“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Globalisasi Sebagai Penggerak Kerjasama Regional Dalam Politik Global


Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin 
Sebagai fenomena yang menjadi salah satu titik tolak paling mempengaruhi dalam percaturan politik internasional semenjak kemunculannya di era 1980-an dan kian populer pada 1990-an, globalisasi telah menjadi istilah yang selalu hadir dan dikaitkan dengan isu maupun fenomena yang terjadi baik dalam skala interaksi antar negara maupun bagian-bagian kecil dari entitas negara itu sendiri. Begitupula semanjak istilah globalisasi didengungkan, hambatan-hambatan sepertihalnya batas wilayah sebagai bentuk fisik kedaulatan suatu negara menjadi semakin tergerus dan bahkan dianggap tidak lagi penting oleh para pendukungnya yang mempercayai bahwa globalisasi merupakan suatu keniscayaan, membawa kebebasan bagi setiap individu, memperlemah pajak dan memperkaya segala yang disentuhnya.[1]
Dewasa ini, arus deras globalisasi tentu saja tidak lagi dapat dihindari seiring dengan kemajuan teknologi dan arus informasi yang begitu cepat melintasi batas ruang dan waktu sebagai bentuk konsekuansi daripada trend globalisasi itu sendiri. Sejalan dengan hal itu, kesadaran terhadap kebutuhan baik oleh individu maupun negara akan melahirkan sebuah pola yang oleh kaum liberalis disebut dengan istilah interdependence (saling ketergantungan satu sama lain). Keadaan yang demikian pada akhirnya akan menuntut aktor-aktor baik individu, kelompok maupun pada level negara untuk melakukan upaya pemenuhan. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari asumsi di atas. Pertama, pasca berakhirnya Perang Dingin negara-negara di dunia tidak lagi memandang Eropa sebagai kiblat di dalam menciptakan model dunia yang ideal.[2] Kedua, pada akhir tahun 1980-an muncul kesadaran di antara negara-negara bahwa marjinalisasi ekonomi nyatanya lebih mengancam daripada marjinalisasi keamanan pada saat dunia terbagi dalam sistem bipolar.[3] Alasan tersebut muncul berdasarkan pandangan bahwa aspek ekonomi menjadi bagian yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kebutuhan mendasar manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila negara-negara secara maksimal memanfaatkan trend globalisasi untuk membangun kerjasama regional, paling tidak sebagai pemicu kebangkitan ekonomi domestiknya. Selanjutnya, trend pasar bebas dan liberalisasi perdagangan pasca Perang Dingin telah menciptakan blok-blok perdagangan dan menciptakan keseimbangan ekonomi dunia yang baru dengan lebih berorientasi kepada hasil. Tentu saja, hal tersebut memunculkan satu ketakutan bagi negara-negara kepada ancaman isolasi blok perdagangan dan kekuatan ekonomi baru tersebut. Sehingga, liberalisasi perdagangan yang memunculkan arus persaingan yang deras akan mengarahkan pada satu kerjasama regional yang lebih kuat.[4]

Salah satu bagian penting lainnya dalam kajian di tengah-tengah akademisi hubungan internasional, terutama setelah runtuhnya Blok Uni Soviet adalah munculnya fenomena di mana negara-negara di dunia berupaya menentukan masa depan dengan caranya masing-masing. Tentu saja, salah satu diantaranya adalah munculnya fenomena kerjasama regional sebagai bagian dari upaya negara-negara di dunia di dalam menentukan masa depannya. Sejalan dengan semakin hangatnya isu globalisasi pada era tersebut, maka dari itu, globalisasi pun disebut sebagai salah satu faktor penentu semakin rapatnya intensitas kerjasama regional yang muncul. 
            Meskipun pada dasarnya, istilah regionalisme sendiri telah muncul jauh sebelum tahun 1960-an, di mana istilah globalisasi juga belum menjadi isu yang banyak dibicarakan dan dikaitkan dengan fenomena global. Meski demikian, menurut Fawcett ada sedikitnya dua faktor yang dapat menjelaskan keinginan negara-negara untuk melakukan kerjasama regional. Pertama, faktor daya ikat (kohesi) yang meliputi kesadaran regional, identitas kebersamaan, dan rasa saling memiliki yang diakibatkan oleh kedekatan secara geografis.[5] Selain daripada itu, isu-isu yang masih bersifat high politics dan dimensi kerjasama yang masih didominasi oleh isu-isu keamanan dan upaya meredam perang juga menjadi faktor ketidakmampuan regionalism klasik dalam menciptakan pola kerja sama regional yang kompetitif dan berdimensi luas. 
            Kita bisa merefleksikan kedua alasan di atas dengan munculnya fenomena kerjasama atau integrasi regional dalam skala continental jauh sebelum isu globalisasi menjadi perdebatan yang hangat.[6] Sebut saja Uni Eropa yang dikatakan sebagai bentuk paling ideal dari satu bentuk kerjasama maupun integrasi diantara negara-negara dalam satu kawasan. identitas yang telah dibangun melalui kekuatan ekonomi yang terintegrasi dengan baik, telah menjadikannya kiblat bagi bentuk kerjasama-kerjasama lain yang sedang berkembang.
            Di kawasan lain sepertihalnya Amerika Utara, kita dapat melihat munculnya North America Free Trade Agreement (NAFTA) yang beranggotakan Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada, Central America Free Trade Agreement (CAFTA) yang beranggotakan AS, El-Savador, Nikaragua, Honduras, Guatemala dan Costa Rica. Di kawasan Amerika Latin yang terintegrasi dengan kepulauan Karibia kita dapat melihat Carribean and Common Market (CARICOM),  Liga Arab di kawasan Arfrika dan Timur Tengah, maupun Asian Pasific Economic Cooperation (APEC). Sedangankan di Asia Tenggara tidak lain adalah ASEAN.[7] Meskipun semenjak kemunculannya pada tahun 1960-an hingga hari ini masih banyak kendala dan permasalahan-permasalahan yang belum dapat secara maksimal diatasi, bahkan masalah-masalah internal sepertihalnya konflik antar anggota masih cukup sering terjadi, namun hadirnya institusi tersebut membuktikan adanya dorongan untuk melakukan kerjasaama kawasan sebagai satu wadah dan mekanisme yang dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara bersama dan saling mengisi.
            Fenomena yang demikian menunjukkan bahwa globalisasi telah mengkondisikan negara-negara untuk mnyesuaikan perilakunya pada tatanan global yang baru. Selain daripada yang telah dijelaskan di awal, bagaimana globalisasi begitu mempengaruhi politik global pada tatanan yang baru. Setidaknya ada beberapa alasan lain yang dapat menjelaskan. Pertama, transformasi ekonomi yang sangat cepat menyebabkan munculnya politik dunia baru.[8] negara tidak lagi sebagai unit yang tertutup dan tidak dapat mengontrol lagii secara penuh aktivitas ekonominya. Ekonomi dunia menjadi semakin interdependen, dengan skala perdagangan dan keuangan yang semakin tidak terbatas. 
            Kedua, munculnya pemerintahan global, dengan pergerakan sosial dan politik internasional dari state ke sub-state, transnasional dan internasional. Dengan kata lain, dunia menjadi semakin homogen, batas-batas wilayah semakin tidak diperhitungkan dan manusia semakin berfikir ke arah skala yang global.[9] Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatannya dalam mendorong terciptanya integrasi diantara negara-negara di dunia melalui beberapa instrumen yang disajikan oleh globalisasi itu sendiri. Keadaan yang demikian, sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Martin Albrow bahwasanya globalisasi telah mendorong dunia ke dalam satu komunitas dunia, komunitas global.[10]


[1] Martin Wolf. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal. 15
[2] Nurani S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman. 2010. Regionalisme Dalam Hubungan Internasional. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 21
[3] Ibid., Hal 23
[4] Ibid., Hal. 26-27
[5] Fawceet dan Hurrel, 1995 dalam Nurani Suparman. Ibid., Hal. 16
[6] Budi Winarno. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Centre For AcademicPublishing Service. Yogyakarta. Hal 99
[7] Ibid., Hal. 100-101
[8] Yanuar Ikbar. 2006. Ekonomi Politik Global: Konsep dan Teori. Refika Aditama. Bandung. Hal. 202
[9] Ibid.,
[10] Ibid., Hal. 202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar