Beverly Crawford
Ancaman Uni Soviet berakhir seiring dengan
berakhirnya perang dingin. Selain itu, fungsi dari dari NATO juga semakin menjadi samar. Alasan yang
pertama adalah, terjadinya pergeseran dalam cara memandang keamanan. Sebelumnya
keamanan dipandang sebagai cara bagaimana dapat terhindar dari ancaman yang
diakibatkan dari kecurigaan dan ketakutan dengan cara bekerjasama secara kolektif. Namun saat
ini, keamanan lebih dipandang dengan bagaimana cara negara-negara dapat bekerjasama dalam
level konsensus. Selain itu terdapat juga sebuah argumen yang mengatakan bahwa
setelah berakhirnya perang dingin, kelembagaan NATO akan menjadi semakin kuat
dan kompetibel dengan keadaan Eropa. NATO juga memiliki hubungan yang kuat
dengan PBB dan memiliki pembagian kerja yang jelas. Untuk mengawali tulisan tersebut setidaknya terdapat
beberapa pertanyaan. Apa yang membentuk kekuatan, sifat, dan
ruang lingkup rezim yang dominan di Eropa pasca perang dingin? Apakah keamanan
di Eropa terbentuk dengan adanya kerjasama antar negara-neara diEropa dalam
lembaga internasional? Adakah lembaga yang kompetibel antara satu dengan yang
lainnya dan memiliki upaya untuk bekerjasama menangani isu-isu keamanan? Atau
Eropa sedan gberusaha untuk membentuk sebuah rezim keamanan regional baru yang
independen dan berbeda jauh dari NATO? Ataukan, karena rezin mengenai keamanan
di Eropa semakin melemah seiring dengan berakhirnya perang dingin sehingga
menimbulkan peningkatan kompetisi dan perselisihan antara negara di Eropa
terkait dengan syarat keamanan di Eropa?
Tulisan ini akan
menjawab pertanyaan di atas secara parsial dengan membahas mengenai respon
Barat yang berkembang untuk melakukan perang di bekas negaraYugoslavia. Perang
ini terbukti penting untuk memulai kembali kerjasama dan masalah-masalah
perselisihan dalam keamanan Eropa. Dan perang tersebut merupakan perang yang
pertama kalinya di Eropa semenjak perang di tahun 1945. Ketika awal tahun 1991,
perang tersebut dianggap sebagai sebuah kesemaptan untuk membentuk sebuah
komunitas keamanan Eropa yang dapat bertindak secara independen dan terlepas dari
pengaruh komunitas Atlantik. Serta dapat menunjukkan bahwa lembaga regional
dapat menyelesaikan konflik tersebut. Namun saat lembaga regional tersebut
gagal mengatasinya, dan perang semakin meluas ke Bosnia. Banyak pakar
menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesedian Eropa untuk dapat
bekerjasama dengan Amerika dalam menyesuaikan perubahan keadaan geo-strategis
di sektiar Eropa. Kasus ini menentukan sejauh mana Eropa dapat bertindak
independen dalam masalah keamanan, dan sejauh mana tanggapan multilateral dan
unilateral untuk dapat mendefinisikan keamanan, serta sejauh mana lembaga
keamanan Eropa dapat berinteraksi dengan lembaga-lembaga internasional lainnya.
Beberapa pendapat
mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan kebutuhan bagi Eropa untuk membentuk
sebuah lembaga baru ataupun memodifikasi lembaga yang sudah ada. Kondisi
tersebut merupakan kondisi yang mengharuskan tawar menawar yang erat
hubungannya dengan keberlangsungan atau menghentikan kerjasama di masa depan. Akhir perang dingin dan
awal perang di Yugoslavia memberikan dorongan awal untuk negara-negara
Eropa, Rusia, dan
Amerika Serikat dalam tawar-menawar yang secara langsung akan berdampak pada peluang kerjasama keamanan diantara mereka. Tulisan ini akan menelusuri
tawar-menawar antara mereka dan
dampaknya terhadap kekuatan, ruang
lingkup, dan kompatibilitas institusi
keamanan di Eropa. Kita akan
melihat bahwa negara-negara dapat
memilih untuk bertindak secara sepihak
dalam sebuah lembaga multilateral, dimana lembaga itu sendiri memiliki tujuan
yang berbeda yang terkadang justru
bertentangan. Maka tidak mengherankan jika anggota mereka menggunakan berbagai institusi sebagai perisai dan senjata
dalam pertempuran politik antara
satu dengan lainnya.
Kasus dibagi dalam dua putaran
perundingan: Keputusan yang menyebabkan pengakuan Kroasia pada tahun 1991, dan tawar-menawar untuk
mengakhiri konflik di Bosnia
yang dimulai pada bulan April 1992. Argumen dalam tulisan ini dapat dinyatakan secara ringkas: Ketika perang dimulai, anggota
Masyarakat Eropa memutuskan untuk mencoba resolusi konflik
di daerah yang mereka putuskan, tanpa
keterlibatan lembaga-lembaga internasional ataupun keterlibatan Amerika Serikat. Bagaimanapun, lembaga-lembaga yang ada di Eropa belum siap
untuk dapat bertindak tegas dalam menengahi solusi dengan jalan diplomatik.
Secara khusus, norma-norma yang
ada membimbing dan memberikan respon
multilateral yang justru bertentangan dan cenderung lemah. Dalam lingkungan tersebut juga didorong oleh kekuatan politik
dalam negeri. Jerman mengambil langkah sepihak
mengakui Kroasia sebagai
negara berdaulat.
Pengakuan akan
kedaulatan Kroasia
memiliki tiga efek yang penting. Pertama, memberikan peringatan
kepada masyarakat internasional mengenai
bahaya dari tindakan yang diambil secara
sepihak dan di setiap titik keputusan
selanjutnya, negara dituntut untuk dapat membuat keputusan dengan jalan kompromi di dalam lembaga-lembaga internasional sebagai upaya untuk menjaga keamanan
serta kerjasama luar
negeri untuk saling dapat mencegah satu sama lain dari intervensi di sisi yang berlawanan dalam sebuah konflik.
Dalam masalah tersebut
Jerman melihat tindakannya sebagai
link substantif antara hak untuk menentukan
nasib sendiri dan pengakuan internasional.
Sedangkan negara-negara lain melihat apa
yang dilakukan oleh Jerman sebagai langkah taktis
yang didasarkan pada perhitungan daya. Kedua, pengakuan
Kroasia dan kegagalan
upaya Komisi Eropa untuk memberikan
solusi diplomatik dalam konflik
tersebut, menjadikan
keterlibatan internasional semakin meluas dan membawa di Amerika Serikat
beserta PBB memperluas upaya untuk mengkoordinasikan kegiatan perdamian. Ironisnya, langkah sepihak yang dilakukan oleh Jerman
di babak pertama pada konflik
tersebut justru menyebabkan penguatan
insentif untuk kerjasama multilateral dan koordinasi
lembaga Eropa dengan NATO dan PBB. Artinya,
hal itu mengarah pada kerjasama
kelembagaan yang lebih intens
dalam divisi kelembagaan kerja. Ketiga, pengakuan Kroasia
oleh masyarakat internasional juga menyebabkan
pengakuan Bosnia sebagai
negara yang merdeka dan menyebabkan perang semakin meluas. Situasi tersebut membatasi
kemampuan lembaga-lembaga internasional untuk dapat mengambil bagian dalam apa yang ditentukan oleh Bosnia sebagai "perang
saudara."
Ini merupakan tujuan masyarakat
internasional untuk dapat: a)
bekerjasama menuju solusi diplomatik
yang akan menjunjung
tinggi nilai toleransi dalam bentuk melestarikan komunitas multietnis di
Bosnia, b) mencoba
untuk mengakhiri pertempuran
dan mengakhirinya melalui diplomasi, dan c)
melindungi hak asasi manusia, dan memberikan bantuan
kemanusiaan. Dalam mengejar tiga
gol tersebut, norma luar biasa dari upaya
mereka adalah pelestarian multilateralisme dan bukan
pelestarian Bosnia. Dan untuk Amerika Serikat, tujuannya tidaklah lain adalah untuk
memperkuat NATO. Ketika mengejar solusi substantif
maka tiga cabang dari
krisis yang terjadi di Bosnia mengancam untuk merusak multilateralisme
atau saat tujuan bertentangan satu sama lain, kekuatan besar selalu memilih strategi
yang akan melestarikan kerjasama mereka atas strategi yang efektif akan menghentikan
pertumpahan darah dan melindungi hak asasi manusia .
Kebijakan dibangun untuk menekan
nilai-nilai liberal dalam peperangan dan
membawa resolusi diplomatik
untuk mengakhiri perang sangat
lemah dan saling
bertentangan. Dan upaya untuk menerapkan kebijakan tersebut dapat
gagal jika negara-negara
Barat tidak mau menggunakan
kekuatan militer untuk memaksa pihak yang berperang ke meja perundingan.
Kebijakan yang diperlukan untuk melaksanakan satu gol merusak orang lain dan
melemahkan upaya secara
keseluruhan. Pihak yang berperang berusaha untuk merusak multilateralisme.
Amerika Serikat, kembali mengangkat
insentif untuk mencapai solusi yang dirundingkan dalam kerangka
multilateral, agar pasukan domestik dapat merusak
kerjasama internasional. Makalah ini
menyimpulkan bahwa meskipun fakta bahwa
negara-negara memilih untuk bertindak dalam lembaga-lembaga multilateral dan bukan sepihak
atau bilateral, dan
meskipun fakta bahwa lembaga sebagian besar mampu mengkoordinasikan upaya mereka, kelemahan "metaregime" norma membimbing kegiatan multilateral
bersarang pada kelembagaan. Sehingga
“menjadi” kurang penting dalam hal ini daripada dalam kasus lain. Meskipun komitmen yang kuat untuk kerjasama multilateral membantu
untuk mengakhiri perang dan meninggalkan seperangkat posisi institusi
yang baik untuk mengkoordinasikan
kegiatan mereka di masa depan, namun
belum jelas apakah lembaga-lembaga ini
dipandu oleh norma-norma yang koheren. Dalam hal
kerangka Aggarwal, seorang divisi kelembagaan bekerja tampak jelas dalam kasus ini, namun meta-rezim lemah.
Memang, dengan hanya
komitmen untuk multilateralisme, para peserta bisa tidak
setuju pada arsitektur keamanan.
Pada akhirnya, yang terbaik yang bisa mereka lakukan adalah untuk
mengembangkan pembagian kerja. Tanpa
konsensus kognitif pada definisi umum dari masalah keamanan Eropa dan
menyetujui hirarki kelembagaan yang tepat, kosongnya kelembagaan mengenai apa yang disebut sebagai "sarang" akan dibangun.
Putaran I: Dimulainya Perang
Pada bulan April tahun 1990
ultra-nasionalis Kroasia Uni Demokratik (HDZ) memenangkan pemilu yang diselengarakan
secara demokratis untuk kali pertama di Kroasia sejak presiden HDZ yang baru di
tahun 1945. Presiden baru Kroasia, Franjo Tudjman, segera menolak hak-hak
minoritas untuk 600.000 penduduk Serbia, dan untuk pertama kalinya Konstitusi melanggar
prinsip-prinsip minoritas rights dalam Konferensi Keamanan dan kerjasama di
Eropa (CSCE). Ketika Tudjman menolak untuk memisahkan Kroasia dari Rezim
Ustashe yang fasis, Serbia menuntut agar wilayah yang didominasi etnik Serbia
dibawa keluar dari Kroasia. Pada 25 Juni 1991 Kroasia dan Slovenia
mendeklarasikan kemerdekaannya dari Yugoslavia. Tentara Nasional Yugoslavia
(JNA) dipanggil untuk mencegah pemisahan dari dua negara tersebut, namun
keduanya menolak, dan akhirnya pertempuranpun pecah.
Tulisan ini memulai dengan
mendeskripsikan alasan di balik masing-masing empat pilihan yang tersedia bagi
masyarakat Eropa, Amerika Serikat, dan PBB saat pertempuran pecah.
Masing-masing diharapkan memiliki implikasi yang berbeda bagi arah masa depan
dan kekuatan kerjasama kebijakan luar negeri EC, dan masing-masing mungkin akan
memiliki dampak yang berbeda pada kemungkinan perdamaian di Yugoslavia. Dari
dua hasil prosedural yang tersedia, pada satu pilihan yang paling ekstrim, EC
dapat memutuskan untuk tidak bertindak bersama-sama, dan tidak melakukan
apa-apa, dan PBB menjadi sebuah badan cenderung untuk menengahi konflik. Komisi Eropa tidak pernah bertindak secara
independen untuk menyelesaikan konflik militer regional di luar perbatasannya.
Pada pilihan yang ekstrem lainnya, Komisi Eropa dapat berperan aktif, peran
independen dalam resolusi konflik regional.
Krisis disajikan EPC (Kerjasama Politik
Eropa - sekarang Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan CFSP) dengan kesempatan
untuk memperkuat koordinasi kebijakan dan terlibat dalam upaya resolusi konflik
yang independen di Eropa. Respon dari koperasi masalah krisis merupakan
perpanjangan dari komitmen umum untuk mengkoordinasikan dan menyatukan
kebijakan, dan memberikan kesempatan untuk memperkuat EPC dalam persiapan untuk
penandatanganan Maastricht Treaty
mendatang, yang akan dilembagakan untuk masalah luar negeri Eropa dan kerjasama
terkait dengan kebijakan keamanan.
Dua substantif alternatif untuk
kebijakan umum disajikan, pertama
adalah usaha bersama untuk melestarikan Yugoslavia. Alasannya adalah, baik
secara hukum dan politik untuk menjaga keutuhan wilayah negara dan melestarikan
status quo dalam tatanan internasional pasca runtuhnya Komunisme. Negara-negara
pasca-komunis secara aktif berpartisipasi dalam membentuk kembali
lembaga-lembaga politik dan keamanan Eropa, dan disintegrasi mereka dapat
mengancamdalam melemahkan dan mendiskreditkan lembaga-lembaga tersebut.
Terutama, karena negara-negara ini
bergerak menuju demokrasi, penentuan nasib sendiri melalui fragmentasi akan
berarti hilangnya kontrol oleh pemerintah, dan iklim demokratisasi yang
baru berpotensi kembali meningkatkan
momok persaingan nasionalis di Eropa. Kebijakan alternatifnya adalah merancang
EC untuk mempercepat disintegrasi Yugoslavia dengan bersama-sama mengakui
republik menuntut kemerdekaan dan kemudian membantu merundingkan penyelesaian
damai. Argumen yang mendukung hal tersebut untuk dilakukan adalah, bahwa hak
yang menyangkut penentuan nasib sendiri secara historis tersirat pembentukan
pemerintah daerah dan responsif sebagai counter dari dominasi kekaisaran. Hak
tersebut telah diatur dalam praktek dekolonisasi PBB dan juga tersirat dalam
Charter. Pilihan tersebut akan dapat berjalan efektif jika PBB mengabaikan
persyaratan untuk menentukan nasib sendiri pada bagian minoritas di seceding
negara.
Mengingat badan Komisi Eropa di
komunitas diplomatik, pemilihan opsi ini akan mengubah perang menjadi salah
satu konflik internasional antara negara, sebagai lawan antara faksi-faksi
dalam sebuah negara yang telah mapan dan diakui secara hukum, sehingga
memperluas upaya untuk memasukkan resolusi konflik tidak hanya dari EC tetapi
juga bagi PBB dan Amerika Serikat. Jika Kroasia dan Slovenia diberikan
pengakuan, dan jika JNA terus berjuang di tanah Kroasia,Yugoslavia kemudian
akan diidentifikasi sebagai agresor. Masyarakat internasional kemudian bisa
menjatuhkan sanksi dan menggunakan cara lain untuk mencegah agresi. Tes
tersebut akan bergantung dari bagaimana lembaga-lembaga Eropa akan
mengkoordinasikan kegiatan mereka antara satu dengan lainnya dan juga dengan
PBB. Sehubungan dengan opsi prosedural, Komisi Eropa memilih untuk bertindak
bersama-sama; karena anggotanya sangat ingin membangun sebuah kebijakan luar
negeri yang independen dan memiliki kemampuan keamanan di Eropa yang independen
setelah Perang Dingin. Berkaitan dengan pilihan substantif juga terdapat
konsensus tentang bagaimana cara melestarikan Yugoslavia.
Masalah domestik di negara-negara Eropa
juga dipengaruhi oleh beberapa pilihan berikut: Banyak gerakan separatis di
negara-negara anggota EC telah terpanggil untuk dapat menentukan prinsip
mengenai penentuan nasib sendiri dan membenarkan barbagai klaim pada tingkat
otonomi, dan oleh karena itu memberikan pengakuan atas dasar penentuan nasib
sendiri adalah masalah sensitif dalam EC. Catalonia telah menegaskan
kemerdekaannya di Eropa, sedangkan Perancis dan Belgia juga ikut menghadapi
masalah yang sama dengan daerah yang telah ditekan untuk lebih mandiri.
Selanjutnya, secara luas diyakini bahwa mengakui hak penentuan nasib sendiri
tanpa mengamankan perlindungan hak-hak minoritas adalah kebijakan yang tidak
dapat dibenarkan. Dan pemberian hak-hak kolektif serta otonomi kepada kelompok
minoritas juga bertentangan dengan
prinsip liberal yang cenderung dominan melindungi hak-hak individu yang
diabadikan dalam undang-undang EC.
Intinya adalah, adanya konsensus kognitif dalam komunitas
epistemik di negara-negara Barat tentang kebijakan yang menyangkut masalah
kesehatan. Pada awal 1991, Komisi asosiasi dan keanggotaan Eropa berjanji untuk
memungkinkan sebuah negara Yugoslavia dapat bersatu. Pada hari sebelum Kroasia
dan Slovenia menyatakan kemerdekaan, Komisi Eropa menawarkan Yugoslavia sebuah
pinjaman ECU selama lima tahun sebesar 807miliar loan. Dan ketika pertempuran
tersebut pecah, posisi federasi Yugoslavia mengalami kekalahan dan hal tersebut
harus dinegosiasikan oleh enam republik dan Kroasia beserta Slovenia bersikeras
untuk menghentikan langkahnya untuk
menuju kemandirian. Langkah tersebut mengancam pemotongan bantuan sebesar $ 1
miliar untuk Yugoslavia sampai perdamaian benar-enar terwjud. Masyarakat juga
mengambil langkah-langkah aktif untuk menengahi konflik militer.
Para menteri luar negeri Italia,
Luksemburg, dan Belanda menegosiasikan "Brioni
Accord" dengan Serbia, menetapkan penarikan semua pasukan Yugoslavia
dari Slovenia, yang secara efektif mengakhiri perang di sana. Akan tetapi
negosiasi tersebut kembali membuka pertanyaan bagi Kroasia karena Serbia tidak
setuju . Menteri EC mampu menegosiasikan kesepakatan antara Slovenia dan
Kroasia untuk menunda deklarasi kemerdekaan mereka selama tiga bulan jika JNA
akan menarik pasukannya. Pada tanggal 3 Juli, pejabat CSCE meminta agar Komisi
Eropa mengirim misi pengamat ke Zagreb untuk memantau perjanjian dan memantau
perjanjian gencatan senjata. Pengiriman tersebut merupakan permintaan Uni
Soviet, yang menjadi menarik adalah berkaitan dengan krisis tersebut CSCE
kembali mengambil kursi ke EC. EC takut bahwa keterlibatan CSCE akan menjadi
preseden untuk dapat terlibat dalam campur tangan masalah menteri luar negeri
Baltics. EC mengambil langkah untuk sepakat dalam membentuk sebuah monitoring
mission. Monitoring Mission Eropa (EMM), "pertama" di lahir di Eropa
meruakan Politik Kerjasama, yang menunjukkan bahwa krisis tersebut membantu
untuk menghasilkan tingkat baru dalam
koordinasi dan kebijakan pelembagaan, dan juga membantu dalammenciptakan
praktek-praktek baru yang mendukung penyelesaian sengketa di Eropa dalam rangka
untuk memaksa pihak yang bertikai untuk menerima mediasi yang mengikat meruakan
bagian dari EC. Anggota EC setuju bahwa secara bersama-sama mereka akan
menangguhkan penjualan dan bantuan ekonomi untuk Yugoslavia, yang kemudian, PBB
ikut bergabung dengan memberikan embargo senjata.
Kebijakan tersebut akan menjadi rebutan
ketika perang menyebar ke Bosnia satu tahun kemudian. Akan tetapi Jerman telah
lebih dahulu mendesak EPC untuk mengubah arah. Hans Dietrich Genscher, Menteri
Luar Negeri Jerman, menyatakan bahwa kerjasama lanjutan dengan Yugoslavia harus
tergantung pada penghentian ancaman dan penggunaan kekuatan. Ia berpendapat
bahwa "agresi Serbia" (diidentifikasi oleh Jerman sebagai penyebab
konflik untuk pertama kalinya) dan hal tersebutr sudah tidak bisa lagi di
tolelir. Pada pertemuan EC 5 Juli menteri luar negeri, Genscher berpendapat
bahwa EC harus menyatakan "bahwa bangsa Yugoslavia [harus] dapat
menentukan nasib mereka sendiri, "dan masyarakat harus dapat
mempertimbangkan mengenai pengakuan bersama terkait dengan Kroasia dan
Slovenia. Pandangan Genscher yang demikian menjadi sebuah perdebatan sengit
atas makna penentuan nasib sendiri dalam konteks Eropa. Perdebatan berpusat
baik mengenai makna dari penentuan nasib sendiri dan pada konsekuensi mengenai menerjemahkan
prinsip dalam kebijakan pengakuan diplomatik dari daerah-daerah di Eropa yang
menyatakan keinginan untuk menjadi negara merdeka.
Bagi Jerman, konsep mengenai penentuan
nasib sendiri telah memperoleh arti khusus dalam konteks domestik. Ide mengenai
menentukan nasib sendiri telah lama menjadi prinsip penting dalam kebijakan
Jerman terhadap GDR. Prinsip penentuan nasib sendiri merupakan inti dari Jerman
Barat yang menjadi "tradisi nasional" dalam kebijakan luar negeri,
dan merupakan inti dari apa yang dapat disebut culture. Kebijakan politik luar
negerinya tersebut juga merupakan elemen kunci dari kebijakan yang mendesak
negara Barat lainnyalainnya untuk menerima prinsip yang berkenaan dengan Jerman
Timur. Retorika penentuan nasib sendiri telah menjadi inti dari strategi CDU
yang menang dalam pemilu tahun 1990. Sampai-sampai Jerman memiliki kebijakan
luar negeri yang bebas setelah Perang Dunia II dan menjadi kepentingan nasional
Jerman di penentuan nasib sendiri bagi rakyat GDR.
Dapat dikatakan bahwa penentuan nasib sendiri
telah menjadi "norma" dalam kebijakan luar negeri Jerman sebagai
bagian dari perspektif Jerman. Berkenaan dengan krisis di Yugoslavia, retorika
yang digunakan untuk membenarkan posisi Jerman menunjukkan bahwa dominasi
politisi dengan mudah menjadikan kemenangan Jerman Timur baru-baru ini sebagai
titik untuk menentukan nasib sendiri dan unifikasi melalui aspirasi rakyat
Kroasia dan Slovenia untuk mendapatkan kemerdekaan dari Yugoslavia.
Volker Ruehe, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris
Jenderal CDU, kemudian menjadi Menteri Pertahanan Jerman berpendapat, bahwa
kejadian tersebut tidak dapat dibenarkan untuk menerapkan tolok ukur lain bagi
Yugoslavia "ketika kita mencapai
kesatuan dan kebebasan negara kita dengan melalui hak penentuan nasib
sendiri." Juru bicara SPD menyatakan bahwa hak ini adalah dasar dari
semua hukum internasional. Dengan demikian, Jerman harus mendukung pengakuan
sebagai kebijakan terbaik untuk melaksanakan principle tersebut .Penentuan hal
tersebut menjadi logis untuk bertanya
mengapa, dalam retorika Jerman, prinsip penentuan mengenai "self "
hanya difokuskan pada Kroasia dan Slovenia melainkan bukan kepada penduduk
Serbia yang tinggal di Kroasia.
Sepertiga dari penduduk Serbia tinggal
di luar wilayah Serbia, dan sebagai narasi menunjukkan, bahwa orang-orang yang
tinggal di Kroasia mengalami kekerasan. Diplomat HAM Perancis dan Inggris
sangat menyadari kerentanan kekerasan yang dialami oleh warga Serbia yang
tinggal di luar Republik Serbia. Memang, pembenaran penting bagi penciptaan
Yugoslavia sebagai negara pada tahun 1918 telah menjadi prinsip penentuan nasib
sendiri. Namun sudah menjadi hak semua orang Serbia, seperti halnya Kroasia dan
Slovenia untuk dapat tinggal di satu negara. Bagi Serbia, kebijakan alternatif
telah menciptakan apa yang dinamakan sebagai "Serbia Raya" yang akan
meninggalkan Kroasia bawah dominasi kekaisaran. Dengan demikian, pada tahun
1918 para elit politik Kroasia akan setuju untuk bergabung Yugoslavia. Prancis
dan Inggris sendiri telah mendukung penciptaan Yugoslavia karena berbagai alasan geopolitik; bagian dari dukungan yang datang dari kedua
negara tersebut berua penerimaan klaim Serbia dalam penentuan nasib sendiri.
Sekarang ini, para pejabat yang berada di kementerian luar negeri Perancis dan Inggris percaya bahwa untuk mewujudkan prinsip tersebut, pelestarian Yugoslavia akan mnejadi sebuah pilihan alternatif yang lebih baik dari penciptaan
"Serbia Raya." Pertama,
Jerman tidak menjadi pihak
yang menciptakan Yugoslavia lebih baik. Kedua; tidak
seperti kasus Perancis dan
Inggris, tidak ada tradisi dalam
kebijakan luar negeri Jerman dalam penerimaan untuk menentukan
nasib sendiri di Serbia. Genscher juga percaya bahwa kebijakan umum pada pengakuan akan
menginternasionalkan sengketa, yang memungkinkan PBB untuk dapat mengambil alih masalah tersebut .
Dengan pilihan ini, fokus mediasi dan resolusi konflik akan bergerak dari Masyarakat
Eropa menuju pada PBB dan membawa
serta keterlibatan Amerika Serikat
dan juga NATO.
Pilihan alternatif akan mengindikasikan komitmen yang berlanjut untuk
Atlanticism dan preferensi
untuk masalah internasional yang bertentangan dengan praktek-praktek
mediasi dan resolusi konflik regional yang independen. Pengakuan
diplomatik Kroasia dan Slovenia akan
mewakili kontinuitas dalam
mengejar kerjasama politik dan keamanan transatlantik
dan mengenali kendala hukum internasional tentang intervensi eksternal. Bagaimanaun
anggota EC lainnya , menolak
keras posisi tersebut, dan berusaha untuk
mengklaim bahwa pengakuan akan menyebabkan "lebih kepada perang dan pertumpahan darah." EC akan mendukung konfederasi
Yugoslavia saat JNA ditarik kembali. Hal tersebut akan menjadikan Kroasia
dan Slovenia dalam keadaan bahaya jika JNA
terus berjuang. Dalam
rangka untuk memaksa pihak yang bertikai untuk menerima mediasi yang mengikat, anggota
EC bersama-sama menghentikan
penjualan senjata dan bantuan ekonomi ke Yugoslavia.
Pada akhir Juli Kohl mengundang Tudjman
ke dalam sebuah pertemuan pemimin Eropa yang ertama di Jerman. Tapi ia
mengingatkan dia untuk tidak mengandalkan
pengakuan segera karena
Jerman telah terikat
pada EC. Bagaimanapun, pertumpahan
darah terus terjadi di Kroasia, dan
Tudjman berjalan keluar
pada saat pembicaraan damai tingkat
tinggi pada 22 Juli. Karena JNA
menolak meninggalkan Kroasia, Genscher ditekan EPC
untuk membuat ancaman balik dari recognition. Dalam persiapan pertemuan diplomatik tingkat menteri dengan
perwakilan Yugoslavia pada 6 Agustus, Genscher berpendapat bahwa
wakil-wakil dari Slovenia dan Kroasia juga harus
diundang. Anggota EPC lainnya menolak,
dan mengklaim bahwa kebijakan EC adalah lebih kepada pelestarian
integritas Yugoslavia, hanya saja perwakilan Yugoslavia
harus datang ke pertemuan. Karena memiliki sedikit argumen, maka Genscher menuntut agar sanksi ekonomi EC yang bertempat di Serbia
dan pengakuan untuk Kroasia dan Slovenia
ditempatkan pada agenda pertemuan
tersebut, bagaimanapun juga pertemuan tersebut merupakan
sebuah pertemuan yang meninggalkan sebuah
kekecewaan besar. Anggota EC
bergerak tidak lebih
dekat ke posisi Jerman, atau lebih dekat ke tujuan mereka melestarikan Yugoslavia.
EC tidak menyingung masalah yang terkait dengan
pengakuan, namun bantuan ke Yugoslavia
dibekukan. EPC sebelumnya
meminta agar WEU menyediakan
potensi opsi militer untuk mendukung upaya mediasi Komisi Eropa. Tetapi pada pertemuan tersebut, WEU melaporkan bahwa ia tidak memiliki mandat untuk mengirim pasukan di luar wilayah NATO. Perjanjian
gencatan senjata dicapai, tetapi dengan tidak ada penegakan hukum, kondisi dari situasi yang demikian itu akan cepat runtuh dalam
waktu kurang dari dua minggu.
EC telah kalah dalam usahanya untuk
mempertahankan Yugoslavia untuk dapat bersatu. Pukulan telak
diarasakan setelah 19 Agustus
saat Soviet melakukan kudeta, ketika
sebagian besar republik Uni
Soviet menyatakan kemerdekaan.
Sebagai anggota, EC segera mempercepat perpanjangan pengakuan mereka,
sebagai alasan untuk tidak mengakui Kroasia dan
Slovenia hingga sepekan. Selain itu,
selama periode ini para pejabat publik mulai berbicara tentang
“pembagian" perdamaian di Eropa.
Pernyataan kebijakan resmi NATO telah membayar layanan
bagi kesatuan dan keutuhan geografis
Eropa yang saling ketergantungan,
akan tetapi menyatakan keberatan tentang intervensi dalam konflik pasca-komunis.
Perang yang terjadi di Yugoslavia diharakan tidak meluas,
dan ketika menjadi jelas bahwa inti
kepentingan nasional dari anggota
EC tidak terancam,
arti-penting yang berkurang.
Pada bulan September, untuk pertama kalinya EC mengadakan konferensi perdamaian
Eropa di Den Haag
disponsori selain dari negara di Eropa.
Tapi Kroasia dan
Slovenia menyatakan memisahkan diri dari Yugoslavia pada hari konferensi dimulai, dan pada hari kedua, Macedonia
memilih untuk independen. Kemudian, untuk pertama kalinya, Komisi Eropa meminta WEU
untuk melayani secara langsung sebagai lengan militernya, dan meminta yang mengembangkan
pilihan untuk memperkuat kemampuan
pemantauan gencatan senjata Komisi
Eropa. Tapi WEU terhalang oleh perselisihan
internal, dan gagal melakukannya.
Dan di tengah-tengah konferensi, Kohl mengangkat
kemungkinan pengakuan diplomatik sepihak Jerman dari
Kroasia dan Slovenia
dalam kunjungan negara yang dipublikasikan secara.
Akan tetapi pada tanggal 1 Oktober, Serbia dan Montenegro mendaat
pengecualian dari republik lainnya
dan dari pemerintah federal
kepemimpinan, serta pejabat EC mengakui bahwa dua republik ini tidak bisa lagi dianggap
sebagai penerus sah untuk Yugoslavia. Meskipun demikian, Komisi Eropa terus berupaya
untuk menemukan resolusi damai atas konflik. EPC menyatakan bahwa "prinsip-prinsip CSCE yang berkaitan dengan
perbatasan, hak-hak minoritas, dan pluralisme politik"
dipandu pendekatan, dan setiap hasil yang
melanggar prinsip-prinsip tersebut tidak dapat diterima. Pada tanggal 8 November dikenakan sanksi ekonomi pada semua republik Yugoslavia, termasuk Kroasia, lanjut memperdalam
tekad Jerman untuk
memberikan pengakuan. Meskipun
demikian, Jerman berpegang pada
sanksi Pada tanggal 2 Desember. Ada
tanggal 8 November secara diam-diam EC mencabut sanksi terhadap Kroasia dan Slovenia, sehingga meskipun
tidak secara resmi menyatakan
Yugoslavia sebagai agresor. Sedangkan
Genscher mengumumkan bahwa Italia, Austria, dan
mungkin Polandia siap untuk mengakui Kroasia dan
Slovenia. Beberapa hari kemudian, Menteri Luar
Negeri Swedia Ugglas menyerukan
pengakuan, tetapi memperingatkan bahwa
Swedia akan
tetap sejalan dengan masalah
EC. Pada tanggal 8 Desember, Gencsher mengumumkan bahwa Jerman akan mengakui
kedua republik, dan bahwa Swedia, Italia, Austria, dan Hungaria kemungkinan besar akanmengikuti
langkahnya tersebut. Pengumuman ini adalah salah perhitungan, karena terindikasi oleh pejabat Inggris dan Perancis
bahwa Jerman bergerak di luar
kerangka kebijakan EC. Pada tanggal 13 Desember, Prancis dan Inggris berusaha
untuk memblokir langkah Jerman dengan memperkenalkan peringatan resolusi Dewan Keamanan PBB bahwa
tidak ada negara yang harus mengganggu
keseimbangan politik di Yugoslavia
dengan mengambil tindakan sepihak.
Amerika Serikat sebelumnya telah mengeluarkan
pernyataan resmi bahwa pengakuan hanya
harus menjadi bagian dari settlement. Pada tanggal 15 Desember Gancsher mengumumkan bahwa Jerman akan mengakui kedua
republik sebelum Natal. Berharap
bahwa langkah tersebut merupakan kontra-ancaman dan akan memaksa kesepakatan EC khususnya pada posisi Jerman. Kohl
mengatakan bahwa ia akan menunggu sampai setelah pertemuan
menteri luar negeri EC di hari berikutnya sebelum benar-benar membuat pengumuman.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan
resolusi untuk melawan lankah Jerman,
dan pada pertemuan EPC pada tanggal 16 Desember Jerman kembali
dipanggil untuk membahas krisis diplomatik, hanya pada dua agenda masalah yaitu: waktu pengakuan,
dan persyaratan requirements.
Jerman berpendapat pengakuan sebelum Natal , tapi Carrington
mengklaim bahwa ini akan mnjadi sebuah "torpedo" proses perdamaian. Setelah perdebatan panjang Genscher setuju untuk berkompromi: jika satu set
kondisi hak asasi manusia yang spesifik telah terpenuhi,
maka pengakuan EC akan berlangsung pada tanggal
15 Januari 1992. Kondisi ini
akan mengikuti set apa yang mereka harapkan dari CSCE: perlindungan minoritas,
pengakuan prinsip CSCE, dan pengakuan perbatasan
dan kedaulatan wilayah
tetangga.
Masalah persyaratan adalah
pondasi dari kompromi, EC menetapkan
bahwa hak minoritas akan diberikan
otonomi terhadap pemerintah
daerah, penegak hukum setempat,
peradilan, dan pendidikan
sebagai kondisi untuk Petisi
recognition. Pengakuan harus disampaikan kepada Komisi Arbitrase konferensi perdamaian pada 23 Desember untuk memenuhi batas waktu 15 Januari. Komisi tersebutlah yang kemudian akan menentukan apakah kondisi sudah dinyatakan
berjalan dengan baik atau tidak. Para pejabat di kedua
negara baik di Kroasia dan di Jerman telah mengantisiasi masalah dengan menggunakan persyaratan ini.
Tudjman menolak untuk
melindungi hak-hak minoritas, dan
itu jelas bahwa Jerman akan mengabaikan rekomendasi
Komisi Badinter . Jerman telah
memutuskan bahwa Kroasia memenuhi
persyaratan untuk pengakuan sebelum permohonannya diajukan
ke Komisi Eropa. Pada tanggal 13
Desember setelah menemukan
seorang pengacara hak asasi manusia
untuk memberikan Kroasia
UU minoritas serta tagihan
kesehatan, pemerintah Jerman secara independen mengumumkan bahwa pemerintah Slovenia
dan Kroasia telah
memenuhi semua persyaratan
untuk recognition.
Anggota EC lainnya
terkejut, tapi EC
berada di posisi hukum yang lemah
berkaitan dengan pengumuman Jerman. Pada tanggal 16 Desember kesepakatan tidak membuat jelas apa langkah yang akan diambil oleh jika
kondisi untuk pengakuan tidak
dipenuhi. Macedonia juga diharapkan untuk mengajukan permohonan,
tetapi kondisi yang sama tidak akan berlaku. Pengakuan hanya akan dipertimbangkan jika Makedonia berubah nama dan
meninggalkan klaim atas territory. Genscher percaya bahwa negara Yunani digunakan standar ganda berkaitan dengan persyaratan
persyaratan untuk pengakuan diplomatik, dan bahwa persyaratan tidak
harus menghalangi pengakuan negara tersebut. Sekali lagi, ini adalah
hubungan substantif gagal karena target melihatnya
sebagai link taktis. Aggarwal menggambarkan sebagai solusi yang segera akan
terbukti bersifat sementara dan
mampu menangani hanya
dengan eksternalitas masalah
Pada tanggal 17 Desember Genscher mengumumkan bahwa
pengakuan diplomatik dari Kroasia dan Slovenia
sekarang
dilakukan dan diperoleh secara "otomatis."
Dia menyatakan bahwa seharusnya Komisi Arbitrase
memutuskan bahwa Kroasia tidak memenuhi kriteria,
Jerman akan melanjutkan
dengan pengakuan
tetap. Kohl
mengumumkan bahwa Jerman akan mengakui republik Yugoslavia yang mengadopsi
ketentuan yang ditetapkan oleh EC pada tanggal 23 Desember. Bagi Jerman kondisi
"Mengadopsi" menjadi sama saja dengan "memenuhi". Kemudian, dalam sebuah langkah yang
mengejutkan semua orang, Jerman secara resmi dan secara sepihak mengakui
Slovenia dan Kroasia pada tanggal 23 Desember sebelum Komisi Badinter bertemu
untuk menilai pemenuhan persyaratan persyaratan. Langkah preemptive ini dipicu
oleh rasa takut Genscher bahwa Komisi Eropa akan menolak untuk memperpanjang
pengakuan, dan mengklaim bahwa kondisi yang belum terpenuhi.
Memang, pada
tanggal 11 Januari 1992, Komisi Badinter menyatakan bahwa konstitusi Kroasia
tidak memenuhi persyaratan Komisi Eropa "Deklarasi Yugoslavia".
Tetapi dengan tindakan pencegahan Jerman, EC memiliki pengaruh yang kecil jika
dipatuhi persyaratan tersebut. Dengan demikian, Komisi Badinter hanya meminta
agar Tudjman memberikan jaminan pribadinya bahwa bahasa akan ditambahkan ke
konstitusi Kroasia sesuai dengan persyaratan EC. Tudjman memenuhi, hal tersebut
dan EC memberikan pengakuan ke Kroasia dan Slovenia pada tanggal 15 Januari
1992. "Penerimaan" memang berarti "pemenuhan" dari kondisi
dalam kasus ini, dan persyaratan persyaratan yang mudah menyapu di bawah meja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar