Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Dalam sejumlah kasus mengapa sebuah isu keamanan suatu negara menjadi sebuah
isu sentral pasca berakhirnya perang dingin yang penting untuk dibicarakan
adalah karena beberapa faktor pendorong dan penariknya yang penyebabnya
cukup alamiah yaitu
selain adanya globalisasi dimana arus informasi kian
tidak dapat terbendung lagi, pertumbuhan ekonomi negara yang stabil dan juga sebagai bentuk respon
terhadap kebutuhan keamanan dalam negeri.
Selain itu alasan mengapa keamanan
menjadi sebuah topik yang selalu hangat diperbincangkan juga dikarenakan
adanya ketidak pastian kondisi politik internasional yang menyebabkan total belanja militer
global mencapai 1,7 triliun Dolar pada tahun 2013[1].
Selain itu, topik
lain yang tidak kalah menarik saat berbicara
mengenai keamanan adalah terjadinya persaingan energi di
wilayah-wilayah yang masih disengketakan seperti contoh Laut China Selatan, Laut China Timur, Krimenia, dan Khasmir.
Meningkatnya ketegangan
di beberapa kawasan baik daratan maupun
maritim yang masih bermasalah, meningkatnya
kecanggihan teknologi, sumberdaya yang semakin beragam, pengenalan kapabilitas
baru, penekanan pada perlindungan sumber daya alam juga terkait erat halnya dengan keamanan suatu negara.
Dalam era
globalisasi, dimana batas negara tidak lagi menjadi penghalang bagi dunia yang
saling terhubung antara satu dnegan yang lainnya. Sebuah ketegangan pada suatu kawasan
regional juga akan dapat memberikan dampak pada stabilitas
keamanan internasional. Kebutuhan proyeksi
kekuatan baru.
Perubahan kebutuhan militer menuntut kemampuan proyeksi kekuatan baru bagi keamanan suatu negara yang berkaitan erat dengan meluasnya
cakupan keamanan regional.
Saat ini pemikir-pemikir Hubungan
Internasional, seperti
Barry Buzan juga memperluas
arti dari keamanan itu sendiri. Keamanan tidak lagi hanya hal-hal yang terait dengan keamanan
militer dan politik tapi lebih jauh lagi, yaitu keamanan ekonomi, keamanan
lingkungan, keamanan masyarakat. Hal ini pun dianalisis lagi melalui tiga level
yang berbeda yaitu keamanan individu, keamanan negara dan keamanan
internasional[2].
Saat membicarakan kemanan
internasional, maka kita tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan sebagai
perlombaan senjata dimana setiap negara terus berusaha untuk meningkatkan
anggaran belanja militernya. Sebelum membahas lebih
lanjut, perlu dipahami arti penting
dari penambahan senjata dalam keamanan
suatu negara itu sendiri.
“..an arm race is occuring when
you have two or more parties perceiving themselves to be in an adversary
relationship, who are increasing or improving their armaments at a rapid rate
and restructuring their perspective military postures with a general attention
to the past, current and anticipated military and political behavior of the
other parties.”(Colin, Gray, 1994).
Dengan demikian menurut Gray, ada beberapa karakteristik dalam perlombaan senjata, yaitu:
a. Ada dua pihak atau lebih yang
merasa (mengindikasikan) hubungan mereka saling bertentangan.
b. Penataan kekuatan yang didasarkan pada kalkulasi
kapabilitas musuh dan tujuannya.
c. Persaingan kualitatif dan kuantitatif secara
terbuka dalam pembelian senjata.
d. Peningkatan anggaran pertahanan dan laju
penerimaan
Lebih lanjut
Gray menyatakan bahwa seperti halnya perang, perlombaan senjata juga memiliki
tujuan politik (peningkatan persenjataan disesuaikan untuk menyeimbangkan atau
menandingi kekuatan negara lain). Namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan
belanja militer yang cepat oleh dua negara bertetangga bukan berarti
dimaksudkan untuk perlombaan militer atau perlombaan senjata. Pembangunan
kekuatan dilakukan untuk persaingan dalam waktu singkat untuk memperbaiki atau
mempertahankan kekuatan relatif dan pengaruhnya. Jika Carl von Clausewitz
menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara yang lain,
maka perlombaan senjata adalah militerisasi politik semacam perang[3].
Meski nilai investasi
angkatan bersenjata turun secara keseluruhan, ini bukan berarti tanda
perlambatan pengembangan militer global, demikian ditekankan Institut Riset
Perdamaian Internasional di Stockholm (SIPRI)[4].
anggaran belanja militer Cina, Rusia dan Arab Saudi melonjak antara tahun 2012
dan 2013. Beijing menginvestasikan 7,4 persen lebih bagi militernya, membawa
angka total anggaran menuju 188 miliar Dolar. Arab Saudi naik dari peringkat
tujuh menjadi peringkat empat di tingkat global. Tahun 2013, pengeluaran
militer Arab Saudi menjadi 67 miliar Dolar, naik 14 persen dari tahun
sebelumnya.[5]
Institut SIPRI juga menerbitkan
daftar 15 negara dengan belanja militer
terbesar pada tahun 2012. Posisi pertama tentu saja masih menjadi milik Amerika
Serikat dengan 682 miliar dolar. Berikut 15 negara dengan belanja militer
terbesar :
1.
Amerika Serikat (682)
2.
China (166)
3.
Federasi Rusia (90,7)
4.
Inggris (60,8)
5.
Jepang (59,3)
Lima
negara dengan pengeluaran terbesar ini sebagai penyumbang 60 persen dari
seluruh pengeluaran militer dunia yaitu sebesar 1,06 triliun dolar. Dan
dilanjutkan dengan 10 negara penutup untuk belanja militer terbesar di dunia,
yaitu :
6.
Perancis (58,9)
7.
Saudi Arabia (56,7)
8.
India (46,1)
9.
Jerman (45,8)
10. Italia
(34,0)
11. Brasil
(33,1)
12. Korea
Selatan (31,7)
13. Australia
(26.2)
14. Kanada
(22,5)
15. Turki
(18.2)
Total, kelima belas negara ini menyumbang 82
persen dari belanja militer global yaitu sebesar 1,43 triliun dolar. Amerika
Serikat secara absolut terus memimpin dalam belanja militer. Negara ini
menghabiskan belanja militer melebihi jumlah 10 negara di atas bila digabungkan.[6]
Penyebaran Senjata
Seiring dengan berakhirnya Perang
Dingin, Amerika Serikat (A.S) berupaya untuk terus melanggengkan dominasinya di
dunia. Dalam usaha mempertahankan dominasinya, A.S melakukan revolusi militer
dengan menerapkan teknologi mutakhir pada persenjataan dan peralatan
militernya. Revolusi dan pengembangan senjata berhasil menempatkan A.S sebagai
negara adidaya hingga saat ini. Namun, hal ini juga memilliki dampak negatif
dalam perimbangan kekuatan global dan memunculkan dilema keamanan.
Negara-negara lain mulai merasa terancam dan mengupayakan berbagai strategi
untuk dapat meminimalisir kemungkinan adanya ancaman dari A.S.
Revolusi militer dan pengembangan
teknologi senjata yang dilakukan A.S juga menyebakan adanya surplus produksi
senjata. Dengan senjata yang berlimpah, A.S menawarkan persenjataannya kepada
negara-negara di berbagai kawasan. Produksi persenjataan telah menjadi suatu
bisnis yang menggiurkan dan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi
perekonomian A.S. Keuntungan ekonomi dari bisnis senjata baik legal maupun
illegal mengalami peningkatan seiring dengan terus bermunculannya konflik di
dunia. Penyebaran senjata dari kelas ringan, menengah hingga nuklir semakin
tidak terkontrol. Khusus untuk penyebaran senjata api ringan belum mendapat
perhatian serius dari pemerintah, meski korban-korban terus berjatuhan. Di
pihak lain muncul beberapa negara seperti Rusia, Brazil, China, India, Afrika
Selatan dan Israel yang juga produsen senjata. Oleh karena itu persaingan
pemasokan senjata di pasar Asia Pasifik semakin ketat.
Penyebaran senjata terjadi disebabkan berbagai alasan: pertama, untuk mempertahankan diri dan
melindungi negara dari ancaman serangan dari luar. Dengan adanya persenjataan
yang memadai, Negara dapat lebih percaya diri untuk mengeyahkan ancaman. Kedua, kepemilikian dan peningkatan
kapabilitas senjata suatu negara menjadi ancaman bagi negara lain. Hal ini
dikarenakan senjata memiliki fungsi penggentar (detterence) yang dapat mengamankan keberadaan suatu negara. Ketiga, munculnya konflik dan perjuangan
senjata juga menjadi salah satu penyebab peningkatan penyebaran senjata.
Konflik-konflik di dunia saat ini sarat dengan penggunaan kekerasan dan senjata
api. Kelompok-kelompok bersenjata dan pemberontak mengggunakan senjata sebagai
simbol perlawanan dan perjuangan. Keempat,
rezim pemerintahan menjadi faktor penyebab terjadinya penyebaran senjata.
Pemerintahan yang korup dan lemah dapat menimbulkan perlawanan dari rakyatnya.
Pemerintahan yang gagal melindungi warganya juga turut memberikan legitimasi
bagi individu untuk berkumpul dan secara swadaya mempersenjatai diri. Apapun alasannya,
rakyat selalu dirugikan.
Senjata
Nuklir
Pada awal mula
kelahirannya, nuklir diciptakan bukanlah untuk tujuan militer ataupun
pertahanan, melainkan untuk kepentingan sipil semata. Pada saat ditemukannya,
nuklir merupakan pencapaian yang paling mutakhtir dalam sejarah ilmu
pengetahuan dalam membangun masa depan kehidupan manusia yang lebih baik,
khsusunya dalam hal sumber energi baru bagi manusia. Namun seirng dengan
berjalannya waktu, karena nuklir sendiri memiliki potensi sebagai alat senjata
maka dirancanglah sebuah tekhnologi senjata dengan menggunakan nuklir. Di era
modern seperti sekarang ini, nuklir telah menjelma menjadi sebuah simbol
tertinggi dalam sebuah mekanisme pertahanan tercanggih bagi sebuah negara.
Dengan menggunakan senjata nuklir tersebut, sebuah negara dapat menjamin
keselamatan warga negara ang ada didalamnya. Selain itu, bagi negara sendiri,
nuklir juga digunakan sebagai simbol pengeksostensian dirinya di dunia
internasional. Nuklir memberukan jaminan perlindungan dari segala bentuk macam
ancaman yang sifatnya desduktrif. Dengan dilengkapi dna dipersenjatai
tekhnologi nuklir, benteng pertahanan sebuah negara dipercaya tridak dapat
ditembus oleh ancaman apapun yang datang dari negara diluarnya. Maka dari
kecanggihan dan kehebatannya tersebutlah, seolah nuklir telah menjadi dewa bagi
masyarakat dan negara-negara yang memiliki senjata tersebut sebagai pertahanan
saat ini[7].
Maka sejak saat
itulah, setiap negara yang ada khussunya negara-negara maju, memulai sebuah
penelitian dan berlomba-lomba untuk membangun sebuah mekanisme pertahanan
keamanan negara yang berbasiskan senjata nuklir. Dalam paradigma ini, memiliki
senjata nuklir diasumsikan sebagai jaminan keselamatan sebuah negara dari
segala bentuk ancaman yang mungkin datang dari negara lain. Sebaliknya, tanpa
dilengkapi senjata nuklir, sebuah negara akan merasa, sekaligus dinilai,
terancam posisi dan keselamatannya oleh negara lain yang memiliki senjata
tersebut.
[1] Dalam “Peace and Security”. Diakses melalui https://www.un.org/en/globalissues/peacesecurity/. Pada tanggal 17 April 2014.
[2] Goldy Evi Grace Simatupang. Dalam “Modernisasi Militer Asia Tenggara: Destabilisasi Keamanan Regional?. Diakses melalui http://www.fkpmaritim.org/modernisasi-militer-asia-tenggara-destabilisasi-keamanan-regional/. Pad atanggal 17 April 2014.
[3] Geir, Lundestad. 2013. Dalam “International Relations Since the End of the Cold War:
New and Old Dimensions”.
Oxford hal 122.
[4] Dalam “Belanja Militer Asia dan Afrika Naik Tajam”. Diakses melalui http://www.dw.de/belanja-militer-asia-dan-afrika-naik-tajam/a-17564776. Pada tanggal 17 April 2014.
[5] Ibid
[6] Dalam “15 Negara dengan Belanja Militer Terbesar”
Diakses melalui http://www.artileri.org/2013/04/15-negara-dengan-belanja-militer-terbesar.html. Pda
tanggal 17 April 2014.
[7] Betts, Richard K. 1998. “The New Threat of Mass Destruction”, Foreign
Affairs, Vol. 77, No. 1, pp. 26-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar