Terbentuknya WTO (World Trade
Organization) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur
perdagangan global diharapkan bisa mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun
dalam perkembangannya perdagangan global dewasa ini diwarnai isu proteksionisme
yang mengganggu bebasnya perdagangan antar negara. Proteksionisme sendiri adalah
kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara melalui tarif bea
masuk impor (tariff protection),
pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff
protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan
aturan ekstrem seperti larangan impor[1].
Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik
dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan
hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru
membuka sektor industri otomotif, jelas industri ini belum bisa bersaing dengan
industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan
subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan industri
ini lebih laku di pasarnya. Contoh lainnya seperti kebijakan pembatasan kuota
pernah dilakukan oleh Amerika pada tahun 1970an, ketika itu terjadi kenaikan
harga bahan bakar dan masyarakat disana lebih memilih membeli mobil yang lebih
kecil dengan tujuan penghematan terhadap bahan bakar yang notabene merupakan
produk dari Jepang. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya,
Amerika mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap
jumlah mobil Jepang yang bisa masuk ke Amerika. Meskipun kebijakan ini untuk
melindungi pasar domestik, tetap saja kebijakan-kebijakan ini bertentangan
dengan prinsip perdagangan bebas yaitu penghapusan segala hambatan-hambatan
yang mengganggu arus perdagangan antar negara.
Pertentangan
antara perdagangan bebas dan kebijakan proteksionis merupakan masalah yang
kompleks dan rumit untuk diselesaikan. Disatu sisi perdagangan bebas yang
mendorong terbukanya pasar tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan ketimpangan
antara ekspor dan impor terutama bagi negara-negara berkembang. Pasar domestik
yang dikuasai barang-barang impor berbanding terbalik dengan angka produk yang
berhasil di ekspor. Sementara di sisi lainnya, negara berkewajiban untuk
melindungi dan menyeimbangkan angka impor dan ekspor tadi agar pasar
domestiknya tetap berjalan. Negara seolah dihadapkan pada dilema, apakah terus
dengan perdagangan bebas atau memilih kebijakan proteksionis untuk
menyelamatkan pasar domestiknya. Kebijakan proteksionis dianggap sebagai jalan
keluar sekaligus benteng bagi ekonomi negara yang baru tumbuh. Namun begitu,
proteksionisme juga dapat ditemukan pada negara yang sudah mapan. Kedaulatan
ekonomi nasional tampaknya menjadi justifikasi utama dari proteksionisme.
Secara historis, proteksionisme bahkan lebih sering ditemui daripada
perdagangan bebas.[2]
Kebijakan ini jelas mengganggu sistem perdagangan yang bebas,
meskipun begitu proteksionisme tidak pernah benar-benar bisa dihapuskan. Justru
belakangan bentuk proteksionisme baru lahir dalam bentuk hambatan non tariff
ditambah penggunaan isu-isu non-ekonomi seperti kesehatan, lingkungan dan
perlindungan buruh. Isu-isu ini digunakan untuk mengaburkan tujuan sebenarnya
yakni untuk melindungi pasar domestiknya dari serbuan barang impor. Mirisnya
negara-negara maju menjadi pionir dalam penggunaan isu-isu ini. Kasus terbaru
yang sampai saat ini masih dirundingkan oleh WTO adalah tindakan Amerika yang menggunakan
Country of Origin Labelling (COOL)
dikaitkan dengan isu kesehatan untuk menghindari produk impor dari Kanada.
Produk dari Kanada khususnya produk livestock
hewan ternak (sapi, babi) dituding Amerika terkontaminasi penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau
sapi gila serta virus H1N1. Tindakan Amerika ini tentu saja memberikan kerugian
tersendiri bagi industri Kanada, karena tidak lagi bisa mengimpor produk-produk
mereka ke pasar Amerika. Ini juga menjadi hambatan bagi terciptanya perdagangan
yang bebas dan adil.
Perdagangan bebas sebenarnya telah mencapai tahap kulminasi
ketika pembentukan WTO sebagai satu-satunya wadah internasional bagi
perdagangan global. Sangat jelas agenda yang ingin dicapai adalah perdagangan
yang bebas tanpa hambatan dan proteksi yang dianggap merusak dinamika pasar dan
kebebasan untuk berkompetisi. Kemunculan isu-isu proteksionisme ini tentu saja
menjadi penting karena dapat mematikan persaingan dan kebebasan perdagangan
antar negara. Proteksionisme juga mengakibatkan turunnya pertumbuhan ekonomi
secara global[3]
dikarenakan setiap negara akan berlomba-lomba dalam memproteksi pasar
domestiknya. Pada tahun 2012 saja terdapat sedikitnya 123 kebijakan perdagangan
baru diseluruh dunia yang bersifat menghambat dan memperketat perdagangan[4].
Angka yang cukup besar dan sangat mungkin untuk memberi pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi secara global.
Kebijakan bersifat proteksionis juga memberi dampak bagi
konsumen, konsumen dapat dirugikan karena terbatasnya pilihan dalam pasar yang
ada[5].
Pada akhirnya kebijakan proteksionis akan selalu berujung pada fungsinya yang melumpuhkan,
memaksakan dan mengeksploitasi pihak-pihak lain. Kerugian yang akan timbul tidak
hanya pada produsen lokal saja, bahkan sampai konsumen asing pun akan
terkena imbas dari kebijakan proteksionis ini. Oleh karenanya dibutuhkan peran
yang kuat dari WTO dalam menyelesaikan isu-isu proteksionis ini agar tidak
mengganggu pertumbuhan arus perdagangan global yang bebas dan adil.
[2]
Robert Gilpin dan Jean
Mills Gilpi. 2002. Tantangan Kapitalisme
Global. Jakarta : Grafindo Persada. hal
84
[3]
“Proteksionisme dan pertumbuhan perdagangan global” dalam http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/48720/proteksionisme-juga-turunkan-pertumbuhan-perdagangan-global/.
Diakses pada 14 Desember 2013
[4]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar