· Oleh: Ahmad
Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani
Akbar, Zean Pratama
Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
Norma-norma dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan
diterima oleh negara-negara didunia melalui PBB. DUHAM merupakan kerangka
tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan pembentuk dua
instrumen HAM, yaitu Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik dan
kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya.
·
Kovenan
internasional tentang hak sipil dan politik (International Kovenan on Civil and Political Rights), berlaku
internasional maret 1979, mengatur tentang, hak hidup, hak tidak disiksa secara
kejam, hak kemerdekaan dan keamanan, hak atas persamaan dihadapan hukum.
·
Kovenan
internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya (International Kovenan on Economic, Social and Cultural Rights).
Berlaku januari 1976. Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum, aparat penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat.
Menurut
Miller, pada dasarnya, logika Westphalia menunjukan bahwa negara-negara bangsa
prinsipnya merupakan penentu apakah umat manusia akan hidup dalam martabat dan
keadilan. Ini karena sejauh ini negara merupakan fokus kekuasaan politik yang
paling penting di dunia. Oleh karena itu, negara harus memberikan rasa aman
beserta semua implikasinya bagi realisasi nilai-nilai manusia di atas
nilai-nilai dasar untuk semata-mata bertahan hidup bagi anggota-anggota
masyarakat yang berbeda di dalamnya. Kemudian kehidupan yang beradab memerlukan
perlindungan, maka negara harus menyediakan
perlindungan dan membantu manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhan.
Premis ini berasumsi bahwa negara seharusnya meningkatkan hak-hak asasi manusia
di dalam wilayah yuridiksinya. Namun premis ini ternyata tidak seindah yang
digambarkan. Sebagian besar periode Westphalia masyarakat justru mendapatkan
represi dari pemerintah mereka sendiri.
Kontribusi
globalisasi dan penegakan HAM tampaknya berada dalam dua sudut yang saling
berseberangan. Pada satu sisi, globalisasi mempromosikan banyak usaha-usaha
demokratisasi dalam skala luas. Di banyak negara, reformasi terjadi karena
keterbukaan informasi yang mereka dapatkan dari internet. Melalui teknologi
informasi juga masyarakat di belahan
dunia manapun bisa saling berhubungan, bertukar informasi dan juga membangun
solidaritas dunia maya yang kemudian menurut Manuel Castell membuka peluang
bagi terciptanya jaringan aktivis global dibidang hak asasi manusia.
Aktivis-aktivis diseluruh dunia mampu berkomunikasi dan berkoordinasi satu
dengan yang lainnya untuk memperjuangkan isu tertentu. Ini dimungkinkan karena
kemajuan teknologi informasi mampu mempromosikan demokratisasi politik dan
sosial dalam skala luas. Globalisasi mempromosikan HAM,terutama dibidang
kebebasan sipil, gender, dan juga perlindungan terhadap anak-anak.[1]
Globalisasi
juga mempunyai dimensi lain dalam penegakan HAM. Jika teknologi kominikasi
mampu membangun masyarakat jaringan, maka globalisasi juga memungkinkan
tindakan-tindakan bersama dimana suatu negara tidak bisa lagi bersembunyi
dibalik yuridiksinya. Sebaliknya, sebuah negara bisa dikucilkan kapan saja
ketika mereka melakukan pelanggaran HAM berat. Hal ini bisa dilakukan melalui
embargo ekonomi atau politik. Globalisasi juga mempunyai sisi buruk yang bisa
menjadi ancaman bagi usaha-usaha menegakkan HAM. Globalisasi berimplikasi langsung
ataupun tidak langsung atas implementasi HAM di seluruh belahan dunia.[2]
Pertama, Globalisasi
memarginalkan peran negara. Kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi
telah menciptakan state borderless.
Keohane dan Nye mengemukakan bahwa dalam dunia baru, yaitu dunia tanpa
batas-batas negara , negara-negara dan penguasa militer tidak lagi memainkan
peran pentingnya. Bahkan peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan
akan digantikan oleh peran penting yang semakin meningkat dari aktor-aktor non
terirorial seperti perusahaan multinasonla, gerakan-gerakan sosial
transnasional, dan organisasi-organisasi internasional.
Kedua, ketimpangan sebagai akibat neoliberalisme. Ancaman itu
terutama berasal dari konsepsi
neoliberal mengenai kebaikan bersama. Dalam tatanan neoliberal, normatif etis
yang disebut kebaikan bersama, tidak lagi dianggap sebagai tujuan bersama yang
secara intensional dikejar oleh agenda ekonomi politik, tetapi hanya sebagian
hasil sampingan kinerja ekonomi politik. Sebaliknya agenda ekonomi politik
neoliberal “the accumulation of
individual wealth”. Bidang-bidang yang dahulu merupakan tanggung jawab
pemerintah, sekarang menjadi tanggung jawab individu sehingga terjadi
penggusuran dari social welfare
menjadi self care. Akibatnya
kemiskinan dan pemiskinan, globalisasi menciptakan peluang bagi munculnya
pelanggaran HAM. Represi politik mungkin memudar tetapi kekerasan sosial akan
menjadi penyakit yang selalu inherent
dalam globalisasi neoliberal.
Ketiga, globalisasi menciptakan multiaktor dalam pelanggaran HAM.
Kemiskinan mendorong terciptanya peluang terjadinya mobilisasi penduduk yang
“dipaksakan”. Feyter memberikan gambaran pada human trafficking. Seorang gadis berusia lima tahun meninggalkan
negaranya karena tidak mampu menyediakan
kebutuhan dasar bagi dirinya dan keluarganya. Ia kemudian dimasukna
dalam prostitusi oleh suatu jaringan internasional human trafficking. Gadis ini
tidak meraih martabat atas dirinya sendiri akibat tindakan komulatif berbagai
tindakan dari negaranya sendiri, pelaku perdagangan manusia dan negara tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar