Oleh: Dian Trianita Lestari
Tentu masih sangat jelas di ingatan kita
salah satu momen bersejarah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, yaitu
digulingkannya rezim presiden Soeharto. Peristiwa tersebut merupakan salah satu
contoh dari dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan di Asia yang bermula
pada Juli 1997 di Thailand. Krisis yang tidak hanya berdampak pada stabilitas
ekonomi regional tetapi juga di tingkat global tersebut akhirnya mewabah ke
beberapa Negara bagian di Asia. Namun banyak yang berpendapat bahwa Thailand,
Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan lah Negara yang paling terkena dampak
dari krisis tersebut.
Tak ada asap tanpa api, maka tak mungkin
krisis terjadi tanpa sebab-sebab tertentu. Berikut merupakan beberapa teori
yang saya dapatkan dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai
penyebab munculnya krisis keuangan di Asia Timur di tahun 1997:
1. Teori
krisis oleh Krugman (1999). Krisis yang melanda Asia Timur tidak terkait dengan
defisit fiskal ataupun masalah yang terkait dengan fundamental ekonomi, namun
lebih disebabkan oleh adanya kelebihan likuiditas yang kemudian berdampak pada
runtuhnya sektor keuangan.[1]
2. Teori
Open Economy oleh Bernanke-Gertler
(1989).[2]
Teori ini menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan politik, kemudian ditambah dengan adanya krisis keuangan di
Negara lain yang diduga oleh para investor akan terjadi juga di Negara lainnya,
serta adanya manipulasi pasar oleh spekulan-spekulan besar, yang pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar secara mendadak. Hal inilah
yang menyebabkan kehancuran dalam neraca pembayaran sehingga mengakibatkan
terjadinya krisis.
3. Teori
krisis oleh Radelet dan Sachs yang menyatakan bahwa krisis yang melanda Asia
Timur pada 1997 dikarenakan oleh krisis yang menimpa sistem keuangan
internasional sehingga menyebabkan pasar keuangan internasional menjadi tidak
stabil. Atau dengan kata lain, krisis tersebut hampir serupa dengan krisis western capitalism.[3]
4. Teori
Developmental State. Teori ini
didasari pemahaman
yang melihat keterkaitan hasil-hasil pembangunan ekonomi dengan pengaturan
institusi yang berpusat pada Negara. Hal ini dikaitkan dengan kritik yang
berasal dari kaum neo-klasik yang menyatakan bahwa teori ini rentan akan
kapitalisme yang dapat menimbulkan krisis ekonomi karena birokrasi yang tidak
bersih (KKN). Contohnya yang terjadi di Korea Selatan[4]
dimana sangat terlihat jelas kontras antara gagasan utama teori ini yang telah
dituliskan diatas yaitu Negara sentris dengan ide demokratisasi dan
liberalisasi ekonomi yang menegaskan bahwa Negara hanya mengambil sedikit peran
dalam pembangunan ekonomi.
5. Three distinct schools:
fundamentalist, internationalist, and new fundamentalist.
Yang pertama yaitu fundamentalist dengan
istilahnya yaitu rational panic,
bahwa krisis tersebut ialah sesuatu yang tidak dapat diantisipasi yang diikuti
oleh penyesuaian nilai tukar yang terlampau besar. Selanjutnya ada yang disebut
dengan hubungan keuangan antara satu Negara dengan Negara lain. Hal ini
didukung oleh teori regionalisme yang sarat akan efek domino. Contohnya yaitu
saat Taiwan mengalami devaluasi yang mencetuskan krisis pasar di Hongkong pada
akhir Oktober, kemudian diturunkan ke Korea Selatan, yang akhirnya bermuara
pada krisis keuangan yang melanda pasar Asia Tenggara. Yang terakhir yaitu dari new fundamentalist yang menitikberatkan pada lemahnya sektor keuangan
Asia Timur itu sendiri, contohnya yaitu laju pertumbuhan pinjaman yang sangat
cepat. Salah satu contohnya yaitu Korea Selatan yang mengalami peningkatan
investasi yang dibiayai oleh bank sebelum 1997, yang mengakibatkan pinjaman
tumbuh dengan pesatnya dan memperburuk neraca perbankan.[5]
6. Teori
debt and financial fragility, teori disaster myopia dan teori bank runs oleh David (2001)[6].
Pertama, teori debt and financial
fragility yang meyakini bahwa perekonomian selalu mengikuti siklus yang
terdiri dari dua periode pertumbuhan, yaitu positif dan negatif (Fisher, 1933).
Dengan tingkat perekonomian yang melaju sangat pesat di Asia Timur, utang dan
kegiatan pengambilan risiko pun turut meningkat. Hal tersebutlah yang kemudian
mencetuskan gelembung aset yang akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Kedua,
teori disaster myopia yang memberikan
bukti bahwa ketidakstabilan keuangan yang terjadi di Asia Timur disebabkan oleh
perilaku kompetitif lembaga keuangan yang bermuara pada kondisi dimana
kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko dikurangi (Herring, 1999). Ketiga,
teori bank runs menjelaskan kondisi
dimana pada saat angin krisis mulai merambah Asia Timur, para investor kemudian
mengalami kepanikan sehingga memutuskan untuk menjual aset mereka atau menarik
dana mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan semakin memburuk (Diamond
dan Dybvig, 1983, Davis, 1994). Hal tersebutlah yang mengakibatkan kemerosotan
secara tiba-tiba pada harga aset dan krisis likuiditas.
Dari beberapa teori di atas, maka saya pribadi
mendukung teori nomor empat yaitu Developmental
State sebagai teori yang tepat untuk menjelaskan mengapa krisis keuangan
bisa terjadi di Asia Timur pada 1997. Hal ini berdasarkan apa yang telah saya
sebutkan di atas bahwa apabila Negara memilih untuk menerapkan model developmental state ini, maka besar
kemungkinan Negara tersebut akan diserang oleh apa yang disebut dengan
kapitalisme. Seperti yang kita ketahui, sebelum akhirnya mengalami krisis
keuangan di 1997, Negara-negara di Asia khususnya Asia Timur mengalami masa
kejayaannya (Asian Miracle). Dan
seperti yang dijabarkan oleh Poppy di salah satu tulisannya, bahwa model developmental state sudah tidak relevan
lagi untuk diterapkan jika proses pembangunan ekonomi suatu Negara telah
mencapai titik keemasannya, karena hal tersebut justru akan membuat Negara
rentan akan krisis dengan sifat model ini yang telah berubah menjadi penghambat
untuk Negara lebih berhasil lagi dalam perekonomiannya[7].
Lalu apa hubungan model di atas dengan
kapitalisme? Ini sungguh jelas kaitannya bila melihat inti dari sistem
kapitalisme dimana pemerintah melakukan intervensi demi keuntungan pribadi. Hal
tersebut dapat dijelaskan dengan adanya bom investor di awal tahun 1990-an
dimana mereka telah menginvestasikan milyaran dollar ke pasar Asia Tenggara.
Investasi inilah yang memicu adanya perluasan kredit yang berlebihan yang pada
akhirnya mengalami pergeseran ketersediaan kredit yang terjadi pada 1997.
Masalah terus berlanjut dengan menurunnya tingkat ekspor dan nilai tukar mata
uang yang menyebabkan macetnya pinjaman bank. Ditambah lagi dengan kenyataan
yang harus dihadapi oleh pemerintah Thailand dan Indonesia yang hutangnya telah
jatuh tempo dan harus segera dilunasi dengan menggunakan dollar. Sementara para
investor yang sudah skeptis akan keberhasilan investasinya sudah menarik dollar
mereka dari Negara-negara tersebut. Hal ini memaksa Negara kemudian untuk
menggunakan devisa mereka demi membeli dollar untuk membayar hutang. Disinilah inflasi
kemudian terjadi.
Daftar
Pustaka
Arisyi F. Raz, dkk. 2012. Krisis
Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur.
Disalur dari www.bi.go.id.
Haggard, S. 2000. The Political Economy of the Asian Financial Crisis. Washington,
DC: Institute For International Economics.
Poppy S. Winanti. 2003. Developmental State dan Tantangan
Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan. UGM: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
Shinta, dkk. 2008. Bangkitnya perekonomian Asia Timur: satu dekade setelah krisis.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
[1] Shinta, dkk. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur: Satu Dekade Setelah Krisis. Jakarta: Elex Media Komputindo
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Contoh ini berdasarkan tulisan Poppy S. Winanti: Developmental State dan Tantangan
Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan.
[5] Haggard, S. 2000. The
Political Economy of the Asian Financial Crisis. Washington, DC: Institute
For International Economics.
[6] Arisyi F. Raz, dkk. 2012. Krisis Keuangan
Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur.
Disalur dari www.bi.go.id.
[7]
Poppy S. Winanti. 2003. Developmental
State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan. UGM: Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Hal. 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar