“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Pengaruh Hubungan Bilateral Indonesia dan Australia Terkait Kasus Imigran Ilegal


Oleh : Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Masalah imigran gelap dan pencari suaka telah lama menjadi pusat perhatian Indonesia dan Australia.  Bahkan kasus ini telah lama menjadi pusat perhatian dunia internasional. Sebagaimana, Indoensia dan Austalia merupakan dua negara yang merasa palign dirugikan dengan adanya para imigran gelap yang secara massal melakukan perjalanan menuju Australia dengan terlebih dahulu menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk transit. Faktanya hingga kini, para imigran ilegal yang berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan dan beberapa negara yang menjadi wilayah konflik masih terus berdatangan menuju Australia. Indonesia dan Australia terus berupaya mencari penyelesaian atas masalah imigran ilegal dan pencari suaka yang berlangsung dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai negara transit, Indonesia mengehendaki agar penyelesaiannya dilakukan melalui kesepakatan Bali Process. Sementara, Australia yang menjadi negara tujuan dengan tegas menolak kedatangan para imigran ilegal. Australia belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai cara menolak kedatangan para imigran gelap pencari suaka di Australia. Kondisi seperti ini terus mendorong para imgiran gelap untuk terus berdatangan ke Austalia melalui Indonesia. 

Indonesia dan Austalia telah terlibat dalam kerjasama bilateral mengenai penanganan imigran ilegal dan pencari suaka sejak tahun 2001 dengan membentuk sebuah forum yang dinamakan Bali Procces. Faktor keamanan Australia dan ketakutan negara tersebut akan serbuan para imigran ilegal pencari suaka ke negaranya sangat mempengaruhi negara tersebut dalam memandang kawasan sekelilingnya. Dalam hal ini, Australia menganggap bahwa kerjasama denganIndonesia dalam penanganan masalah imigran ilegal merupakan sebuah langkah yang tepat mengingat secara geografis, letak kedua negara sangat dekat dan saling berbatasan. Adanya persepsi bahwa negara Australia akan terus menjadi daya tarik bagi para imigran ilegal pencasi suaka, maka Australia memiliki alasan yang kuat untuk menempatkan faktor keamanan nasional sebagai prioritas utama dalam menjalankan politik luar negerinya. Terkait dengan imigran ilegal dan para pencari suaka yang datang ke Australia, status negara Indonesia hanyalah sebagai negara transit. Oleh karena hal tersebut, Pemerintah Indonesia  lebih menghendaki proses penyelesaian masalah penyelundupan imigran ilegal pencari suaka ini dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Bali Procces.[1]

Dampak Imigran Ilegal Terhadap Stabilitas Domestik Indonesia


Oleh : Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, masalah imigran ilegal telah menjadi sebuah masalah yang sangat kompleks dan rumit. Masuknya imigran ilegal yang singgah di Indonesia merupakan sebuah ancaman yang memiliki resiko cukup tinggi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, Indonesia memiliki potensi sebagai wilayah singgah imigran gelap karena letak geografisnya yang berada pada posisi strategis. Kondisi geografis yang demikian, menjadikan Indonesia memiliki peluang yang terbuka lebar bagi persinggahan para imigran ilegal dalam rute penyelundupan manusia menuju Australia. 

Sistem hukum Indonesia yang belum meratifikasi mengenai konvensi pengungsi dan protokol opsionalnya, berdasarkan UU No 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, Pemerintah Indonesia masih mengkatagorikan pengungsi yang terdampar di Indonesia sebagai imigran ilegal atau imgiran yang memasuki wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumentasi resmi. Oleh karena hal tersebutlah, setiap pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia selalu dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk penahanan selama jangka waktu minimal 10 tahun di rumah detensi imigrasi yang tersebar di 13 kota di Indonesia.[1]

Arus migrasi gelap merupakan suatu masalah utama dalam penanganan migrasi di Indonesia. Pengiriman imigran secara ilegal telah meningkat dari segi profesionalisme selama beberapa tahun terakhir. Banyak imigran yang memilih untuk menempuh jalur migrasi melalui sindikat pengiriman ilegal untuk mewujudkan impian mereka, yaitu mendapatkan hak hidup layak di negara tujuan. Dengan semakin meningkatnya jumlah imigran ilegal di Indonesia, hal tersebut dapat membawa ancaman bagi stabilitas negara. Masuknya pengaruh negara lain melalui bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh Indonesia dapat membuat perubahan dalam kondisi masyarakatnya. Secara tidak langsung, hal ini akan berpengaruh pada perubahan kestabilan negara. Hal lain yang lebih menghkhawatirkan lagi bagi Indonesia adalah, untuk memberikan bantuan kemanusiaan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebuah negara akan mampu memberikan bantuan kepada negara lain saat negara tersebut telah mampu untuk neneuhi kebutuhan masyarakat yang ada di dalam negerinya sendiri. Secara tidak langsung, semakin meningkatnya jumlah imigran ilegal yang singgah dan tertangkap di Indonesia, hal tersebut berdampak pada perekonomian Indonesia.

Imigran Ilegal di Indonesia

Oleh : Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)

Zona wilayah maritim yang berada di kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah zona dimana kegiatan ekonomi serta kegiatan penyelundupan imigran ilegal telah menunjukkan angka peningkatan yang singnifikan beberapa tahun terakhir. Hal tersebut juga merupakan dampak dari kemajuan tekhnologi dalam hal informasi, telekomunikasi, dan transportasi yang semakin kompleks dan sulit dideteksi. Kondisi ketimpangan yang terjadi antara negara-negara di dunia serta pecahnya konflik etnis dan perang antar kelompok juga menjadi masalah serius yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara konflik. Namun juga berimbas pada negara-negara yang berada di kawasan sekitar termasuk juga negara yang letak geografisnya berjauhan. Negara-negara yang berada di kawasn pantai Asia Tenggara merupakan negara yang paling rentan terhadap gangguan pengiriman imigran ilegal asal negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam hal ini, Indonesia termasuk sebagai negara yang memiliki tingkat resiko paling tinggi sebagai negara yang akan terdampak dari pengiriman imigran ilegal yang menuju Australia. 

Indonesia memiliki posisi geografis yang strategis sebagai jalur pelayaran penghubung antar negara yang berada di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, untuk menuju ke Australia. Garis pantai yang luas, serta letak perairan Indonesia yang berada pada posisi persilangan dalam lalu lintas dunia baik udara maupun laut. Selain memiliki keuntungan, hal tersebut juga menjadi ancaman bagi keamanan Indonesia karena menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang sangat cocok sebagai tempat transit bagi para imigran gelap yang akan melakukan perjalanan menuju Australia. Hal tersebut juga didukung dengan adanya ribuan pulau-pulau kecil yang mengelilingi Indonesia. Sejak akhir tahun 90-an, wilayah perairan Indonesia telahmenjadi lokasi transit bagi para pengungsi yang akan mencari suaka menuju ke Australia. Para pengungsi tersebut biasanya  berasal dari negara-negara yang rawan akan konflik dan minim akan keamanan seperti Pakistan, Myanmar, Afghanistan, Iran, Srilangka, Bangladesh, dan Syiria. Para pengungsi ilegal yang mencari suaka dan transit di Indonesia tersebut, biasanya disebut sebagai manusia perahu atau “boat people”. Manusia perahu ini terdiri dari laki-laki dan perempuan bahkan tidak sedikit anak-anak dan balita yang mengarungi lautan menggunakan perahu sewaan dengan peralatan dan bekal seadanya. Maka sering  kali perahu yang dinaiki oleh para imigran ilegal ini mengalami kecelakaan di tengah laut akibat diterjang ombak dan banyak dari mereka yang terdampar di perairan Indonesia. 

Dampak Imigran Ilegal Terhadap Stabilitas Domestik Australia


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Australia merupakan negara yang membangun populasi masyarakatnya melalui jalur imigrasi yang telah berjalan hampir selama 200 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, sebagian besar imigrasi berkelanjutan di Australia dapat berjalan dengan baik. Di sisi lain, Sistem suaka berdasarkan konvensi dan protokol dapat berjalan baik di Australia hingga saat perang dingin berakhir di tahun 1989. Saat itu, pencarian suaka memang tidak dirancang untuk arus pengungsi secara masal. Pada saat ini tekanan dari gelombang pengungsi massal terus menekan negara-negara Barat yang menandatangain konvensi tersebut termasuk Australia. Pengungsi yang datang untuk mencari suaka ke Australia lebih didominasi oleh mereka yang menjadi korban kekerasan dan konflik di negara asalnya. Dengan alasan untuk mencari keamanan dan keberlangsungan hidup, maka para pengungsi ini memilih untuk mengorbankan dirinya untuk mengarungi samudra Hindia sebagai pengungsi ilegal dengan menggunakan perahu menuju Australia. Para pengungsi yang datang ke Australia berasal dari negara seperti Banglades, Afghanistan, dan Rohingya.

Karena para pengungsi yang datang ke Australia lebih dikarenakan konflik dan berasal dari negara rawan konflik dan memiliki status sosial masyarakat kelas bawah. Berdasarkan latar belakang pengungsi tersebut, maka kondisi tersebut membawa masalah baru bagi kehidupan sosial di Australia. Kedatangan para pengungsi ke Australia menimbulkan masalah mengenai ketenaga kerjaan dan kesejahteraan yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Dengan terus bertambahnya jumlah pengungsi yang mencari suaka ke Australia, maka beban negara untuk menghidupi para pengungsi juga ikut bertambah. Kondisi tersebut berdampak pada anggaran belanja tahunan negara. 

Australia Sebagai Negara yang Meratifikasi The United Nations 1951 Convention Relating to the Status of Refugees


Oleh : Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)

Sebelum membahas mengenai Australia sebagai negara yang meratifikasi konvensi mengenai imigran tahun 1951, peneliti akan terlebih dahulu membahas mengenai sejarah singkat dari konvensi PBB mengenai status imigran tahun 1951. Konvensi 1951 merupakan sebuah konvensi yang berlangsung pada tanggal 28 Juli tahun 1951 di Jenewa yang membahas mengenai pengungsi dan pencari suaka. Pada konvensi tersebut terdapat sebuah teks protokol, yang berkenaan dengan status pengungsi yang terdapat pada resolusi 2198 XXI dan diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Konvensi itu sendiri baru berlaku pada tanggal 22 April 1954. Pada Konvensi tersebut, memuat sebuah deklarasi universal mengenai hak asasi manusia tahun 1948. Konvensi tersebut juga mengakui akan hak bagi orang-orang yang mencari suaka dari penindasan negara lain. Konvensi ini telah memberikan kodifikasi secara kompeherensif mengenai hak bagi para pngungsi yang berada pada level internasional. Penekanan dari isi konvensi ini adalah, mengenai perlindungan bagi pengungsi dari kekerasan dan pengaiayaan. Pada isi dari konvensi 1951 tersebut juga dikatakan, bahwa seorang pengungsi adalah seseorang yang tidak mau untuk kembali ke negara asal mereka karena berbagai alasan seperti ketakutan akibat kondisi situasi konflik dan distabilitas keamanan, penganiayaan dan diskriminasi baik ras, suku, agama, kebangsaan, anggota kelompok sosial tertentu, ataupun perbedaan pandangan politik.[1]

Dari segi subtansinya, Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi tersebut merupakan perangkat hak asasi manusia secara internasional. Oleh karena itu, konvensi ini berisikan mengenai instrumen dan pemahaman yang berupa prinsip-prinsip dasar megnenai non diskriminasi, non refoulement, dan non judgement. Adanya instrumen tersebut merupakan salah satu aspek dalam upaya memajukan perlindungan HAM secara universal. Hal tersebut juga dikarenakan oleh kondisi bahwa negara memiliki peran yang besar dalam menyuarakan kepentingan nasionalnya pada saat proses negosiasi dan penyusunan perangkat internasional. Pada dasarnya, perlindungan terhadap para pengungsi merupakan tanggung jawab setiap negara di dunia. Setiap negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk melindungi warga negaranya dan orang asing yang tinggal di negara tersebut. 

Imigran Ilegal di Australia

Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)


Perkembangan geo politik internasional telah berkembang dengan sangat cepat seiring terus meningkatnya arus globalisasi. Berkurangnya peran negara dan semakin memudarnya batas negara,  menandai bahwa dunia telah menjadi sebuah wilayah tanpa batas bagi manusia. Berkembangnya tekhnologi telekomunikasi dan transportasi telah mengintegrasikan ruang dan waktu diseluruh penjuru dunia. Berakhirnya perang dingin di tahun 1989, bukan berarti telah mengakhiri berbagai perang dan konflik yang ada di dunia ini. Berkembangnya aktor non negara justru menghadirkan masalah baru yang semakin komplek dalam hal konflik golongan maupun kelompok. Permasalahan imigran ilegal yangsering kita lihat dan kita dengar, bukan merupakan sebuah permsalah baru. Namun dengan adanya imigran ilegal yang jumlahnya terus meningkat akan memungkinkan terjadinya berbagai resiko yang akan di hadapi oleh negara. Baik gangguan terhadap stabilitas keamanan dan stabiltas ekonomi negara tersebut. Lebih jauh lagi, keberadaan imigran ilegal juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat sekitar. 

Para imigran ilegal yang datang menuju Australia mayoritas merupakan para imigran yang ingin mencari suaka karena keadaan di negara asalnya tidak aman. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menjadi target kekerasan dari masalah ras, etnis, dan agama. Australia merupakan negara yang menerima konvensi terkait dengan status pengungsi dan wajib mengizinkan orang-orang tersebut, yang tergolong dalam katagori sebagai pengungsi untuk datang dan menetap ke negaranya. Para imigran ilegal yang menjadikan Australia sebagai negara tujuan, biasanya lebih banyak datang dan masuk ke negara tersegut dengan melalui jalur laut. Kebanyakan para Imigran ilegal ini masuk melalui Pulau Christmast, yaitu sebuah pulau terluar di wilayah bagian Barat Benua Australia, dan merupakan pusat dari cassino yang ada di Australia. Di pulau tersebut terdapat sebuah rumah detensi imigrasi milik Pemeritah Australia yang layak huni, serta nyaman untuk dihuni sementara waktu bagi para imigran ilegal yang berhasil masuk ke Australia. Proses selanjutnya, para Imigran tersebut akan ditahan terlebih dahulu di sana sebelum akhirnya memperoleh kewarganegaraan secara selektif.[1]