Oleh: Haryo Prasodjo
(haryoprasodjo@ymail.com)
Menentukan
seberapa kuat riset yang kita lakukan dan mengetahui posisi kita dalam riset.
Hal ini penting untuk diperhatikan kerana merupakan pondasi dasar dalam sebuah penelitian.
Penelitian yang dilakukan bukan hanya sekedar mencari data semata, lebih dari
itu, penelitian yang dilakukan adalah untuk mencari ilmu pengetahuan baru dalam
penelitian tersebut. Karena sejatinya penelitian adalah aktifitas memproduksi
sebuah ilmu pengetahuan baru. Dalam sebuah penelitian kita akan dihadapkan
pada, pengetahuan apa yang kita cari dan apa yang akan kita peroleh. Untuk
membuat sebuah penelitian yang baik, kita dapat memulainya dengan membuat
sebuah reason (alasan) mengenai penelitian yang akan kita lakukan. Setelah kita
menentukan alasan, barulah kita menentukan cara mana yang lebih sesuai untuk
melakukan penelitian tersebut dalam hal ini dapat dikatakan memilih sebuah
metode. Adapun pilihan sebuah metode lebih ditentukan oleh objek dan juga
krakteristik dari penelitian yang kita lakukan. Adapun alurnya dapat kit alihat
dibawah ini:
Alasan – Metode – Collecting Data – Seleksi Data
Seorang
peneliti, tidak akan bisa melakukan penelitian jika tidak memiliki frame untuk
melihat data-data yang ada. Adapun kebutuhan yang kita butuhkan dalam setiap
fase membangun pondasi penelitian adalah sebagai berikut:
·
Apa yang kita kaji? (Berbicara tentang nature
dari dunia sosial)
·
Obyektif: Penelitian dan obyek yang akan diteliti harus
ada jarak.
·
Subyektif: Pengalaman peneliti juga masuk dalam
penelitiannya.
Adapun
implikasi dari pemisahan model ini adalah, adanya perbedaan dari hasil
penelitian. Seperti contoh, penelitian yang obyektif akan memiliki hasil yang
sifatnya lebih universal dibandingkan denga penelitian yang subyektif dimana
hasil penelitiannya lebih pada partikular dan tidak ada hasil yang dapat
digeneralisasi. Setelah memahami itu semua, sekarang kita akan beranjak pada
fase “bagaimana kita memahaminya?” (how to study). Pertama kita akan membahas
jenis ataupun bentuk penelitian yang sifatnya obyektif. Dalam penelitian jenis
ini, peneliti hanya dituntut untuk dapat mengambarkan apa saja yang ada di
dalam obyek yang sedang diteliti. Dan juga peneliti harus dapat menjelaskan dan
menyingkap bagaimana hukum-hukum yang ada dan berlaku dalam penelitian
tersebut. Kedua adalah penelitian yang subyektif, diaman dalam penelitian ini ,
para penilit berbasiskan pada cara “memahami” (understanding). Dan penelitian
jenis ini berbasiskan pada keterlibatan peneliti dalam penelitian. Seperti yang
akan kita ambil contoh dalam penelitian yang sifatya obyektif (sesuatu yang
berada diluar positivistik) adalah, saat kita bicara tentang kemiskinan.
Kemiskinan merupakan “sesuatu” yang berada jauh diluar dari diri peneliti. Yang
mana untuk mengatakan arti “miskin” itu sendiri tergantung dari kesepakan kita
bersama memaknai arti kata msikin tadi. Karena dalam hal ini, miskin merupakan
sesuatu yang dapat diukur (intersubjektif). Yaitu dapat diukur dari bagaimana
kita memaknai dari orang-orang mengatakan apa itu kemiskinan. Dan orang-orang
akan melakukan kesepakan untuk memaknai suatu kejadian.
Adapun
sebagai contoh dalam penelitian yang sifatnya subyektif, adalah bagaimana seorang peneliti dapat memahami
bagaimana seseorang dapat menjadi fundamentalis. Diamna seorang peneliti harus
dapat terjun dan berkecimpung langsung dalam kegiatan-kegiatan dari obyek yang
diteliti. Karena akan sangat sulit jika kita memahaminya melalui pendekatan
yang obyektif. Maka dari situlah mengapa pendekatan yang subyektif lebih
menekankan bagaimana seorang peneliti dapat memahami obyek yang sedang menjadi
bahan penelitiannya. Meskipun demikian, baik keduanya antara obyektif dan
subyektif tidak terdapat istilah saling mendominasi antara keduanya. Dimana
pendekatan keduanya memiliki tempat dan posisi yan gsama dalam sebuah
penelitian. Dimasa lalu penelitian sosial terpengaruh dengan ilmu alam. Yang
mana dalam penelitian ilmu alam (ilmu pasti) memiliki tingkat akurasi yan
gsangat tinggi. Hal ini karena perbedaan dari obyek yang diteliti antara ilmu
alam dengan ilmu sosial. Dimana dalam ilmu alam, obyek yang diteliti merupakan
obyek yang cendrung memiliki tingkat dinamis yang amat rendah dan dapat
dibuktikan dengan akurasi angka yang tepat. Seperti contoh, saat kita merebus
air baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Maka air tersebut akan
mendidih jika suhunya telah mencapai 100 derajat celcius. Berbeda dnegan ilmu
sosial, yang mana obyek yang diteliti adalah manusia yang memiliki dinamika
yang sangat komplek. Jika dalam ilmu alam 1+1=2 maka dalam ilmu sosial 1+1 bisa
saja menjadi 5, 7,9 atau lebih tinggi lagi. Hal tersebutlah yang juga menjadi
alasan, mengapa penelitian dalam ilmu sosial dapat lebih menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar