untuk memberikan definisi secara jelas untuk mendudukkan posisi terorisme guna sebagai bahan pertimbangan dan analisi yang tepat dalam penyusunan kebijakan secara hukum maupun politik. Berdasarkan laporan ke-5 Congress on Prevention of Crime and Treatment of Offenders di Jenewa pada bulan September Tahun 1975, istilah ‘terrorisme’ belum memiliki definisi yang disepakati dalam hubungan internasional, sehingga menyebabkan kesulitan di dalam memberikan pertimbangan pada konteks pengambilan keputusan hukum pidana.[1]
Seperti yang diketahui bahwa dalam ilmu sosial dan ilmu politik tidak pernah mempunyai definisi dan pendekatan tunggal mengenai suatu istilah, termasuk terorisme. Menurut PBB, terorisme didefinisikan sebagai berikut[2]: “terrorismisananxiety-inspiringmethod of reapeatedviolent Action, employedby (semi-) clandestine individual, group, orstateactors, for idiosyncratic, criminalorpoliticalreasons, whereby – incontrasttoassassination – thedirecttargets of attacksare not the main targets. The immediate human victims of violencearegenerallychoosenrandomly (targets of opportunity) orselectively (representativeorsymbolictargets) from a target Population, andserve as message generator. Threat – andviolence – based Communications processesbetweenterrorist (organization), (imperiled) victims, and main targetsareusedtomanipulatethe main target (audience(s)), turningitinto a target of terror, a terget of demands, or a target of attention, sepending on whetherintimidation, coercion, or propaganda isprimarilysought.”

Pendapat lain dikemukakan oleh Badan Intelejen Pertahanan Amerika Serikat, bahwa terorisme merupakan tindak kekerasan apapun atau tindakan paksaan oleh seseorang untuk tujuan apapun selain apa yang diperbolehkan dalam hukum perang yang meliputi penculikan, pembunuhan, peledakan pesawat, pembajakan pesawat, pelemparan bom, dan sebagainya tanpa menghiraukan apapun motivasi mereka.[3] Sementara menurut Badan Intelejen Amerika CIA mendefinisikan Terorisme sebagai kegiatan yang dilakukan dengan dukungan suatu pemerintah atau organisasi asing untuk melawan nasional, institusi, atau pemerintahan asing.[4]
Terorisme merupakan fenomena yang sangat kompleks. Karakteristik utama dari terorisme yaitu penggunaan kekerasan. Hal ini dilakukan agar dapat menarik perhatian akan maksud atau alasan di balik tindakan mereka yang bertujuan untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat serta pemerintah dengan cara mencederai orang. Dalam sejarahnya, para teroris lebih sering menggunakan senjata tradisional seperti pisau, menanam bom dalam pesawat, ataupun menabrakkan truk dengan muatan penuh bom ke tempat-tempat yang menjadi target.
            Meski demikian, salah satu upaya untuk mengidentifikasi jangkauan terorisme, terutama terorisme internasional telah diidentifikasi memiliki sistem keanggotaan lintas negara, serangan teroris yang terjadi pada warga negara dan milik negara lain, dan tentu saja fleksibilitas dan mobilitas gerakan yang berskala internasional. Sifat lain dari terorisme internasional juga dapat berbentuk kerjasama internasional.[5] Kerjasama yang dimaksud adalah terdapatnya dukungan dan perlindungan terhadap eksistensi dari gerakan ini oleh kelompok maupun negara. Kita dapat melihat kasus di Afghanistan, Libya, Suriah, dan Yaman Selatan yang mengizinkan gerakan teroris untuk melakukan kegiatan pelatihan yang diikuti oleh gerakan teroris dari negara lain.[6]


[1] Wilkinson, Paul, Terrorism and Liberal State, MacMillan Press, 1977, dalam Sukawarsini Djelantik. Op.Cit. Hal. 236
[2]YayanMochammad Yani, 2010, “Kemenangan Partai Demokrat dan Masa Depan Perang Global Melawan Terorisme”, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/kemenangan_partai_demokrat_dan_masa_depan.pdf
[3]M. Fachry, 2008. In The Heart of Al Qaeda, Ar Rahmah Media, Jakarta Selatan, hal.132
[4]Ibid.
[5] Sukawarsani Djelantik. Op.Cit, Hal. 236
[6] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar