Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
Munculnya terorisme internasional dalam percaturan
politik internasional atau dalam hubungan internasional telah ada sebagai
fenomena yang eksistensinya muncul pada era 1960-an ketika aktivitas terorisme
telah banyak terjadi di berbagai belahan dunia.[1] Kelompok-kelompok
yang bermotivasi untuk menentang status quo politik dengan jalan kekerasan dan
mengorganisis upaya mereka secara transnasional, melampaui batas-batas wilayah
Negara. Akan tetapi, posisi dari terorisme internasional sekali lagi ditegaskan
sebagai non-state actor layaknya MNC,
TNC, lembaga-lembaga internasional non-pemerintah, lembaga keuangan maupun
organisasi-organisasi pada level internasional lainnya. Dikatakan sebagai aktor
bukan Negara pada level internasional, karena pada dasarnya yang terlibat di
dalamnya baik anggota, jaringan dan tujuan dari aksinya berada pada skala
internasional.
Dalam memahami munculnya fenomena
terorisme internasional, terdapat beberapa perspektif yang mencoba menjelaskan.
Salah satu diantaranya adalah perspektif realisme yang meyakini bahwasanya
terorisme muncul sebagai bagian dari fenomena yang dihasilkan oleh sistem
internasional. Ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan organisasi
internasional, sepertihalnya PBB yang dalam sudut pandang kelompok teroris
lebih cenderung sebagai representasi kepentingan Negara-negara barat telah
membuat mereka tidak percaya dan frustasi terhadap efektifitas dari
lembaga-lembaga tersebut dalam mengatasi isu-isu global.[2]
Meskipun kaum realis meyakini
bahwasanya Negara tatap menjadi aktor utama dan vital dalam politik
internasional, namun setidaknya realisme juga meyakini terdapat unit-unit dalam
system internasional yang berperan, meskipun dengan porsi yang sangat sedikit
dan selalu diposisikan di bawah Negara-bangsa. Berseberangan dengan pandangan
di atas, kaum pluralisme memberikan kritik terhadap pendahulunya yang selalu
terobsesi dengan peran Negara. Kaum pluralis percaya bahwa terorisme merupakan
bagian penting dari tatanan intenasional. Mereka diakui sebagai aktor bukan
Negara yang memiliki hak dan agenda yang mampu memberikan pengaruh di dalam
isu-isu global yang sedang berkembang.
Hal tersebut terbukti di mana pada
banyak kesempatan aksi-aksi yang telah dilakukan oleh teroris telah menjadi
bahan pertimbangan dan berpengaruh dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang
disusun oleh suatu negara. Kerjasama-kerjasama internasional yang dibangun baik
pada tingkat bilateral hungga regional pun telah ditingkatkan sebagai bentuk
perhatian terhadap fenomena ini. Bahkan invasi AS terhadap Afghanistan pasca
tragedi 9/11 dapat menjadi bukti bagaimana respon suatu negara terhadap
kehadiran fenomena terorisme.[3]
Bahkan, melalui kampanye ‘war on terror’
yang digaungkan oleh presiden G.W Bush, dunia seakan dipaksa membuka telinga
lebar-lebar untuk menjadikan terorisme sebagai musuh bersama melalui
pernyataannya “either you are with us or
you are with terrorist”. Pernyataan yang juga dikenal sebagai doktrin Bush
tersebut juga seakan menggambarkan bahwa Amerika Serikat kembali membuka skema
struktur bipolar yang baru dengan menempatan terorisme sebagai musuh.[4]
[1] Baca
dalam Sukawarsini Djelantik. 2010. Terorisme:
Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Internasional.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal. 230
[4] Rizal
Sukma. 2003. Keamanan Internasional Pasca
11 September: Terrorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Global. CSIS. Jakarta.
Dalam makalah Yang Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII.
Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lhat dalam http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/keamanan%20Intl%20Sukma.pdf. (Diakses pada
tanggal 31 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar