Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya
Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
“Kita
akan menemukan dunia menjadi lebih damai setelah perang dingin berakhir: dunia
damai tanpa perang.” –F. Fukuyama, the End of History-
Pada era perang dingin kompleksitas
kemanan internasional terjadi karena adanya rivalitas antara dua kubu yang
disebabkan oleh situasi bipolar saat itu. Balance
of power yang menjadi sistem deterrence
untuk mencegah terjadinya perang antara blok barat dengan blok timur, hanya
semakin memunculkan enmity di antara
kedua kubu yang telah terdikotomi. Aliansi-aliansi militer yang dibentuk pada
saat itu muncul untuk saling membendung pengaruh satu sama lain, sekaligus
sebagai alat untuk memberikan ancaman kepada masing-masing pihak. Pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO)
atau Pakta Pertahan Atlantik Utara oleh Amerika Serikat dan sekutunya bertujuan
untuk membendung pengaruh komunisme yang dibawa oleh Pakta Warsawa bentukan Uni
Sovyet. Konsensus yang menjadi dasar agar “setiap anggota wajib membantu secara
militer jika ada salah satu anggotanya mendapat serangan dari pihak lawan”[1]
dapat menunjukan betapa rentannya situasi keamanan internasional saat itu.
Namun, sistem deterrence dan
perimbangan kekuatan yang dipakai dapat dikatakan berhasil jika ketiadaan
perang antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet menjadi tolok ukur.
Berakhirnya perang dingin yang
ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet yang dianggap sebagai enemy oleh Amerika Serikat, membawa pada kontelasi internasional
multipolar. Tidak ada lagi blok timur yang ruang geraknya harus dipersempit
oleh blok barat sekutu Amerika Serikat. Dan tidak ada lagi Pakta Warsawa yang
menjadi ancaman NATO. Pihak barat mengklaim bahwa itu adalah kekalahan
komunisme, dan merupakan kemenangan liberalisme agar tetap melanggengkan
pengaruhnya. Lebih jauh, peristiwa 9/11 yang menyebabkan hancurnya gedung WTC
di Amerika Serikat membawa pada situasi baru dalam konteks keamanan
internasional, bahwa terorisme adalah new
enemy yang harus diperangi bersama.[2]
Dalam konteks ekonomi politik,
globalisasi dan liberalisasi membawa dunia pada fokus baru, yaitu kerjasama
ekonomi untuk membangun perekonomian setiap negara. Apa yang dikemukakan oleh
Kant, “the laws of nature dictated harmony and cooperation between peoples”, juga menjadi asumsi dasar bagi kalangan
liberal dalam proses interaksi antar negara. Bahwa, manusia sebagai aktor
secara alamiah memiliki sifat baik dan menyukai jalan kerjasama. Dengan kata
lain, kalangan liberal meyakini bahwa perang dapat diminimalisir dan keamanan
dapat diperkuat melalui jalan kerjasama karena adanya situasi saling
ketergantungan di antara negara.
Namun,
ide kalangan realis yang telah berpengaruh sejak era perang dingin juga menjadi
determinasi bagi konsep keamanan internasional kontemporer. Kecurigaan dan
kekhawatiran akan anarkisme internasional tetap kentara dalam kencenderungan
perilaku setiap negara saat ini. Keduanya, baik liberalisme dan realisme,
menjadi konsep yang berjalan beriringan mengingat arm race adalah
merupakan sisi lain dari kerjasama ekonomi dan globalisasi. Adagium kalangan
realis yang menyebutkan, “jika ingin merasa damai bersiaplah untuk perang”,
seakan relevan dengan semakin meningkatnya anggaran militer masing-masing
negara. Semua menyadari bahwa kepentingan bisa diperjuangkan dengan jalan
kekuatan, maka militer adalah prasyarat mutlak terlebih jika berbicara dalam
konteks keamanan suatu negara.
Kondisi
ini tentu dapat menjadi kritik yang terus berlanjut bagi apa yang dikemukakan
oleh Fukuyama di atas. Kondisi multipolar saat ini memang telah menghapus rivalitas antara kedua
blok yang eksis saat era perang dingin, namun tidak barang tentu berhasil
menghapus rivalitas antara negara-negara yang masih memiliki perbedaan
ideologi. Perang masih terus berlanjut hingga saat ini. Enmity di antara
negara-negara yang bertetangga masih sangat tinggi. Apa yang dilakukan Rusia
terhadap Crimea menunjukan bahwa praktik aneksasi masih rentan dilakukan. Arm
race secara lebih jauh telah berbicara pada tataran teknologi dan semakin
menjadi penyebab security dilema. Aliansi militer masih tetap eksis
hingga saat ini, bahkan sepak terjang NATO di Timur Tengah juga menjadi
penyebab sulitnya untuk mencapai kondisi keamanan non tradisional. Lebih jauh,
perlombaan senjata nuklir di antara negara-negara maju menjadi ancaman yang
sangat serius bagi kemanan internasional kontemporer. Kekhawatiran ini membuat
isu keamanan internasional masih menjadi perbincangan hangat dalam era
globalisasi saat ini. Maka, menarik untuk mengkaji mengapa keamanan masih
menjadi suatu isu global sentral, bahkan setelah perang dingin berakhir dengan
mengambil studi kasus keamanan di kawasan Asia Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar