Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin
Sebagai
fenomena yang menjadi salah satu titik tolak paling mempengaruhi dalam
percaturan politik internasional semenjak kemunculannya di era 1980-an dan kian
populer pada 1990-an, globalisasi telah menjadi istilah yang selalu hadir dan
dikaitkan dengan isu maupun fenomena yang terjadi baik dalam skala interaksi
antar negara maupun bagian-bagian kecil dari entitas negara itu sendiri. Begitupula
semanjak istilah globalisasi didengungkan, hambatan-hambatan sepertihalnya
batas wilayah sebagai bentuk fisik kedaulatan suatu negara menjadi semakin tergerus
dan bahkan dianggap tidak lagi penting oleh para pendukungnya yang mempercayai
bahwa globalisasi merupakan suatu keniscayaan, membawa kebebasan bagi setiap
individu, memperlemah pajak dan memperkaya segala yang disentuhnya.[1]
Dewasa
ini, arus deras globalisasi tentu saja tidak lagi dapat dihindari seiring
dengan kemajuan teknologi dan arus informasi yang begitu cepat melintasi batas
ruang dan waktu sebagai bentuk konsekuansi daripada trend globalisasi itu
sendiri. Sejalan dengan hal itu, kesadaran terhadap kebutuhan baik oleh
individu maupun negara akan melahirkan sebuah pola yang oleh kaum liberalis
disebut dengan istilah interdependence (saling ketergantungan satu sama
lain). Keadaan yang demikian pada akhirnya akan menuntut aktor-aktor baik individu,
kelompok maupun pada level negara untuk melakukan upaya pemenuhan. Setidaknya
ada beberapa alasan yang mendasari asumsi di atas. Pertama, pasca
berakhirnya Perang Dingin negara-negara di dunia tidak lagi memandang Eropa
sebagai kiblat di dalam menciptakan model dunia yang ideal.[2]
Kedua, pada akhir tahun 1980-an muncul kesadaran di antara negara-negara
bahwa marjinalisasi ekonomi nyatanya lebih mengancam daripada marjinalisasi
keamanan pada saat dunia terbagi dalam sistem bipolar.[3]
Alasan tersebut muncul berdasarkan pandangan bahwa aspek ekonomi menjadi bagian
yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kebutuhan mendasar manusia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila negara-negara secara maksimal
memanfaatkan trend globalisasi untuk membangun kerjasama regional,
paling tidak sebagai pemicu kebangkitan ekonomi domestiknya. Selanjutnya, trend
pasar bebas dan liberalisasi perdagangan pasca Perang Dingin telah menciptakan
blok-blok perdagangan dan menciptakan keseimbangan ekonomi dunia yang baru
dengan lebih berorientasi kepada hasil. Tentu saja, hal tersebut memunculkan
satu ketakutan bagi negara-negara kepada ancaman isolasi blok perdagangan dan
kekuatan ekonomi baru tersebut. Sehingga, liberalisasi perdagangan yang memunculkan
arus persaingan yang deras akan mengarahkan pada satu kerjasama regional yang
lebih kuat.[4]
Salah
satu bagian penting lainnya dalam kajian di tengah-tengah akademisi hubungan
internasional, terutama setelah runtuhnya Blok Uni Soviet adalah munculnya
fenomena di mana negara-negara di dunia berupaya menentukan masa depan dengan
caranya masing-masing. Tentu saja, salah satu diantaranya adalah munculnya
fenomena kerjasama regional sebagai bagian dari upaya negara-negara di dunia di
dalam menentukan masa depannya. Sejalan dengan semakin hangatnya isu
globalisasi pada era tersebut, maka dari itu, globalisasi pun disebut sebagai
salah satu faktor penentu semakin rapatnya intensitas kerjasama regional yang
muncul.
Meskipun
pada dasarnya, istilah regionalisme sendiri telah muncul jauh sebelum tahun
1960-an, di mana istilah globalisasi juga belum menjadi isu yang banyak
dibicarakan dan dikaitkan dengan fenomena global. Meski demikian, menurut
Fawcett ada sedikitnya dua faktor yang dapat menjelaskan keinginan
negara-negara untuk melakukan kerjasama regional. Pertama, faktor daya
ikat (kohesi) yang meliputi kesadaran regional, identitas kebersamaan, dan rasa
saling memiliki yang diakibatkan oleh kedekatan secara geografis.[5]
Selain daripada itu, isu-isu yang masih bersifat high politics dan dimensi
kerjasama yang masih didominasi oleh isu-isu keamanan dan upaya meredam perang
juga menjadi faktor ketidakmampuan regionalism klasik dalam menciptakan pola
kerja sama regional yang kompetitif dan berdimensi luas.
Kita bisa merefleksikan kedua alasan
di atas dengan munculnya fenomena kerjasama atau integrasi regional dalam skala
continental jauh sebelum isu globalisasi menjadi perdebatan yang hangat.[6]
Sebut saja Uni Eropa yang dikatakan sebagai bentuk paling ideal dari satu
bentuk kerjasama maupun integrasi diantara negara-negara dalam satu kawasan.
identitas yang telah dibangun melalui kekuatan ekonomi yang terintegrasi dengan
baik, telah menjadikannya kiblat bagi bentuk kerjasama-kerjasama lain yang
sedang berkembang.
Di kawasan lain sepertihalnya
Amerika Utara, kita dapat melihat munculnya North America Free Trade Agreement
(NAFTA) yang beranggotakan Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada, Central
America Free Trade Agreement (CAFTA) yang beranggotakan AS, El-Savador,
Nikaragua, Honduras, Guatemala dan Costa Rica. Di kawasan Amerika Latin yang
terintegrasi dengan kepulauan Karibia kita dapat melihat Carribean and Common
Market (CARICOM), Liga Arab di kawasan
Arfrika dan Timur Tengah, maupun Asian Pasific Economic Cooperation (APEC).
Sedangankan di Asia Tenggara tidak lain adalah ASEAN.[7]
Meskipun semenjak kemunculannya pada tahun 1960-an hingga hari ini masih banyak
kendala dan permasalahan-permasalahan yang belum dapat secara maksimal diatasi,
bahkan masalah-masalah internal sepertihalnya konflik antar anggota masih cukup
sering terjadi, namun hadirnya institusi tersebut membuktikan adanya dorongan
untuk melakukan kerjasaama kawasan sebagai satu wadah dan mekanisme yang dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara bersama dan saling mengisi.
Fenomena yang demikian menunjukkan
bahwa globalisasi telah mengkondisikan negara-negara untuk mnyesuaikan
perilakunya pada tatanan global yang baru. Selain daripada yang telah
dijelaskan di awal, bagaimana globalisasi begitu mempengaruhi politik global pada
tatanan yang baru. Setidaknya ada beberapa alasan lain yang dapat menjelaskan. Pertama,
transformasi ekonomi yang sangat cepat menyebabkan munculnya politik dunia
baru.[8]
negara tidak lagi sebagai unit yang tertutup dan tidak dapat mengontrol lagii
secara penuh aktivitas ekonominya. Ekonomi dunia menjadi semakin interdependen,
dengan skala perdagangan dan keuangan yang semakin tidak terbatas.
Kedua, munculnya pemerintahan
global, dengan pergerakan sosial dan politik internasional dari state ke
sub-state, transnasional dan internasional. Dengan kata lain, dunia
menjadi semakin homogen, batas-batas wilayah semakin tidak diperhitungkan dan
manusia semakin berfikir ke arah skala yang global.[9]
Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatannya dalam mendorong
terciptanya integrasi diantara negara-negara di dunia melalui beberapa
instrumen yang disajikan oleh globalisasi itu sendiri. Keadaan yang demikian,
sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Martin Albrow bahwasanya
globalisasi telah mendorong dunia ke dalam satu komunitas dunia, komunitas
global.[10]
[1] Martin Wolf. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal. 15
[2] Nurani S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman. 2010. Regionalisme Dalam
Hubungan Internasional. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 21
[6] Budi Winarno. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Centre For
AcademicPublishing Service. Yogyakarta. Hal 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar