Jangan menilai kemampuan anak
dari nilai yang dia dapatkan, dan jangan paksa anak kita untuk mendapatkan nilai
baik. Nilai yang ada pada buku rapor bukanlah nilai yang sesungguhnya, karena
nilai tersebut tidak dapat dijadikan patokan tentang bagaimana kemampuan asli
dari anak tersebut. Einsteinpun mengatakan, ‘jangan mengukur kura-kura dari kemampuannya memanjat pohon’.
Setiap manusia memiliki kemampuan
dan bakat yang berbeda di dalam dirinya. Bisa jadi seseorang lemah dalam hal
eksak dan kuat dalam hal lainnya, dan bisa jadi sebaliknya. Maka jika menilai
anak dari nilai yang dia dapatkan di dalam buku rapor, secara tidak langsung
kita menginginkan anak tersebut menjadi seperti apa yang orang tua inginkan,
bukan tentang apa yang anak tersebut inginkan.Tidak orang tua sadari bahwa anak
tersebut akan tumbuh dalam bayang-bayang ketakutan. Takut dan malas untuk pergi
ke sekolah, karena melihat sekolah menjadi sebuah institusi pendidikan yang
mengerikan.
Orientasi pendidikanpun akan
berubah, pendidikan yang seharusnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
membentuk moral etika manusia justru melenceng jauh. Belajar tidak lagi untuk
ilmu pengetahuan, tapi belajar untuk mendapatkan nilai baik, belajar utuk
mendapatkan pekerjaan. Tujuan tersebut tentu sudah tidak lagi sejalan dengan
hakikat tujuan pendidikan.
Pendidikan akan ilmu pengetahuan,
moral, dan etika bukan lagi menjadi pendidikan yang utama meskipun pembelajaran
akan hal tersebut tetap menjadi suatu yang dominan. Namun orientasi dasar siswa
telah berubah, pengharapannya hanya sebatas pada ‘nilai yang baik’, sebuah nilai yang dianggap baik dalam
masyarakat. Sehingga dengan nilai tersebut seorang siswa akan mendapatkan
predikan/ status dalam masyarakat yang dicap sebagai siswa berprestasi, siswa
terbaik, bintang kelas dan lain sebagainya.
Bagi mereka yang selalu
mendapatkan nilai yang ‘tidak baik’,
maka akan menjadi anak yang minder dan hilang kepercayaan dirinya. Pelarian
anak-anak tersebut biasanya lebih pada hal-hal negatif seperti membolos dari
jam pelajaran, tawuran, mabuk-mabukan, hingga menggunakan narkoba. Anak-anak
semcam ini melihat sekolah bukanlah kegiatan yang menyenangkan, justru sebuah
kegiatan yang menyiksa mereka selama bebera jam setiap harinya. Tidak ada
kesadaran akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Hal terpenting dari
sekolah adalah ‘nilai yang baik’ pada
rapor. Pada akhirnya sekolah melahirkan tiga bentuk lulusan siswa yang baik
secara nilai dan moral etika, siswa yang baik secara nilai dan minim moral,
atau yang minim kedua-duanya baik ilmu maupun nilai.
Sehingga jangan heran jika banyak
kita melihat orang berpendidikan dan memiliki nilai yang memuaskan namun minim
akan nilai etika dan moral. Penghambaan pada ‘nilai yang baik’ dalam rapor sudah menjadi budaya dan tradisi
dalam masyarakat Indonesia. Anak-anak yang seharusnya dapat bermain dengan
bebas terus dibayangi dengan rasa takut akan tuntutan orang tua mereka yang
mengharuskan mereka mendapatkan nilai yang baik pada pelajaran sekolah.
Saya cukup beruntung karena orang
tua saya tidak pernah menuntut nilai yang baik kepada saya. Bahkan orang tua
saya tidak pernah menuntut saya untuk belajar keras. Pesannya cukup sederhana, ‘belajarlah
di kelas dan pahami semaksimal mungkin, jangan berorientasi pada nilai, tapi
jadikanlah ilmu pengetahuan sebagai tujuan dari pembelajaran’. Suatu waktu saya
bertanya kepada bapak saya, mengapa harus demikian. Bapak saya memulai
penjelasannya dengan sebuah cerita masa sekolahnya dulu. “bapak dulu waktu sekolah dari SD sampai SMA itu selalu dalam pringkat
satu, kalaupun turun paling juga ke pringkat ke-dua, sampai pada akhirnya bapak
duduk dibangku kelas dua SMA, disitu bakap berpikir, apa gunanya nilai yang
bagus-bagus tersebut. Apa bisa berguna untuk hidup bapak setelah SMA? Ternyata tidak,
ada sesuatu yang jauh yang lebih penting dari hanya sebatas nilai, yaitu kita
ingin jadi apa setelah selesai sekolah nanti”. Pengalaman itulah yang
dijadikan oleh bapak saya untuk mendidik anak-anaknya, termasuk saya dan adik
saya.
Pengambilan rapor kelulusan adalah momentum
yang sangat mendebarkan saat SD dulu, bagaimana tidak, saya tau kalau aka nada nilai
yang kurang dalam buku rapor saya. Sebab ketakutan saya sederhana, saya takut
dimarahi dan diomeli oleh ibu dan bapak saya saat mereka mengambil dan melihat
hasil rapor saya. Alih-alih akan dimarahi, respon dari ibu dan bapak saya cukup
mengejutkan, hanya mengatakan ‘bejar yang
lebih giat lagi le’. Padahal saya tahu, kalau ada beberapa nilai merah di
dalam buku tersebut. Pengalaman masa kecil tersebut sepertinya membentuk
pemikiran dan sikap saya saat ini. Takut anaknya tumbuh dengan otak yang tidak
bekerja optimal, orang tua saya membawa saya ke psikater untuk melakukan tes
IQ, tapi lagi-lagi Alhamdulillah, ternyata hasil tes tersebut cukup mengejutkan
orang tua saya. Bahkan tes di tempat lainnya juga menunjukkan hasil yang sama
tidak jauh berbeda. Toh ternyata saya tumbuh tidak bodoh-bodoh amat.
Maka biarkanlah anak tumbuh
dengan bakat dan kemampuan uniknya masing-masing. Hal yang lebih utama adalah ‘jangan bandingkan kemampuan anak kita
dengan anak lainnnya yang menurut kita memiliki kemampuan di atas anak kita’.
Setiap mansuia memiliki jalan hidupnya masing-masing, tugas dari manusia adalah
mengupayakan kehidupan yang baik dan layak dengan cara yang baik dan dibenarkan
secara hukum negara dan agama. Jangan pernah memaksakan kehendak akan sesatu
hanya untuk terlihat hebat di mata orang lain, terutama dalam diri anak kita.
Sehingga sekolah dan institusi pendidikan lainnya tidak lagi menjadi tempat
yang menyeramkan, justru menjadi tempat yang menyenangkan.
Batu, 21 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar