Oleh: Haryo
Prasodjo, Khoirul Amin, M. Najeri Al
Syahrin, Rani
Latar
belakang Konflik
Sejalan
dengan program penataan kawasan Malioboro dan revitalisasi Stasiun Tugu itu, PT
KAI akan membersihkan kawasan Bong Suwung pada 2014. PT KAI sebenarnya sudah
mencoba melakukan penataan di lokasi itu selama beberapa tahun terakhir. Tapi
upaya itu selalu gagal karena selalu menuai perlawanan warga setempat yang
sudah tinggal di sana hingga puluhan tahun. Padahal lokasi yang berada di
pinggir rel KA itu selama ini dipadati oleh lapak-lapak warga bahkan ditengarai
sering disalahgunakan sebagai area prostitusi.
Berkembangnya
sarang prostitusi di wilayah lahan kosong Stasiun Tugu atau yang lebih dikenal
dengan Bong Suwung agaknya sulit dipecahkan. Kawasan Bong Suwung berada tidak
jauh dari kawasan lokalisasi Pasar Kembang atau Sarkem. Puluhan lapak warung
remang-remang di sepanjang rel KA sebelah barat Stasiun Tugu itu telah ada
sejak puluhan tahun. Hampir setiap malam hingga pagi hari selalu penuh
pengunjung.
Jalur komunikasi pun telah sering dijalani,
tapi tetap saja kebuntuan yang terlahir. Telah beberapa kali PT. KAI Daop VI Jogjakarta
mendesak Pemkot Jogja untuk menindak tegas pelaku prostitusi di kawasan Bong
Suwung. BUMN itu beralasan lahan di kiri dan kanan rel kereta api sebelum
memasuki stasiun Tugu merupakan hak milik PT. KAI. Atas dasar itu, perusahaan
ini merasa memiliki tanggung jawab untuk mengurangi risiko kecelakaan KA.
Selain itu penertiban PSK juga sebagai upaya penegakan citra Jogja yang bersih
dan berbudaya.
Menyiakapi
hal tersebut Lurah Prenggokusuman Lucia Daning Krisnawati mengaku pihaknya
selama ini tak tinggal diam. Berbagai cara untuk menjalin komunikasi dengan
penghuni Bong Suwung telah dilakukan. Bahkan pejabat sebelum dirinya juga telah
mencoba berkomunikasi. Meskipun demikian, bentuk komunikasi yang dilakukan
mengedepankan sikap preventif dan humanis ternyata belum membuahkan hasil. Pada
dasarnya kasus relokasi prostitusi Bung Suwung merupakan konflik yang sudah
lama. Secara aturan pemerintah sebenarnya memiliki power tapi karena ini
menyangkut banyak kepentingan dan sensitif, komunikasi yang humanis memang
harus dikedepankan.
Bahkan salah
seorang warga Prenggokusuman, menjelaskan bahwa, persoalan Bong Suwung sudah
ada sejak puluhan tahun silam. Sejumlah upaya penertiban kawasan tersebut sudah
beberapa kali dilakukan. Mulai dari penertiban yang diikuti dengan pemberian
uang pesangon hingga penutupan kawasan dengan meggunakan pagar tinggi. Namun
menurutnya sejumlah upaya tersebut tidak berhasil bahkan sampai saat ini.
Sebagian
besar warga yang beraktivitas di bangunan nonpermanen di pinggir rel secara administratif
bukan warganya asli sekitar wilayah tersebut. 97 kepala keluarga yang ada
diwilayah tersebut, hanya 10 warga yang memiliki mata pencaharian dengan cara
berjualan di sekitar Bong Suwung. Mereka sebagai tukang parkir dan jualan
makanan.
Kebanyakan
mereka yang bekerja sebagai PSK adalah pendatang dari berbagai wilayah di Pulau
Jawa. Keinginan PT. KAI sebenarnya sudah sangat kompromis. Namun, di sisi lain
warga Bong Suwung juga perlu diberi pengertian. Saat digusur, warga
diberi uang sangu, meskipun demikian para warga yang tinggal dibangunan semi
permanen tersebut enggan untuk meninggalkan tempat tersebut dengan alasan
mencari nafkah dan mata pencaharian di kawasan tersebut.
Ratusan
warga penghuni Bong Suwung, Jlagran, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta juga
pernah mengadukan masalah pengusuran dan relokasi tersebut ke DPRD DIY. Hal ini terjadi setelah para
warga yang tinggal dikawsan tersebut diminta oleh PT KAI untuk mengosongkan
lapak-lapak warung karena hendak dijadikan taman.
Upaya PT KAI Dalam Merelokasi
Kawasan Bung Suwung
Pada
tanggal 9 April 2013 lalu, PT KAI juga telah memberikan surat dengan nomor
042/YK/OP/IV/2013 kepada 30 warga pemilih lapak penghuni Bong Suwung. Yang Isinya
mengenai, perihal PT KAI yang meminta
pemilik segera membongkarnya. Yang Intinya adalah, PT KAI akan menggusur
kawasan tersebut dan warga harus segera meninggalkan kawasan Bong Suwung.
Rencana pengosongan atau penggusuran ini
sudah yang kedua kali. Pertama kali dilakukan PT KAI pada tahun 2010. Sedangkan
yang kedua pada bulan April 2013.
Para
warga penghuni Bong Suwung kesal karena tidak pernah ada sosialisasi
sebelumnya. Warga penghuni Bong Suwungpun meminta perlindungan kepada DPRD DIY
agar pembongkaran tidak dilakukan. Sebab kawasan Bong Suwung yang telah ada
sejak puluhan tahun itu telah memberikan penghidupan kepada ratusan warga.
Karena ditempat tersebut sebagian warga Bong Suwung mengantungkan hidupnya dari
membuka warung makanan, menjual dan mengumpulkan rongsokan, hingga adanya
tempat prostitusi. Para warga menuntut agar PT KAI memperlakukan mereka
layaknya manusia. Meskipun demikian Wakil Ketua DPRD DIY, H Sukedi. Di hadapan
warga, Sukedi berjanji akan memfasilitasi dan menerima pengaduan warga Bong
Suwung.
Khusus untuk
lahan-lahan yang bersengketa dengan warga, misalnya kawasan Bong Suwung, PT KAI
terus mengupayakan kerjasama dengan Pemkot Yogyakarta untuk mencari titik
tengahnya. Selain itu PT KAI juga akan mengikuti desain Bappenas mengenai tata
ruang dan cara sterilisasi kawasan tersebut. Baik dari penataan warung
dagangan, parkiran, hingga kawasan kumuh di areal tersebut. Dan yang terpenting
adalah, PT KAI tidak meninggalkan aspek sosial dalam melakukan sterilisasi
tersebut.
Wali
Kota Yogyakarta sendiri Haryadi Suyuti telah mendukung upaya pembersihan
kawasan Bong Suwung itu. Sebab, lapak-lapak yang berada di sisi timur dan barat
rel KA itu seringkali dipandang sebagai kawasan yang negatif.
Penolakan
Warga Bong Suwung
Meskipun
berbagai cara dan upaya telah dicobo oleh PT KAI untuk merelokasi dan mensterilkan
kawasan Bung Suwung. Warga penghuni Bong
Suwung atau pasar malam di 100 meter
barat Stasiun Tugu Jogja tetap menolak penggusuran dan penutupan oleh PT Kereta
Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional (Daops) VI. Bahkan, demi mendapatkan
bantuan hukum, penghuni Bong Suwung mengadukan rencana tersebut kepada Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jogjakarta. Mereka beralasan ajang prostitusi ini, menjadi
satu-satunya mencari nafkah. Mereka juga mengklaim memiliki peran akan
keselamatan dan keamanan perjalanan kereta api.
Warga
beralasan bahwa sudah bertahun-tahun menempati tempat tersebut dengan membuka
lahan yang semula penuh dengan rumput ilalang kini menjadi lebih lapang dan
terlihat bersih. Warga mendesak Daops VI untuk menghargai jasa-jasa mereka
selama ini. Para warga juga meminta Daops VI untuk membuka pintu akses masuk ke
wilayah Bong Suwung dari selatan (Jlagran) dan utara (Badran).Tiga pintu tikus
dari selatan dan utara sangat meresahkan penghuni tempat transaksi maksiat.
Penutupan pintu tersebut, membuat mereka maupun pengunjung kesulitan keluar
masuk.Para penghuni kawasan tersebut harus membuat tangga untuk akses keluar
masuk di pintu yang tingginya dua meter.
Selain
itu warga juga merasa bahwa pasar malam yang diselenggarakan di sekitar kawasan
tersebut tidak pernah menganggu perjalanan kereta api. Warga justru merasa
dengan keberadaan mereka justru membantu memperlancar perjalanan kereta api,
seperti jika terdapat batu di antara rel kereta maka warga memindahkannya.
Selain itu, jarak warung yang berada sekitar 2,5 meter dari rel kereta api
dianggap warga tidak menganggu perjalanan kereta api. Para warga juga berasumsi
dengan keberadaan mereka di kawasan tersebut telah banyak membantu mengurangi
tingkat kriminalitas seperti pemerkosaandan pembunuhan.
Upaya Mediasi Yang Dilakukan PT KAI
Mendesak
pemkot Yogyakarta untuk membantu menetralisir kawasan Bung Suwung dari
keberadaan warga, karena sesuai dengan UU no 23 tahun 2007 tentang
perkeretapian, daerah tersebut termasuk area emplacement yang harus steril sejauh
dari apa pun sejauh 10 meter. Selain itu, pihak PT KAI terus berusaha untuk
mensosialisasikan tentang pembongkaran bangunan liar terkait sterilisasi
kawasan tersebut.
Upaya Yang Dilakukan Warga Bung
Suwung
Mendatangai
DPRD Yogyakarta untuk meminta dukungan atas penolakan pembongkaran yang
dilakukan oleh PT KAI. Selain itu para warga juga dengan didampingi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)pernah
mendatangi Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) dalam proses mediasi dengna PT KAI.
Bentuk Konflik Yang Terjadi
Dalam
kasus ini kami melihat bahwa terdapat konflik antara kelas dominan yaitu PT KAI
secara kelembagaan perusahaan negara dengan warga Bung Suwung. Konflik ini terjadi
akibat PT KAI sebagai kelas dominan, berusaha untuk mendapatkan haknya
sebagaimana yan gterdapat peraturan dan undang-undang perkeretaapian terkait
kawasan steril sepanjang perlintasan kereta api. Disisi lain, para warga Bung
Suwung yang menempati kawasan tersebut enggan untuk direlokasi karena beralasan
telah lama menghuni tempat tersebut dan berjasa dalam kelancaran perjalanan
kereta api seperti menyingkirkan benda-benda yang dianggap dapat membahayakan
perjalanan kereta api. Konflik ini telah mencapai tahap konflik terbuka, dimana
telah adanya upaya-upaya negosiasi dan juga rekonsoliasi dari kedua belah
pihak, baik dari PT KAI maupun dari warga Bung Suwung. Namun warga Bung Suwung
yang merasa tuntutannya belum terpenuhi terus melakukan aksi perlawanan. Dalam hal ini, kelompok penguasa atau kelompok dominan
berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan dari pihak yang didominasi, sedangkan
kelompok yang didominasi berusaha mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar