“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Sejarah Regionalisme

Oleh: M Najeri Al Syahrin, Lutfi Maulana Hakim, Anita Shalehah , Arifianto Rifki, Remy F Wibaw, Rashad Mardanov, Khoiorul Amin

Dilihat dari sejarahnya, Regionalisme di bagi ke dalam Regionalisme Klasik dan Regionalisme Baru. Regionalisme Klasik dianggap tumbuh sebelum tahun 1960-an. Dimana, interaksi individu/negara tetap berlangsung sebagai wujud kerjasama. Setiap negara membangun kerjasama bilateral dengan negara-negara lain atas nama perseorangan. Menurut Fawcett[1], pada masa setelah Perang Dunia II (1930-an – 1940-an) regionalisme belum terlihat muncul. Hal ini terkait dengan dua faktor: pertama, Perang Dunia II mengakibatkan kerusakan yang sangat parah yang hampir dialami oleh semua negara di dunia bukan hanya di Eropa; serta kedua, terjadinya transformasi dalam tatanan masyarakat internasional. Tatanan masyarakat internasional sebelum Perang Dunia II bersifat “Eurosentris” dimana Eropa sebagai pusat segalanya, menguasai negara-negara lain dengan praktik imperialisme dan kolonialisme. Pasca Perang Dunia II, Eropa mengalami kehancuran yang parah yang selanjutnya memerlukan bantuan Amerika Serikat. Kemunculan Regionalisme Klasik dikaitkan dengan dua kondisi, yaitu:
·           Pertama, bahwa regionalisme muncul dalam versi persiapan Piagam PBB yang dibuat di DumbartonOaks pada 1944 yang menetapkan bahwa: keberadaan badan-badan regional yang berkaitan dengan masalah perdamaian dan keamanan tidak seharusnya dihalang-halangi”.
·           Kedua, keberadaan agen-agen regional hanya merupakan sub-ordinatdari kekuasaan dan pengaruh dua negara adikuasa, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya NATO, Pakta Warsawa, Pakta Rio, SEATO, CENT dan ANZUS
Sementara itu, Regionalisme Baru adalah regionalisme yang berkembang pada awal 1990-an, pasca Perang Dingin, yang bersifat lowpoliticsdimana aspek-aspek seperti ekonomi, budaya, lebih mendominasi kerjasama negara-negara. Fawcettmengemukakan bahwa ada empat faktor yang mendorong tumbuhnya regionalisme baru, yaitu[2]:
·           Berakhirnya Perang Dingin;
·           Berbagai perubahan yang terjadi di dalam aspek perekonomian dunia;
·           Berakhirnya isme atau paham tentang istilah “Dunia Ketiga”;
·           Demokratisasi


Faktor-faktor penyebab regionalisme:
1. Domestic explanation
· Ada interest group (kelompok kepentingan).
· Ada pimpinan politik atau pemerintah.
2. International explanation
· Ada ekspansi dari aktivitas ekonomi.
· Memberikan benefit/ keuntungan (dalam hal ini ada perhitungan benefit), pemecahan masalah dilakukan secara bersama-sama, ada pertimbangan tentang masa depan (apa yang didapat apabila sudah bergabung dan apa mungkin ada kemungkinan kerugian apabila tidak bergabung).
· Terkait dengan kekuasaan (bagaimana suatu negara kecil akan merasa aman apabila berdekatan dengan negara besar yang sama-sama tergabung dalam satu region)

3 elemen penting regionalism menurut Stubbs & Underhill, yaitu[3] :
1.      Pengalaman historis yang sama dan perasaan akan persoalan-persoalan bersama di antara kelompok-kelompok negara atau masyarakat dalam suatu batas geografi
2.      Interaksi yang lebih intense diantara anggota-anggota dibandingkan dengan interaksi dengan dunia luar
3.      Munculnya suatu organisasi yang memberikan kawasan tersebut kerangka atau institusi dan hukum dan menyediakan “rules the game”.
4.       
Menurut Coulumbis dan Wolfe dalam bukunya Introduction to International Relation, Power and Justice terdapat empat cara atau kriteria yang bisa dipergunakan untuk mendefinisikan dan menunjukan sebuah kawasan atau region yang sebenarnya sangat ditentukan oleh tujuan analisisnya[4], yakni:
1.      Kriteria geografis : mengelompokkan negara dalam berdasarkan lokasinya dalam benua, sub-benua, kepulauan dan sebagainya seperti Eropa dan Asia.
2.      Kriteria politik/militer : mengelompokkan negara-negara dengan berdasarkan pada keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, atau berdasarakan pada orientasi ideologis dan orientasi politik, misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO dan Non-Blok.
3.      Kriteria ekonomi: mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada kriteria terpilih dalam perkembangan pembangunan ekonomi, seperti GNP dan output industri, misalnya negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang atau terbelakang.  
4.      Kriteria transaksional: mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada jumlah frekuensi mobilitas penduduk, barang dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan berita. Contoh ini dapat pada wilayah Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa.
Bruce Russet juga mengemukakan kriteria suatu region atau kawasan[5], yaitu: 
1.      Adanya kemiripan sosiokultural
2.      Sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, yang biasanya tercermin pada voting dalam siding-sidang PBB
3.      Keanggotaan yang sama dalam organisasi-organisasi supranasioanal atau antarpemerintah
4.      Interdependensi ekonomi, yang diukur dengan kriteria perdagangan sebagai proporsi pendapatan nasional
5.      Kedekatan geografik, yang diukur dengan jarak terbang antara ibukota-ibukota negara-negara tersebut 


[1]Nuraeini S., (ed.), 2010, REGIONALISME: Dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal 17.
[2]Ibid, hal 20
[3] Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, CAPS, Yogyakarta, hal.102
[4] Nuraeni (ed), 2010, Regionalisme dalam Studi ubungan Internasional, Pustaka Pelajar,hal.1 
[5] Ibid, hal.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar