Oleh: Caesar Ardian Oktawa
,Pasca Perang Dunia II, sektor-sektor industri di
Amerika Serikat mengalami banyak kemajuan dalam hal produksi dan dominasi
terhadap pasar. Dapat dikatakan pula pada rentang tahun antara 1945 hingga
1973, menjadi sebuah era keemasan dari konsep Fordisme itu sendiri. Hal ini
dikarenakan keberhasilan pencapaian angka produksi dari industri-industri maju
pada saat itu yang menghasilkan ketersediaan produk yang berlimpah dan mengakibatkan
meningkatnya pula tingkat konsumsi dari masyarakat. Tingkat konsumsi yang
semakin besar itu sendiri tidak hanya pada level masyarakat di negara-negara
maju, namun menyeluruh di berbagai negara. Ketika tingkat konsumtif dari
masyarakat semakin besar, disitulah sebenarnya kapitalisme semakin berkembang
di dunia.
Dapat dilihat bahwa pada akhirnya Fordisme sendiri
menjadi alat dan atau digunakan Amerika Serikat lewat sektor industrinya untuk
lebih menancapkan pengaruh dalam dunia internasional. Negara dan sektor
industri menjadikannya sebagai alat untuk merekronstruksi situasi ekonomi
politik internasional dan menancapkan hegemoni atas dunia liberasisasi
kapitalis (Rupert, 1995). Pada
masa tersebut ketergantungan negara-negara dunia ketiga kepada barang yang
dihasilkan oleh industri maju Amerika Serikat sangat besar, sehingga monopoli
terhadap alur produksi dan pasar itu sendiri dapat terkontrol. Amerika Serikat
semakin berjaya pada masa setelah Perang Dunia II, ketika hampir separuh dari
produk manufaktur yang ada di pasar internasional merupakan produksi dari
negara tersebut (Oatley,2006). Hal ini didorong dengan adanya upaya Amerika
Serikat untuk membanjiri negara-negara yang perekonomiannya hancur akibat
perang dengan komoditi-komoditi dagangnya dan juga investasi yang ditawarkannya.
Fenomena tentang hegemoni
Amerika dan terhadap dominasi komoditi-komoditi dagangnya ini mungkin cukup
benar dalam konteks sebab akibat dan korelasinya, namun juga perlu ditinjau
adanya aspek socio-cultural dimana pada saat tersebut, kondisi yang juga
berpengaruh terhadap peningkatan level konsumsi adalah belum adanya pesaing
yang cukup kompeten dalam menyaingi produk-produk manufaktur Amerika Serikat. Hal
lain dalam level socio-cultural yang bisa dilihat adalah aspek sumber daya
manusia itu sendiri, disamping perang yang mengakibatkan dikesampingkannya
sektor perekonomian di beberapa negara Eropa, namun untuk negara-negara di kawasan
Asia, tingkat ketertinggalan terhadap IPTEK sendiri cukup jauh. Kesenjangan
ilmu pengetahuan ini mengakibatkan adanya jurang pemisahan yang dalam antara
dunia industri maju dengan negara-negara berkembang pada masa itu, sehingga
menimbulkan ketergantungan dengan di dalamnya. Industri di negara-negara
berkembang pada saat itu dapat dikatakan kalah bersaing baik secara modal,
efiensi dan efektifitas produksi, hingga pengaruh di level konsumen.
Jika dikembalikan lagi ke
pemikiran Fordisme bahwa jika ketersediaan barang yang melimpah di pasar akan
mempengaruhi tingkat konsumsi yang tinggi dan mengakibatkan terjaminnya
kesejahteraan masyarakat luas agaknya hal terseut terlalu utopis dan disadari
atau tidak, Fordisme sendiri pada akhirnya tidak menghasilkan sebuah tingkat
kesejahteraan yang bersifat global. Mereka yang tingkat
kesejahteraan tinggi adalah yang dari negara-negara yang memiliki industri-industri
maju, yang didalamnya ada modal dan faktor-faktor produksi lain yang unggul dan
memilki pengaruh terhadap pasar, Singkat kata bahwa kesejahteraan dan kemajuan
hanya dinikmati oleh negara-negara tertentu, salah satunya Amerika Serikat itu
sendiri. Sudut pandang tentang kajian ekonomi politik internasional yang kembali
terbukti bahwa kapitalisme menghasilkan adanya dua kubu antara negara pemenang
dan pihak yang menjadi pecundang.
Peningkatan
tingkat konsumsi ini pula juga dipengaruhi oleh upah dari kalangan buruh yang
tinggi sehingga buruh dapat membeli barang-barang yang diproduksi oleh industri
maju. Ini yang sebenarnya Henry Ford telah pikirkan sebelumnya. Ekonom Rick Wolf mengatakan, pada masa itu
kalangan buruh Amerika menikmati pertumbuhan konsumsi yang tertinggi dalam
waktu 150 tahun. Ukuran keberhasilan kelas buruh lantas diukur berdasarkan gaya hidup, misalnya,
berapa banyak mobil yang dimiliki. Maka dari sisi kelas buruh, masa-masa itu
disebut juga sebagai “The Golden Age of
American Working Class.” Kapitalisme
yang dulunya dianggap hanya akan menguntungkan kalangan pemegang modal
(Borjuis), namun pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan buruh
(Proletar).
Jika dilihat dengan sudut lain
yang lebih dalam, jelas jika hal ini menjadikan buruh tidak hanya sebagai alat
produksi namun di sisi lain dapat dimainkan juga menjadi sebagai konsumen pula.
Di beberapa sumber bacaan yang dijadikan referensi
dalam membahas Fordisme, banyak ditemukan awalan dimana disebutkan Fordisme
sendiri merupakan sebuah adopsi pemikiran dari pemikiran sebelumnya yakni
Taylorisme. Hal tersebut secara umum bisa dibenarkan namun jika
memperbandingkan antara Taylorism dengan Fordism itu sendiri, letak perbedaanya
mungkin sangat tipis. Fordisme sendiri dapat dilihat sebagai salah satu turunan
dari dan pengemba ngan yang lebih lugas dari konsep Taylorism sendiri, karena Fordisme
melihat bahwa peranan buruh dalam pencapaian produksi masal sangatlah
signifikan. Oleh karena itu fordisme lebih mengangkat derajat buruh dengan meningkatkan
gaji mereka, walaupun dengan intensitas kerja yang meningkat pula.
Banyak referensi yang memang menyebutkan bahwa “The Golden Age of Capitalism” adalah tonggak dari hegemoni
Americanisme dan Fordisme yang melihat bahwa dominasi produk industri dari
Amerika Serikat terhadap pasar internasional adalah sahih, tetapi dalam level
perbandingan teoritis sebenarnya konteks kemenangan kapitalisme akan semakin
terasa mutlak. Hal ini karena kondisi hegemoni yang tercipta akibat dari
fordisme itu sendiri secara teoritis mementahkan argumen Marx bahwa yang ia
katakan ketika kapitalisme nantinya akan mengalineasikan buruh. Buruh akan
melawan kapitalisme sehingga sosialisme akan tercapai akhirnya tidak terbukti. Buruh
tidak melakukan perlawanan terhadap kalangan industri sendiri dan bahkan buruh
ikut menikamti hasil dari industri dan menjadi salah satu konsumen dari barang
yang dihasilkan industri itu. Hal ini pula dapat dilihat dengan keunggulan
kapitalisme, karena kemampuan kapitalisme dalam memodifikasi dirnya ketika
menghadapi sebuah situasi baru dan bersifat fleksibel dalam perubahannya.
Pada
akhirnya selepas dekade 1970-an, konsep dan sistem produksi Fordisme mengalami
kemunduran. Hal ini disebabkan banyak faktor anatar lain sebagai contohnya
ialah ketidakmampuan sistem ini dalam menghadapi krisis serta adanya
negara-negara industri baru dan menghasilkan produk manufaktur saingan. Faktor
lain yang sebenarnya menyangkut dari level buruh sendiri adalah adanya
perubahan paradigma yang mengakibatkan munculnya kesadaran buruh akan akibat dari intensifikasi buruh, tingkat
pendapatan yang mereka peroleh, walaupun besar namun tidak sebanding dengan
tingkat produksi yang tercapai dan keuntungan yang diperoleh oleh kalangan
industrialis.
Ini merupakan sebuah perubahan
struktur sosial sebenarnya, ketika kalangan buruh yang dianggap sebagai
proletar, karena peningkatan nilai pendapatannya yang berasal sistem Fordism
itu sendiri, maka kalangan ini bergeser pada level menengah. Pergeseran ini
yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya tingkat pengetahuan mereka, daya
kritis dan kepekaan terhadap iklim kapitalisme itu sendiri. Pergeseran Fordisme
yang awalnya sangat menitikberatkan pada produktivitas massal dan daya konsumsi
yang besar pada akhirnya bergeser pada sisitem produksi Post-Fordism yang lebih
melihat efisiensi angka produksi, spesifikasi industri, dan spesifikasi
terhadap konsumen itu sendiri. Dalam fenomena ini dapat dikatakan bahwa
Kapitalisme – Fordisem terlambat dalam membaca situasi pergeseran ini, namun
sudah menjadi semacam tradisi, ketika Post-Fordisme itu sendiri muncul sebagai
sebuah modifikasi kapitalisme dalam wajah dan mekanisme yang baru.
Referensi:
- Agglietta, Michael (1979)-A Theory of Capitalist
Regulation. (London,New
Left Book).
- Gutowski,T.G
(1996)-Introduction to Manufacturing System
(Berkeley,Massachussets Institute of
Technology.)
- Kumpulan Diktat Mata Kuliah, Ekonomi Politik Internasional. Universitas Gajah Mada.
- Mas’oed,Mohtar (1990)-Ekonomi Politik Internasional.
(Yogyakarta,Pusat
Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada).
- Oatley,Thomas. (2006)-International Political
Economy-Interest and Institution in the Global
Economy, second edition (New York,
Longman-Pearson).
- Plano,Jack O. and
Olton, Roy (1999) “ Kamus Hubungan
Internasional”, terjemahan Drs. Wawan Juanda (Jakarta,Putra A. Baldwin)
- Miura,Takayuki (2005)-Did Fordism Take Up Taylorism? A
Critique of Regulation Theory.(Fukuoka
University). www.adm,fukuoka-u.ac.jp/...2.../C5023_0143.pdf.
- Oatley,Thomas.
(2006)-International Political
Economy-Interest and Institution in the Global Economy, second edition (New York,
Longman-Pearson).
- Rupert, Mark. © Center for Digital Discourse and Culture, Virginia Tech http://www2.cddc.vt.edu/digitalfordism/index.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar