(Studi Kasus Kepemilikan
Senjata Nuklir Oleh India dan Pakistan)
Oleh : Haryo Prasodjo(haryoprasodjo@ymail.com)
Latar
Belakang
Nuclear
Non-Proliferation Treaty Merupakan
bentuk rezim paling awal dalam hal yang mengatur mengenai kepemilikan senjata
nuklir. Nuclear Non-Proliferation Treaty sendri berbentuk sebuah
perjanjian yang yang mengatur dan membatasi kepemilikan senjaa nuklir
oleh negara-negara di dunia. Perjanjian ini merupakan sebuah tindak lanjut dari
traktat yang dibuat pada tahun 1063 mengenai pelarangan uji coba senjata
nuklir, di udara, angkasa, maupun di dalam laut. Perjanjian itu sendiri pertama
kalinya diusulkan oleh Oleh Irlandia dan ditandatangani pertama kalinya oleh
Finlandia pada tanggal 1 Juli 1968 di New York Amerika Serikat. Nuclear
Non-Proliferation Treaty mulai berlaku pada sejak 5 Maret 1970 setelah
diratifikasi oleh Inggris, Amerika, Uni Sovet dan juga 40 negara lainnya.[1]
Dalam perkembangannya, Nuclear Non-Proliferation Treaty juga turut
mengatur mengenai aturan kepemilikan senjata nuklir. Baik bagi negara yang
memiliki senata nuklir, maupun bagi negara-negara yang tidak memiliki senjata
nuklir. Yang mana perjanjian ini mengatur mengenai regulasi yang terkait dengan
pengembangan persenjataan nuklir, yang salah satunya melarang bagi
negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mendistribusikan baik bantuan teknis
maupun tekhnologi nuklirny akepada negara-negara yang tidak memiliki senjata
nuklir untuk membangun sebuah reaktor nuklir. Perjanjian itu sendiri memiliki
tiga pokok utama yaitu nonprofelirasi, pelucutan, serta hak untuk menggunakan
tekhnologi nuklir untuk tujuan damai. Selain adanya aturan regulasi mengenai
kepemilikan senjata nuklir dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty juga
terdapat kesepakatan antar negara pemilik senjata nuklir diantaranya Amerika,
Inggris, Rusia, China, dan Prancis yang mana kelima negar tersebut bersepakat
untuk mengurangi kepemilikan senjata nuklirnya secara bertahap. Yang mana hal
tersebut dalam jangka waktu tertentu akan dapat menghilangkan seluruh bentuk
senjata nuklir dari muka bumi. Sedangkan bagi negara-negara yang tidak memiliki
senjata nuklir Nuclear Non-Proliferation Treaty mengaruskan kepad
anegara-negar tersebut untuk tidak memproduksi ataupun mengembangkan energi
nuklir. Sedangkan kepada beberapa negara yang sudah memliki energi nuklir namun
digunakan sebagai bentuk sumber energi seperti industri, pembangkit, dan tujuan
damai lainnya. Maka akan diperkenankan kepada negara-negare tersebut untuk
mengembangkannya sejauh negara-negara tersebut bersedia secara bertahap untuk
diperiksa oleh International
Atomic Energy Agency (IAEA), serta menaati aturan
perlindungannya yaitu IAEA Safeguards. Yang mana seluruh
negara-negara yang telah menandatangani Nuclear
Non-Proliferation Treaty, maka
akan diberlakukan beberapa aturan-aturan tertentu.
NPT sendiri dibangun berdasarkan tiga pilar yaitu: non-proliferasi, disarmament
(pembatasan senjata), dan pemanfaatan energi atau teknologi nuklir secara
damai. Salah satu pandangan dari pengamat Barat mengenai non-proliferasi ini
menyatakan bahwa alasan inti dan tujuan utama dari NPT adalah untuk mencegah
penyebaran senjata nuklir. Dalam pandangan ini, keberadaan tiga pilar yang telah
disebutkan umumnya diakui, tetapi dua pilar terakhir dianggap sebagai pilar
sekunder dan kurang penting. Analis konservatif Baker Spring telah
mengartikulasi pandangan ini dengan kejelasan yang tidak biasa, Spring
memandang NPT dirancang terutama untuk mencegah penyebaran senjata nuklir.[2]
Dua pilar terkahir dari perjanjian NPT ini tidak dianggap sebagai pilar yang
sebenarnya, dua pilar terakhir merupakan sub-ordinat (disarmament, dan
pemanfaatan energi atau teknologi nuklir secara damai) dari ordinat utamnya
(non-proliferasi nuklir). NPT dianggap sebagai alat untuk menahan penyebaran
senjata nuklir. Ini adalah perannya dalam kebijakan non-proliferasi dari banyak
negara, terutama Amerika Serikat. Selain NPT, terdapat IAEA. International
Atomic and Energy Agency (IAEA) merupakan organisasi internasional di
bawah naungan PBB yang menetapkan aturan perlindungan (IAEA Safeguards)
berupa teknis mengenai pengaturan penggunaan material nuklir secara damai dan
kesepakatan pengadaan inspeksi secara berkala terhadap negara-negara
anggotanya. IAEA pertama kali dicetuskan pada tahun 1957 di Vienna yang diikuti
oleh 126 negara. Fungsinya tidak hanya melakukan pengawasan (monitoring)
maupun inspeksi kepada negara-negara anggota, namun juga ke negara-negara bukan
anggota yang memiliki material nuklir seperti India, Israel, dan Pakistan,
dengan adanya ijin atau permintaan dari negara yang bersangkutan. Tujuannya
adalah untuk memastikan bahwa negara-negara yang memiliki material nuklir tidak
akan mengembangkannya menjadi senjata. Selain itu IAEA memiliki kuasa terhadap
negara-negara anggotanya berupa inspeksi dan peninjaun yang dapat dilakukan
bahkan di situs atau tempat yang tidak menggunakan material nuklir.[3]
IAEA juga berhak atas adanya keterbukaan informasi mengenai instalasi-instalasi
nuklir, dan juga data lengkap atas ekspor, impor, maupun produksi material
nuklir. Selain itu, jumlah material nuklir, kegunaan, dan juga proyek
penelitian yang melibatkan adanya proses pengayaan uraniaum atau pun plutonium
harus dilaporkan secara berkala kepada IAEA. Sistem inspeksi atau IAEA Safeguards
ini lalu digunakan sebagai salah satu elemen penting dalam rangka melengkapi
NPT dalam rezim non-proliferasi nuklir internasional.
Berakhirnya
perang dunia ke II menandakan sebuah revolusi yang mengubah seluruh tatanan
dunia. Revolusi tersebut telah membentuk sebuah model hubungan baru antar
bangsa dan juga mengubah sebuah tekhnologi menjadi hal yang paling fundamental
dalam persepsi keamanan. Pada dekade 1945-1947, setidaknya terjadi tiga peristiwa
penting yang mewarnai dunia internasional. Dimulai dari pembentukan PBB,
pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, hingga kemerdekaan yang
diberikan Britania kepada India dan Pakistan. Tiga peristiwa penting inilah
yang pada akhirnya memberikan sebuah gambaran baru bagi dunia, betapa
pentingnya sebuah tekhnologi untuk keamanan nasional.[4] Kebijakan
penggunaan nuklir India sendiri terbagi dalam tiga tahap yaitu tahun 1947-1974,
1974-1998, dan 1998 hingga saat ini. Pada awal mulanya, kebijakan penggunaan
nuklir ini di perkenal kan pada masa pemerintahan PM Jawahahral Nehru. Saat
itu, program pertama nuklir tersebut diartikulasikan dalam pidato di PBB tahun
1953. Tujuan dari program ini adalah untuk membatasi penggunaan nuklir sebaga
senjata dan dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak sebagai sumber
energi. Di tahun 1955, dengan bantuan dari Kanada dan Amerika Serikat, India
memulai program nuklirnya di wlayah Trombay. Dan pada tahun 1960-1961, diadakan
program nuklir dengan perusahaan Amerika Serikat dalam membangun pembangkit
listrik tenaga nuklir di Tarapur, India.[5]
Pada masa tesebut, ratusan lmuan India dilatih di berbagai laboratorium dan
universitas di Amerika Serikat. Dan pada tahun 1964, untuk pertama kalinya,
India memiliki senjata plutonium. Pada tahun 1968, India menolak untuk
menandatangani perjanjian Nuclear Non
Proliferasi Treaty. Dan terus melanjutkan program nuklirnya untuk
kepentingan militer. Dan pada tanggal 18 Mei 1974, untuk pertama kalinya India
melakukan uji coba nuklir di wilayah Pokhran. Meskipun yang diledakkan oleh
India saat itu bukan merupakan sejata nuklir, namun peristiwa terseut telah
membuat dunia mengetahui, jika India memiliki kemampuan untuk menciptakan
senjata dengan kekuatan nuklir. Dan pada fase keduanya, ditahun 1974-1998,
India secara tekhnis sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan senjata nuklir.
Namun berdasarkan kebijakan dalam negeri India, negara tersebut tidak akan
memproduksi senjata nuklir jika tidak dalam keadaan terdesak. Dan pada rentang
tahun 1980-1990, India kembali menyempurnakan desain dan kemampuan tekhnologi
nuklirnya. Dalam hal ini, India juga berhasil memodifikasi beberapa pesawat
tempurnya untuk dapat menganngkut rudal balistik yang berkemampuan nuklir.
Dan
pada tanggal 11 Mei 1998, untuk yang kedua kalinya, India kembali melakukan
ujicoba nuklirnya. Dan semenjak tahun tersebut, India telah mampu bergerak maju
dalam program persenjataan nuklir. Namun pada bulan Agustus tahun 1999,
Pemerintah India mengeluarkan sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa program
nuklir India semata-mata hanya sebagai langkah pencegahan keamanan dlam
negerinya saja. Dalam pernyataan tersebut, juga ditulskan bahwa India tidak
akan menjadi negara pertama yang akan memulai serangan dengan menggunakan
nuklir. India hanya akan melakukan respon balasan, jika kiranya terjadi sebuah
serangan ke India[6].
India sendiri menjadikan nuklir sebagai alat untuk menaikkan bergaining positionnya dari
negara-negara disekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu India
yaitu pada tahun 1965, di mana India mendapatkan invasi secara tiba-tiba dari
China. Dengan keberadaan China dan juga ancaman dari Paksitan India kembali
dihadapkan pada dua negara dengan kekuatan militer yang besar. Maka dari
pertimbangan tersebutlah, India
memutuskan untuk mempersenjatai negaranya dengan kekuatan nuklir.
Berbeda
dengan India, program nuklir Pakistan dimulai secara konsepsi pada tahun 1972
yang diprakarsai oleh Zulfiqar Ali Bhutto setelah Pakistan Timur lepas dari
Pakistan Barat dan berdiri sendiri menjadi negara yang berdaulat dengan nama
Bangladesh. Setelah menerima kekalahan tersebut, Pakistan yang di pimpn oleh
Bhutto menginstruksikan pembangunan program nuklir dalam tiga tahun ke depan.
Program tersebut dimulai dengan pertemuan fisikiawan di Multan, Pakistan di
bulan Januari 1972. Di mana, uji coba nuklir yang dilakukan oleh India di tahun
1974 telah memberikan sebuah momentum baru bagi Pakistan untuk sesegera mungkin
memulai program nuklir negara tersebut. Di tahun 1975 seoran ahli metalurgi
Pakistan Dr Abdul Qadeer Khan yang merupakan salah seorang pegawai bekerja
perusahaan pengayaan Urenco di Jerman dan Belanda. Pada tanggal 23 Desember
1976, Kanada menghentikan bantuan dan hubungan kerjasama program nuklir di
Pakistan. Pemutusan hubungan kerja ini akibat dari Pakistan yang tidak mau
menandatangani NPT dan IAEA untuk negara-negara pemilik nuklir. Meskipun
demikian, pada tahun 1986 Pakistan telah berhasil membuat bahan fosil yang
digunakan sebagai senjata nuklir. Dan pada tahun 1987, Pakistan telah hadir
sebagai negara yang memiliki kemampuan nuklir. Dan memasuki tahun 1990 an,
Pakistan memulai sebuah program untuk mengejar kemampuan produksi plutodium.
Hal ini dikarenakan, ketatnya aturan
internasional yang terkait dengan penjaulan bahan tersebut. Meskipun demikian,
China melalui sebuah anak perusahaan China
National Nuclear Cooperationnya, masih sebagai nengara penyokong bantuan
yang berupa dukungan material dan juga dukungan teknis.[7]
Selain itu, Cina juga merupakan negara yang paling berkontribusi dalam
pengembangan pengayaan urainum dan proyek nuklir Pakistan. Terutama di akhir
era tahun 1970, di mana China memberkan berbagai bantuan seperti bahan nuklir, bantuan teknis, desain hulu
ledak, serta beberapa komponen sistem rudal. Selain dari China, Pakistan juga
mendapatkan pasokan bahan-bahan proyrk nuklir tersebut dari beberapa negara
bekas Uni Soviet di wilayah Eropa Barat. Selain digunakan untuk kepentingan
dalam negerinya, program nuklir Pakistanpun melakuakn transver tekhnologi ke
beberapa negara. Diantaranya adalah Iran, Korea Utara, dan Libya. Di mana
jaringan program nuklir terselubung ini di bongkar di tahun 2004.[8]
Bahkan
dalam perjalanannya, Pakistan pernah mendapatkan sanksi berupa embargo bantuan
militer dan ekonomi dari Amerika Serikat, meskipun pada akhirnya embargo
tersebut kembali dicabut menginggat Pakistan merupakan negara yang memiliki
posisi strategis bagi Amerika untuk memantau Afghanistan. Sama seperti India,
proram nuklir Pakistan hanya diberlakukan sebagai program keamanan nasional
negara tersebut. Pakistan yang diwakilkan oleh Presiden Musharraf, menyatakan
bahwa Pakistan tdak ingin berkonflik dengan negara tetangganya India. Pakistan
tidak akan menjadi negara pertama yang mengguankan nuklir sebagai bentuk
serangan. Namun jika terjadi sebuah persaingan nuklir, maka Pakistan akan
datang dengan kekuatan penuh.[9]
Namun hampir sama dengan India adalah, pada era tahun 1960 saat awal mula
program nuklir di Pakistan dimulai. Pakistan mendapatkan bantuan berupa $
350.000 US Dolar untuk membangun sebuah reaktor riset pertama yang dikenal
dengan Pakistan Atomic ResearchReactor
(Parr-1) yang mulai beroprasi di tahun 1965.[10]
Pakistan merupakan salah satu anggota dari program multilateral Global
Initiative to Combat Nuclear Terorism. Pakistan juga sudah masuk kedalam
jajaran negara dengan kontrol ketat pada tekhnologi nuklir. Termasuk pada
kontrol ekspor di tahun 2004, yaitu sebuah departemen Strategic Export Control
Division yang mengatur regulasi ekspor nuklir, senjata biologi, dan juga produk
misil.[11]
Baik India maupun Pakistan keduanya merukana negara baru yang memiliki
kemanpuan untuk membuat senjata nuklir, namun hingga saat ini kedua negara
tersebut belum juga menandatangai dan bergabung dengan negara-negara yang masuk
dalam organisasi NPT.
Rumusan
Masalah
Dalam tulisan ini maka rumusan masalah yang
diajukan adalah “Sejauh mana efektivitas rezim internasional dapat mengatur
kepemilikan nuklir India-Pakistan?”
Kerangka
Dasar Teori
Efektivitas
Rezim Internasional
Krasner mendefinisikan rezim sebagai
prinsip implisit maupun eksplisit bak berupa norma, aturan, maupun prosedur
pengambilan keputusan yang dihadiri oleh beberapa aktor tertentu yang merupakan
bagian dari hubungan internasional.[12] Dalam definisi lainnya, rezim dapat diartikan
sebagai pengaturan yang lebih khusus dan berkaitan dengan kegiatan yang
berhubungan dengan sumber daya atau wilayah georgrafis yang melibatkan beberapa
aktor dari anggota masyarakat internasional.[13] Dalam definisi lainnya Oran R young juga
mendefinisikan rezim sebagai institusi sosial yang
dapat mengatur tindakan dari setiap anggotanya. Dimana anggota tersebut
tertarik pada sebuah aktifitas yang spesifik, yang secara singkat rezim dapat
dikatakan sebagai sebuah struktur sosial.[14]
Dalam kasus ini untuk melihat efektifitas dari rezim yang ada pada organisasi Nuclear
Non-Proliferation Treaty dan International Atomic and
Energy Agency dalam
mengatur kepemilikna senjata nuklir khususnya yang ada di India dan Pakistan.
Maka akan digunakan pendekatan efektifitas rezim dari Arild Underdal Dimana Dalam
konsep efektivitas rezim terdapat setidaknya Arild Underdal memsahkan antara
variabel dependen sebagai efektivitas dari rezim itu sendiri dan juga
independen variabel yang terdiri dari tipe permasalahan yang ada dan juga
kemampuan dari rezim untuk menguraikandan menyelesaikan masalah tersebut.
Adapun intervening variabel merupakan variabel yang terbentuk dari
variabel-variabel independen namun juga memiliki pengaruh terhadap varabel
dependen. Intervening variabel juga dapat dikatakan sebagai tigkat kalaborasi
dari anggota sebuah rezim.
Variabel Dependen
Setidaknya
variabel dependen memiliki 3 komponen untuk menganalisa efektifitas sebuah
rezim. Yang mana variabel dependen sendiri terdiri dari output, outcome, dan
impact yang mana ketiga komponen tersebut terdapat dalam sebuah rezim.
Output
Output
biasanya tediri dari pengorganisasian, program, dan aturan yang ditetapkan oleh
anggota yang terdapat dalam sebuah rezim untuk mengoprasonalkan ketentuan yang
terdapat dalam rezim tersebut. Sehingga hal-hal yang pada awalnya hanya berupa
kesepakatan dapat diwujudkan dalam sebuah proses pembentukan yang dapat
berwujud secara tertulis maupun tidak tertulis. Dalam kasus nuklir yang
dimiliki oelh India dan Pakistan output akan dilihat melalui serangkaain
program dan juga aturan yang ada pada NPT dan IAEA dalam mengatur negara-negara
pemilik energi nuklir namun tidak tergabung dalam keanggotaan organisasi
tersebut
Outcome
Outcome
dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan perilaku pada suatu obyek yang terkena
imbas dari ketentuan yang berlaku dalam sebuah rezim. Baik berupa penghentian
tindakan yang dilakukan sebelum rezim berdiri maupun tindakan yang tidak
dilakukan sebelum rezim berdiri. Dalam kasus ini kita akan melihat ada tidaknya
perubahan prilaku pada obyek dalam hal ini negara India dan Pakistan.
Impact
Impact berkaitan dengan tingkat keberhasilan dari
efektivitas rezim tersebut dalam mengatasi masalah yang menjadi dasar dari pemikiran
dalalm pembentukan rezim. Yang mana dari masa ini, dapat dilihat apakah obyek
mengikuti atau tidak mengikuti rezim yang ingin diikuti oleh obyek tersebut.
Meskipun India dan Pakistan tidak tergabung dalam organisasi tersebut,
setidaknya organisasi NPT dan juga IAEA memiliki serangkaian agenda dan program
yang mengatur keberadaan nuklir di muka bumi.
Variabel
Independen
Jika
hubungan yang terdapat antar aktor dalam hal ini negara cendrung benign, maka
rezm yang ada akan mudah dalam mendapatkan kesepakatan bersama. Sedangkan
sebaliknya, jik ahubungan yang terjalin antar aktor negara lebih bersifat
malign, maka akan sangat sulit untuk mencapai kesepakatan bersama. Semakin
harmonis dan erat hubungan antar aktor negara yang ada dalam sebuah rezim
internasional, maka permasalahan yang ada biasanya lebih cenderung bersifat
benign. Begitupun sebaliknya, semakin tidak harmonis aktor yang terlibat di
dalamnya, maka sebuah masalah yang ada dalam sebuah rezim akan bersifat malign.
Dengan menggunakan variabel ini kita akan melihat sejauh mana permasalahan yang
ada terkait kepemilikan nuklir India dan Pakistan dapat diorganisir oleh rezim
yang ada pada NPT dan IAEA.
Problem
Malignancy
Masalah yang ada dalam sebuah rezim akan menjadi sangat
rumit ketika masalah tersebut justru membuat negara - negara tidak mau
bekerjasama baik secara politis maupun kesepahaman. Hal ini dikarenakan memang
dalam situasi seperti ini akan sulit bagi negara untuk mencapai titik temu.
Malignancy ini memiliki 3 karakter antara lain
Incongruity, Asymmetry dan Cumulative
Cleavages.
-
Incongruity
Ketidaksepahaman
tersebut akibat tidak semua negara anggota dari sebuah rezim menganggap suatu
isu sebagai sebuah bentuk permasalahan yang urgent.
-
Asymetry
Lebih
disebabkan karena adanya kepentingan nasional yang berbeda – beda antara negara
anggota yang terdapat dalam sebuah rezim.
-
Cumulative Cleavages
Dalam situasi seperti ini biasanya,
perbedaan ada sudah dalam tahap yang terakumulasi sehingga dapat menimbulkan
perpecahan antar negara anggota.
Problem
Solving Capacity
Underdal berargumen bahwa permasalahan yang terdapat dalam
sebuah rezim dapat diatasi secara efektif apabila masalah tersebut ditangani
oleh lembaga atau sistem yang memiliki power yang kuat yang didukung
dengan adanya ketrampilan atau skill serta energi yang memadai dari lembaga
tersebut. Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem
solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri
dari tiga unsur, yaitu:
-
Seting
kelembagaan (institutional setting the rules of the game) yang terdapat
dalam rezim tersebut.
-
Distribusi
kekuasaan (distribution of power) diantara aktor-aktor yang terlibat
dalam masalah. Jika terapat pembagian kekuasaan yang adil, dimana terdapat
pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk
mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk
mengontrol pihak dominan.
-
Skill
(keahlian) dan energy (kekuatan)
yang tersedia bagi rezim yang digunakan untuk mencari.
Intervening Variable
Dalam melihat tingkat kolaborasi sebuah rezim internasional,
Underdal mengemukakan enam skala ukuran level kolaborasi, yang dapat dilihat
dalam skala dibawah ini:
Level
of Collaboration (skala 0-5)
0. Gagasan bersama tanpa suatu koordinasi
tindakan bersama
1. Koordinasi tindakan secara diam – diam
2. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau
standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya
di tangan pemerintah sebuah negara. Tidak ada penilaian terpusat akan
efektivitas dari sebuah tindakan.
3. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau
standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya
di tangan pemerintah sebuah negara. Terdapat penilaian terpusat akan
efektivitas dari sebuah tindakan.
4. Koordinasi yang terencana, dikombinasikan
dengan implementasi pada level nasional. Didalamnya terdapat penilaian terpusat
akan efektivitas sebuah tindakan.
5. Koordinasi dengan perencanaan dan
implementasi yang menyeluruh terintegrasi, dengan penilaian terpusat akan
efektitivitas.
Dari
penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pada intinya tingkatan kolaborasi
terdiri dari beberapa langkah, sebagai berikut: gagasan bersama, koordinasi
tindakan, rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi
pada tingkat nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara
perencanaan dan implementasi. Untuk mengetahui tingkatan kolaborasi dalam
sebuah rezim internasional, perlu melihat unsur – unser tersebut.
Hipotesa
Rezim yang ada dalam NPT dan IAEA akan tetap
mengikat baik kepada India maupun Pakistan. Dikarenakan meskipun India dan
Pakistan tidak termasuk kedalam negara-negara yang menandatangani kesepakatan
dalam NPT, namun rezim disepakati oleh negara-negara yang masuk dalam NPT dapat
juga mengikat India dan Paksitan. Hal ini terkait dengan posisi kedua negara
tersebut yang levelnya berada di bawah negara-negara yang menandatangani NPT.
Seperti yang kita ketahui, negara-negara yang menandatangani NPT merupakan
negara-negara besar yang sebagian adalah Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak
veto. Sehingga, meskipun India dan Pakistan tidak menandatangani kesepakatan
NPT tersebut. Rezim yang ada pada NPT dan juga IAEA masih tetap akan berimbas
bagi kedua negara tersebut. Meninggat baik India maupun Paksitan, masih
menggantungkan pengembangan tekhnologi nuklirnya kepada negara-negara besar
tersbut, seperti Amerika, China, dan Rusia. Rezim yang mengikat bukanlah datang
dari NPT maupun IAEA, melainkan datang dari kesadaran India-Pakistan akan
ketergantungan mereka pada negara-negara besar yang ada dalam NPT tersebut.
Daftar Pustaka
Dalam “ The Nuclear Non
Prolifiration Treaty : History and Currnet Problems”. Diakses melalui http://www.armscontrol.org/act/2003_12/Bunn. Pada tanggal
10 Nopember 2014.
Dalam “John Isaacs vs. Baker Spring on Nuclear Reductions”. Diakses melalui http://livableworld.org/media/experts/isaacs_debate_021610/. Pada tanggal 10 Nopember 2014.
Dalam “The History of the IAEA,
Revisiting the Past”. Diakses melalui http://www.iaea.org/about/history. Pada tanggal
10 Nopember 2014.
Dalam
“India’s Nuclear Weapons Program, The
Beginning 1944-1960”. Last changed 30 March 2001. Diakses melalui //nuclearweaponarchive.org/India/IndiaOrigin.html. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Oleh Chocran, Dr
Thomas B. Dalam “ India Nuclear Weapon”.
Last Changed 2014/01/31. Diakses melalui //www.britannica.com/EBchecked/topic/421827/nuclear-weapon/275663/India. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Dalam
“India Nuclear Weapons”. Diakses
melalui http://fas.org/nuke/guide/india/nuke/. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Dalam “Pakistan Nuclear Weapons, A Brief History
of Pakistan’s Nuclear Program”. Diakses melalui http://fas.org/nuke/guide/pakistan/nuke/. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Nuclear Black Markets: Pakistan, A.Q. Khan and
the Rise of Proliferation Networks, (London: International Institute for
Strategic Studies, 2007).
Feroz Hassan
Khan, Eating Grass: The Making of
the Pakistani Bomb
(Stanford, CA: Stanford University Press, 2012), Hal 351-352.
Oleh
Subletey, Carey. Dalam “The Beginging
Pakistan’s Nuclear Weapons Program”. Perubahan terakhir 2 Januari 2002.
Diakses melalui http://nuclearweaponarchive.org/Pakistan/PakOrigin.html. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Dalam "Pakistan Joins Initiative to Combat
Nuclear Terrorism, Establishes Strategic Export Control Division,"
International Export Control Observer, June/July 2007, p. 3,
http://cns.miis.edu.
Krasner, Stephen
D. 1983c. Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening
Variables. In International Regimes, edited by S.
D. Krasner. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Young, Oran R.
1989. International cooperation :
building regimes for natural resources and the environment. Ithaca:
Cornell University Press. p. 13.
International
Regimes: Problems of Concept Formation Source: Oran R. Young, World Politics,
Vol. 32, No. 3 (Apr., 1980), pp.331-356 Published by: Cambridge University
Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2010108 Accessed: 09/02/2010
07:16, hal.332.
[1] Dalam “ The Nuclear Non Prolifiration Treaty : History and Currnet Problems”.
Diakses melalui http://www.armscontrol.org/act/2003_12/Bunn. Pada tanggal 10 Nopember 2014.
[2] Dalam “John Isaacs vs. Baker Spring on Nuclear Reductions”. Diakses melalui http://livableworld.org/media/experts/isaacs_debate_021610/. Pada tanggal 10 Nopember 2014.
[3] Dalam “The History of the IAEA,
Revisiting the Past”. Diakses melalui http://www.iaea.org/about/history. Pada tanggal 10 Nopember 2014.
[4] Dalam “India’s Nuclear Weapons Program, The
Beginning 1944-1960”. Last changed 30 March 2001. Diakses melalui //nuclearweaponarchive.org/India/IndiaOrigin.html. Pada tanggal
22 Juni 2014.
[5] Oleh Chocran, Dr Thomas B. Dalam
“ India Nuclear Weapon”. Last Changed
2014/01/31. Diakses melalui //www.britannica.com/EBchecked/topic/421827/nuclear-weapon/275663/India. Pada tanggal 22 Juni 2014.
[6] Dalam “India Nuclear Weapons”. Diakses melalui
http://fas.org/nuke/guide/india/nuke/. Pada tanggal 22 Juni 2014.
[7] Dalam “Pakistan Nuclear Weapons, A Brief History of Pakistan’s Nuclear
Program”. Diakses melalui http://fas.org/nuke/guide/pakistan/nuke/. Pada tanggal 22 Juni 2014.
[8]
Nuclear Black Markets: Pakistan, A.Q. Khan and
the Rise of Proliferation Networks,
(London: International Institute for Strategic Studies, 2007).
[9] Feroz Hassan Khan, Eating Grass: The Making of the Pakistani Bomb (Stanford, CA: Stanford
University Press, 2012), Hal 351-352.
[10] Oleh Subletey,
Carey. Dalam “The Beginging Pakistan’s
Nuclear Weapons Program”. Perubahan terakhir 2 Januari 2002. Diakses
melalui http://nuclearweaponarchive.org/Pakistan/PakOrigin.html. Pada tanggal
22 Juni 2014.
[11]
Dalam "Pakistan Joins
Initiative to Combat Nuclear Terrorism, Establishes Strategic Export Control
Division," International Export Control Observer, June/July 2007, p.
3, http://cns.miis.edu.
[12] Krasner, Stephen D. 1983c.
Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables. In
International Regimes, edited by S. D. Krasner.
Ithaca, NY: Cornell University Press.
[13] Young, Oran R. 1989. International cooperation : building regimes
for natural resources and the environment. Ithaca: Cornell University Press. p. 13.
[14] International
Regimes: Problems of Concept Formation Source: Oran R. Young, World
Politics, Vol. 32, No. 3 (Apr., 1980), pp.331-356 Published by: Cambridge
University Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2010108 Accessed:
09/02/2010 07:16, hal.332.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar