Oleh: Haryo Prasodjo -haryoprasodjo@ymail.com- (Diambil dari jawaban tugas UAS)
Dengan
ditemukannya tekhnologi mesin uap untuk industri pertama kalinya oleh Jamess
Watt telah merubah wajah dunia saat ini. Tekhnologi tersebut tidak hanya
memudahkan manusia dalam menyelesaikan berbagai macam pekerjaan dalam hal
produksi, namun tekhnologi tersebut juga telah merubah arah industri saat ini.
Dengan ditemukannya berbagai macam tekhnologi baru dalam dunia industri, secara
perlahan namun pasti, peran manusia dalam faktor produksi semakin berkurang dan
digantikan oleh tenaga mesin. Perkembangan tekhnologi tersebut telah menjadikan
berbagai penemuan mesin-mesin baru tersebut semakin efisien. Jika sebelumnya
mesin-mesin tersebut membutuhkan bahan bakar fosil seperti batu bara dan
minyak, tekhnologi saat ini memungkinkan mesin-mesin tersebut bergerak dengan
menggunakan tenaga listrik yang lebih efisien dan praktis. Nmun demikian,
ternyata tidak semua alat-alat dalam kegiatan produksi tersebut menggunakan
listrik sebagai sumber energinya. Beberapa industri berat seperti baja, masih
menggunakan minyak ataupun batu bara sebagai sumber energi dalam proses
industrinya.
Beberapa
negara industri sekaligus penyumbang emisi gas terbesar didunia saat ini adalah
, Amerika, China, dan India. Pada bulan Agustus 2012 lalu, Amerika Serikat
dapat mengurangi emsisi karbonnya sebanyak 8%. Namun penurunan emisi karbon di
Aerika tersebut turut diimbangi dengan pertumbuhan emisi karbon di
negara-negara berkembang terutama seperti di China, India, Vietnam, Oman, dan
Nigeria. Dimana semua negara tersebut mengalami pertumbuhan yang lebih cepat
dalam emisi gas buang sejak tahun 1995.[1]
Emisi karbon di negara-negara tersebut meningkat karena adanya pertumbuhan
ekonomi yang pesat dari moderninasi serta adanya alih daya proses produksi
manufactur dari negara-negara industri yang mengalihkan sebagian emisinya ke
negara-negara tersebut.
Negara-negara
industri maju seperti Jepang dan Korea lebih memilih mengalihkan industrinya ke
negara-negara berkembang sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon di negara
tersebut. Selain untuk mengurangi emisi gas buang, pengalihat sumber daya
produksi ke negara lain juga sebagai upaya efisiensi distribusi barang menuju
pasar. Kegiatan produksi merupakan bagian dari proses dan dinamika ekonomi,
sayangnya hal tersebut harus berbenturan dengan aturan rezim internasional yang
ada terkait dengan rezim lingkungan. Rezim lingkungan yang mengatur mengenai
emisi karbon terdapat pada protocol kyoto. Protocol Kyoto merupakan sebuah bentuk
pembaharuan dari pertemuan UNFCCC yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada
tahun 1997. Pertemuan tersebutlah yang pada akhirnya menghasilkan Kyoto
Protocol yang disepakati sebagai rezim internasioan yang mengatur mengenai
norma dalam perubahan iklim dan cuaca. Kyoto Protocol sendiri telah
ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia. Setidaknya hanya ada satu
negara yang tidak menandatangani protocol tersebut yaitu Amerika. Namun tulisan
ini akan lebih menekankan mengenai bagaimana regime interplay menangani masalah
yang terdapat pada rezim perdaganan dan rezim lingkungan yang saling
berbenturan.
Sebelum
kita membahas mengenai cara tersebut, terlebih dahulu kita memahami definisi
dari regime interplay itu sendiri. Regime interplay dapat didefinisikan sebagai
interaksi sebuah atau beberpa rezim yang dapat mempengaruhi kinerja rezim yang
lain. Hal yang paling utama adalah, bagaimana negara-negara industri maju
sebagai aktor pemerintah dan juga negara dapat mengsinergikan serta menghindari
ganguan pada rezim yang ada melalui menejemen hubungan antara institusi. Dalam kasus
ini, setidaknya terdapat dua rezim yang saling berbenturan. Pertama adalah
rezim perdagangan dalam wujud industrialisasi, dan juga rezim lingkungan dalam
bentuk Protocl Kyoto. Tulisan ini akan melihat bagaimana kedua rezim yang
saling berbenturan tersebut dapat disinergikan.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kyoto Protocol berfokus pada upaya
penurunan tingkat emisi gas karbon yang ditujukan pada negara-negara penghasil
gas rumah kaca terbesar di dunia. Hal ini tentu berdampak serius bagi
negara-negara tersebut, berkurangnya emisi karbon berarti sama dengan
berkurangnya produktifitas. Berkurangnya produktifitas berarti akan berdampak
pada berkurangnya profit dari produksi. Namun demikian, agar kedua rezim
tersebut tidak saling berbenturan. Rezim lingkungan dalam Kyoto Protocol
tersebut memiliki mekanisme tersendiri sebagai jalan terang bagi negara-negara
industri untuk tetap dapat melakukan produksi tanpa mengkhawatirkan emisi dari
proses tersebut. Setidaknya terdapat tiga mekanisme utama dalam implementasi
dari Kyoto Protocol tersebut. Pertama adalah apa yang dinamakan dengan carbon
market, yang memungkinkan negara-negara industri maju membeli jatah carbon yang
dimilki oleh negara-negara lainnya. Sedangkan mekanisme kedua adalah, melalui
joint implementation, yang mana negara-negara industri dapat membuat proyek
kerjasama dengan negara-negara berkembang untuk membagi sarana produksinya
sebagai upaya mereduksi gas carbon. Terakhir adalah elalui pengaturan investasi
perkembangan berkelanjutan sebagai upaya pengurangan emisi gas karbon bagi
negara berkembang.
Dalam
beberapa pemaparan diatas, dapat kita lihat bagaimana regime interplay yang
terdapat pada rezim perdagangan dapat mempengaruhi rezim lingkungan. Meskipun
demikian, interpklay tersebut dapat di atasi dengan cara memberikan sebuah
rezim alternatif sebagai upaya penyeimbang dari dua rezim yang saling bertolak
belakang tersebut.
[1]
Wihardandi, Aji. Dalam “Klasmen Sementara Negara-Negara Penyumbang Karbon
Terbesar di Dunia”. Agustus 13, 2012. Diakses melalui www.mongabay.co.id/2012/08/13/klasmen-sementara-negara-negara-penymbang-karbon-terbesar-di-dunia/.
Pada tanggal 7 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar