“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Terorisme Internasional: Aktor Bukan Negara Dalam Politik Internasional


Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
Munculnya terorisme internasional dalam percaturan politik internasional atau dalam hubungan internasional telah ada sebagai fenomena yang eksistensinya muncul pada era 1960-an ketika aktivitas terorisme telah banyak terjadi di berbagai belahan dunia.[1] Kelompok-kelompok yang bermotivasi untuk menentang status quo politik dengan jalan kekerasan dan mengorganisis upaya mereka secara transnasional, melampaui batas-batas wilayah Negara. Akan tetapi, posisi dari terorisme internasional sekali lagi ditegaskan sebagai non-state actor layaknya MNC, TNC, lembaga-lembaga internasional non-pemerintah, lembaga keuangan maupun organisasi-organisasi pada level internasional lainnya. Dikatakan sebagai aktor bukan Negara pada level internasional, karena pada dasarnya yang terlibat di dalamnya baik anggota, jaringan dan tujuan dari aksinya berada pada skala internasional.
            Dalam memahami munculnya fenomena terorisme internasional, terdapat beberapa perspektif yang mencoba menjelaskan. Salah satu diantaranya adalah perspektif realisme yang meyakini bahwasanya terorisme muncul sebagai bagian dari fenomena yang dihasilkan oleh sistem internasional. Ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan organisasi internasional, sepertihalnya PBB yang dalam sudut pandang kelompok teroris lebih cenderung sebagai representasi kepentingan Negara-negara barat telah membuat mereka tidak percaya dan frustasi terhadap efektifitas dari lembaga-lembaga tersebut dalam mengatasi isu-isu global.[2]
            Meskipun kaum realis meyakini bahwasanya Negara tatap menjadi aktor utama dan vital dalam politik internasional, namun setidaknya realisme juga meyakini terdapat unit-unit dalam system internasional yang berperan, meskipun dengan porsi yang sangat sedikit dan selalu diposisikan di bawah Negara-bangsa. Berseberangan dengan pandangan di atas, kaum pluralisme memberikan kritik terhadap pendahulunya yang selalu terobsesi dengan peran Negara. Kaum pluralis percaya bahwa terorisme merupakan bagian penting dari tatanan intenasional. Mereka diakui sebagai aktor bukan Negara yang memiliki hak dan agenda yang mampu memberikan pengaruh di dalam isu-isu global yang sedang berkembang.

            Hal tersebut terbukti di mana pada banyak kesempatan aksi-aksi yang telah dilakukan oleh teroris telah menjadi bahan pertimbangan dan berpengaruh dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang disusun oleh suatu negara. Kerjasama-kerjasama internasional yang dibangun baik pada tingkat bilateral hungga regional pun telah ditingkatkan sebagai bentuk perhatian terhadap fenomena ini. Bahkan invasi AS terhadap Afghanistan pasca tragedi 9/11 dapat menjadi bukti bagaimana respon suatu negara terhadap kehadiran fenomena terorisme.[3] Bahkan, melalui kampanye ‘war on terror’ yang digaungkan oleh presiden G.W Bush, dunia seakan dipaksa membuka telinga lebar-lebar untuk menjadikan terorisme sebagai musuh bersama melalui pernyataannya “either you are with us or you are with terrorist”. Pernyataan yang juga dikenal sebagai doktrin Bush tersebut juga seakan menggambarkan bahwa Amerika Serikat kembali membuka skema struktur bipolar yang baru dengan menempatan terorisme sebagai musuh.[4]


[1] Baca dalam Sukawarsini Djelantik. 2010. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Internasional. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal. 230
[2] Ibid. Hal 232
[3] Tabrani Sabirin. 2001. Menggugat Terorisme. Jakarta. Karsa Rezeki. Hal. 6
[4] Rizal Sukma. 2003. Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terrorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Global. CSIS. Jakarta. Dalam makalah Yang Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lhat dalam http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/keamanan%20Intl%20Sukma.pdf. (Diakses pada tanggal 31 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar