Sengketa
perdagangan antara AS dan Kanada merupakan masalah yang serius dan perlu segera
ditangani agar tidak merusak sistem perdagangan internasional. Ketegangan yang
terjadi antara AS dan Kanada di bidang perdagangan menunjukkan bagaimana
ketegangan antara motif liberal dengan merkantilis terjadi. Di satu sisi
negara-negara menginginkan pasar bebas (free
trade) dan keterbukaan pasar (open
market) namun di sisi lain negara tidak bisa menjalankannya karena
mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Upaya AS untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta
produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada
menunjukkan bagaimana upaya negara maju yang menggunakan kebijakan-kebijakan
proteksionisme sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik
dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor.
Penggunaan isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama,
perlindungan buruh, dan lingkungan-menunjukkan bagaimana proteksionisme masih
dan kemungkinan akan terus menjadi underlying
issues dalam perdagangan antarnegara. Proteksionisme tidak akan benar-benar
hilang karena hal ini sudah menjadi naluri negara untuk melindungi dirinya.
Hambatan perdagangan non tarif bisa menjadi bentuk proteksionisme yang
terselubung yang berusaha dilakukan oleh negara-negara untuk melindungi
kepentingan nasionalnya.
Dalam kasus Country of Origin Labelling (COOL), kita bisa melihat bentuk
kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada. AS menggunakan
alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi
dan babi) dan olahannya dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi
BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty)
atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa proteksionisme
akan selalu terjadi dalam bentuk-bentuk baru dan akan terus menjadi persoalan,
terutama bagi negara-negara yang semakin menggantungkan pendapatannya pada
perdagangan internasional.[1]
Negara-negara akan selalu tergoda untuk menerapkan regulasi terhadap
perdagangan dengan berbagai alasan. Berbagai alasan yang kini tengah digunakan
oleh negara-negara adalah alasan kesehatan, perlindungan buruh, agama, maupun
lingkungan. Dari kasus sengketa AS dan Kanada ini kita bisa melihat bagaimana
upaya AS dalam mengelola perdagangannya secara tegas untuk melindungi
kepentingannya dengan menerapkan standar yang ketat di bidang kesehatan.
Dalam sejarahnya, proteksionisme
perdagangan pernah merajalela selama Malaise tahun 1930’an. Saat itu, antara
tahun 1929 dan 1933, perdagangan di seluruh dunia berkurang hingga 54% akibat
berbagai hambatan perdagangan yang diterapkan oleh AS dan beberapa negara
lainnya. Hal yang serupa terjadi pada tahun 1970’an dan 1980’an. Saat itu
proteksionisme perdagangan menjadi semakin sengit. Terdapat tiga faktor yang
bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi.[2] Pertama, proteksionisme berkembang
karena AS tidak bersedia menanggung beban kepemimpinan hegemonik. Karena untuk
membuat sistem perdagangan internasional tetap terbuka, perlu ada pihak yang
bersedia menanggung beban untuk menjamin pemberlakuan aturan main GATT
(sekarang WTO). Jika tidak ada pihak yang menjaminnya, maka sistem pun tidak
berjalan. Kedua, hegemoni politik dan
ekonomi AS telah merosot karena peningkatan pengaruh politik dan ekonomi
negara-negara dalam Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara industri baru.[3]
Negara-negara Eropa Barat menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis untuk
mendukung perekonomian mereka yang sedang tumbuh. Mereka enggan menerima pasar
bebas sebagai acuan dalam praktek perdagangan. Ketiga, meningkatnya harapan di kelompok-kelompok yang diuntungkan
maupun dirugikan oleh perdagangan Misalnya pandangan kelompok merkantilis yang
menyatakan bahwa perdagangan harus menjadi isu kebijakan yang dikelola
pemerintah secara tegas dan (jika perlu) secara agresif untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mempertahankannya dalam lingkungan ekonomi
internasional.
Pengaturan sistem perdagangan
internasional memang bukan hal yang mudah. Penggunaan isu-isu seperti
kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan menjadikan perdagangan
internasional lebih terkait dengan isu-isu yang dulunya nampak tidak ada
hubungan dengan perdagangan. Isu-isu baru tersebut merepresentasikan bagaimana
isu-isu yang dahulu dianggap tidak ada kaitannya dengan perdagangan internasional
akhirnya menjadi bagian yang wajar dari perdagangan masa kini. Dahulu, mungkin pemerintah
maupun para pelaku bisnis tidak begitu mempertimbangkan bahwa faktor kesehatan
akan begitu berpengaruh terhadap kegiatan produksi dan perdagangan. Kini,
tuntutan akan standar kesehatan pada produk-produk yang diperdagangkan menjadi
cenderung semakin besar. Agar suatu produk dari negara A dapat masuk ke negara
B, produk negara A tersebut harus memenuhi standar yang diterapkan oleh negara
B. Permasalahannya adalah: bisa saja standar kesehatan yang digunakan oleh
negara A dan negara B berbeda. Dibutuhkan standar umum kesehatan yang bisa
ditaati oleh semua negara agar permasalahan seperti ini tidak muncul kembali.
Namun sekali lagi: pengaturan sistem perdagangan internasional bukan hal yang
mudah. Sama halnya ketika membentuk standar umum kesehatan secara bersama-sama.
Hal ini menjadi sulit karena melibatkan kepentingan banyak negara.
[1][1]
Mohtar Mas’oed, Perdagangan dalam Perspektif Ekonomi-Politik Internasional,
Diktat Kuliah Ekonomi Politik Internasional, 1998, Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, FISIPOL, UGM, hal. 20
[2] Mohtar
Mas’oed, ibid, hal. 11
[3] Robert
Gilpin, The Political Economy of International Relations, 1987, NJ: Princenton
University Press dalam Mohtar Mas’oed, ibid,
hal. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar