“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Keterkaiatan Antara Diplomasi dan Politik Domestik

Oleh: Mohammad Nailur Rochman (09260029)-Mahasiswa Hubungan Internasional
Sebelumnya telah disebutkan oleh Peter Gourevitch bahwa politik domestik sangat berkaitan dengan sistem internasional dan juga sebaliknya. Struktur domestik menentukan sistem apa yang berlaku dalam hubungan antar negara dan kemudian kesepakatan internasional itu berbalik memengaruhi urusan dalam negeri masing-masing negara. Menurut Gourevitch, kajian mengenai hubungan sistem internasional dan politik domestik adalah kajian yang tidak dapat dipisahkan[1].
Kajian kali ini adalah mengenai bagaimana proses pembentukan benang yang saling mengaitkan antara keduanya? kapan hubungan itu akan saling menetukan satu sama lain? dan siapa saja yang menjadi aktor di dalamnya?. Oleh karena itu, yang menjadi fokus kajian kali ini adalah pendekatan yang paling bisa menjelaskan proses keterlibatan antara unsur-unsur domestik dan politik internasional (bisa juga dikatakan sebagai kebijiakan-kebijakan yang berlaku secara internasional).
Satu contoh yang mengilustrasikan kajian kali ini adalah kebijakan yang memengaruhi politik internasional yang lahir dari konferensi informal negara-negara industri maju dunia yang tergabung dalam perkumpulan Group of Seven (G7) yaitu Prancis yang direpresentasikan oleh Presiden Valery Giscard d’Estaing, Jerman oleh Kanselir Helmut Schmidt, Italia oleh PM Giulio Andreotti, Jepang oleh PM Takeo Fukuda, Inggris Raya oleh PM James Callaghan, AS oleh Presiden Jimmy Carter, Kanada oleh PM Pierre Trudeau dan komisi negara-negara Eropa (resmi terbentuk tahun 1981) oleh Presiden komisi Roy Jenkins. KTT ini dimaksudkan sebagai tempat untuk menyelesaikan perbedaan di antara anggotanya. Praktisnya, KTT ini juga dipahami sebagai suatu kesempatan bagi anggota untuk saling memberikan dorongan satu sama lain dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi disaat ekonomi dunia sedang mengalami krisis yang serius.
Beberapa keputusan yang merupakan hasil dari KTT Bonn di Jerman ini dapat terlihat jelas dalam pernyataan-pernyataan berikut[2]:
1.      "We agreed on a comprehensive strategy covering growth, employment and inflation, international monetary policy, energy, trade and other issues of particular interest to developing countries....W are dealing with longterm problems....This strategy is a coherent whole, whose parts are interdependent....
2.      We are concerned, above all, about worldwide unemployment...."We will build...But we need an improvement in growth ...Improved growth will help to reduce protectionist pressures. We need it also to encourage the flow of private investment, on which economic progress depends. We will seek to reduce impediments to private investment, both domestically and internationally.
3.      It articulated what each country would do to fight inflation....
a.      Canada     :  reduce inflation,
b.      Germany   : it will proposed additional measures up to 1% of GNP ...
c.       France       : To increase by 1/2 of 1% of GNP the deficit of the budget of the State
d.      Italy           : raise economic growth in 1979 by 1.5% over 1978. Cut public expenditure while stimulation investment
e.       Japan        : real growth is 1.5% higher than 1977.
f.        UK                        : 1% fiscal stimulus over GNP to fight inflation
g.      US             : Major actions to counter inflation by: tax cutting, reduce government expenditure very tight budget for 1980 and direct contribution by government regulations or restrictions to rising costs and prices..
4.      Determined to expand international trade---one of the driving forces for more sustained and balanced economic growth. Through joint efforts we will maintain/strengthen the open international trading system...set forth in the Framework of Understanding on the Tokyo Round of Multilateral TRADE Negotiations made PUBLIC in Geneva on July 13, 1978.
5.      There must be a readiness over time to accept and facilitate structural change... Measures to prevent such change perpetuate economic inefficiency....place the using burden...on trading partners and inhibit the integration of developing countries into the world economy.
6.      We are determined in our industrial, social, structural and regional policy initiatives....
7.      Need for countries with large current accounts deficits to increase exports and for countries with large current accounts surpluses to facilitate increases in imports.
8.      We support the soft loan funds of the World Bank and the three regional development banks
9.      We agreed to pursue actively the negotiations of a Common Fund to successfully conclusion and to continue our efforts to conclude INDIVIDUAL COMMODITY AGREEMENTS and to complete studies of various ways of stabilizing export earnings.
10.  Our monetary authorities will continue to intervene to the extent necessary to counter disorderly conditions in the exchange markets. They will maintain extensive consultation to enhance these efforts' effectiveness. We will support surveillance by the IMF to promote effective functioning of the international monetary system.
Sepuluh keputusan ini adalah contoh dari beberapa keputusan yang disahkan dalam KTT G7 Juni 1978. Namun yang menjadi penting dalam kajian disini bukanlah tentang apakah bentuk keputusan ekonomi hasil KTT Bonn ini sesuai atau tidak jika diterapkan di saat krisis masa itu, akan tetapi bagaimana kemudian keputusan ekonomi dapat disetujui secara politis. Bagi Jerman misalnya, kesepakatan Bonn ini lahir akibat tekanan-tekanan eksternal dari dalam pemerintahan Schmidt yang secara sembunyi-sembunyi disusupkan. Faktanya, para pejabat di dalam kantor Kekonsuleran dan Kementerian Ekonomi, serta di dalam Partai Demokrasi Sosial dan serikat buruh berpendapat bahwa harus ada penambahan stimulus domestik perihal ekonomi, mengingat tahun 1980 akan diadakan Pemilu. Namun, mereka sulit untuk merubah itu karena kekuatan oposisi di dalam Kementerian Keuangan, Partai Demokrasi Liberal (partai koalisi pemerintahan), komunitas pebisnis dan perbankan, khususnya para petinggi Bundesbank. Menurut salah satu penasehat terdekatnya, Schmidt berpura-pura enggan dalam menyepakati KTT Bonn tersebut, tapi di memang sengaja mengeluarkan kebijakan yang sebenarnya dia sukai dan dia juga sadar bahwa kebijakan tersebut tidak akan terwujud tanpa menyepakati serangkaian paket yang ada di dalam KTT. Potret seperti ini menunjukkan bahwa tidak selamanya kebijakan yang diambil dalam forum internasional selalu mewakili aspirasi-aspirasi dalam negeri masing-masing negara. Peran diplomasi sangat penting mengingat interaksi antar diplomat akan sangat memengaruhi politik domestik suatu negara.
Dalam memahami keterkaitan yang tergambar dalam contoh diatas, banyak ilmuwan yang mencoba mendalaminya dengan berbagai macam teori. James Rosenau mengatakan bahwa politik domestik dan internasional memang “terhubung”.  Karl Deutsch dan Ernst Haas menekankan bahwa tekanan partai dan kelompok kepentingan lah yang berperan dalam sistem internasional, seperti integrasi negara-negara Eropa misalnya. Joseph Nye dan Robert Keohane lebih menekankan pada teori interdependensia dan transnasionalisme, dimana rezim internasional lebih mendominasi rezim nasional. Graham Allison melihatnya dari sisi hubungan birokratik antar-negara (relation between nations) dalam menentukan pembuatan kebijakan luar negeri. Peter Katzenstein mengatakan bahwa tujuan utama
dari semua strategi kebijakan ekonomi asing adalah untuk membuat kebijakan dalam negeri
kompatibel dengan ekonomi politik internasional. Ia menitikberatkan bahwa pusat pengambilan keputusan yaitu negara[3] harus memperhatikan tekanan domestik dan internasional secara bersamaan. Tapi menurut Putnam, penelitian mengenai pengaruh faktor domestik terhadap kondisi internasional dan vice versa, harus lebih ditingkatkan dengan pendalaman teori lain yang bisa menyatukan kedua hal tersebut dan mengukur seberapa erat keterlibatan antara kedua hal ini.
METAFORA PENDEKATAN TWO LEVEL-GAME
Metafora pendekatan two level-game digunakan Putnam untuk melihat masalah ini lebih jeli. Menurutnya, situasi politik dalam proses negosiasi tingkat internasional mengandung dua tingkatan. Pertama, adalah tingkat nasional dimana kelompok-kelompok penekan dalam negeri terus menekan pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka, dan di sisi lain, politisi juga mengejar kekuasaan melalui pembinaan hubungan yang baik dengan kelompok-kelompok tersebut. Kedua, tingkat internasional dimana pemerintah akan selalu berusaha secara maksimal untuk memuaskan pihak-pihak domestik sambil berusaha menghindari konsekuensi yang merugikan situasi domestik dari pihak luar. Kedua permainan/pertimbangan ini tidak bisa diabaikan oleh sang pengambil keputusan selama negara yang dipimpin adalah negara yang saling bergantung dengan negara lain.
Permasalahan rumit yang sering dihadapi dalam permainan dua tingkatan ini adalah ide-ide yang menurut salah satu pemain rasional, tidak selalu dianggap demikian oleh pemain yang lain. Oleh karena itu, Walton, McKersie dan Daniel Druckman berpendapat bahwa ini bukanlah permainan antara dua pemain yang sama-sama mengusahakan kepuasan nasional dan internasional, tapi permainan ini melibatkan banyak pemain karena interaksi ‘dalam proses’ negosiasi inilah yang menentukan, bukan interaksi antar negosiator.
TEORI RATIFIKASI: PENTINGNYA MENANG DALAM SET (WIN-SETS)
Negosiator bertugas untuk “memuaskan” kedua belah pihak -domestik dan internasional- yang tidak memiliki banyak pilihan dan hanya mengejar kesepakatan yang akan menguatkan posisi kekuasaannya di kalangan konsituennya. Untuk itu, maka perlu adanya penguraian proses negosiasi. Putnam membagi proses ini menjadi dua bagian:
1.      Proses tawar-menawar antar negosiator; dinamakan Tingkat I
2.      Proses diskusi dalam setiap kelompok (pejabat birokrasi, kelompok kepentingan, perserikatan sosial, dan opini publik) mengenai ratifikasi persetujuan; dinamakan Tingkat II
Apa yang terjadi di Tingkat II sangat menentukan proses tawar menawar (Tingkat I) karena negosiator berperan sesuai dengan rekomendasi dan hasil konsultasi di Tingkat II. Adapun faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam win-sets adalah:
a.       Pembagian kekuasaan, pilihan-pilihan dan kemungkinan untuk bersekutu diantara konstituen di Tingkat II
b.      Lembaga-lembaga politik di Tingkat II
c.       Strategi-strategi yang digunakan oleh negosiator di Tingkat I
Adapun peran seorang negosiator meliputi:
·         Meningkatkan posisinya di Tingkat I dengan meningkatkan sumber daya politiknya dan meminimalisir potensi kerugian
·         Menggeser keseimbangan kekuatan di Tingkat I untuk mendukung kebijakan dalam negeri. Negosiasi internasional kadang-kadang memungkinkan para pemimpin pemerintah untuk melakukan apa yang mereka inginkan secara pribadi untuk dilakukan, tetapi tidak mampu melakukannya dalam negeri.
·         Mengejar kepentingan nasional dalam konteks internasional sesuai dengan pandangannya atau konsepsinya
KESIMPULAN
Pendekatan teoritis seperti ini memunculkan beberapa faktor penjelas yang mampu menjelaskan keterhubungan antara diplomasi dan politik domestik, diantaranya:
1.      Perbedaan yang jelas antara persetujuan internasional yang sukarela dan tidak sukarela
2.      Perbedaan yang jelas antara isu-isu yang unsur domestiknya homogen dimana keputusan yang diambil sangat realis, dengan isu-isu yang unsur domestiknya heterogen yang hasil keputusannya lebih kooperatif
3.      fakta yang paradoksal bahwa pengaturan kelembagaan yang memperkuat
posisi pembuat keputusan di dalam negeri dapat melemahkan posisi tawar internasional mereka, dan sebaliknya
4.      pentingnya memperhatikan ancaman internasional, penawaran-penawaran, dan efek samping terhadap insiden domestik mereka di dalam negeri dan luar negeri.


[1] Selengkapnya baca David A. Baldwin, 2008, Theories of Internasional Relations, England, Ashgate Publishing Limited, hal: 177
[2] http://www.womensgroup.org/G7REVIEW.html
[3] Negara disini bukanlah diartikan sebagai wilayah atau kekuasaan, tapi negara lebih dilihat dari segi siapa yang memainkan peran dalam negara tersebut. Oleh karena itu negara adalah bentuk wadah yang keberadaannya diwakili oleh satu aktor yang dipengaruhi oleh beberapa aktor lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar