Oleh : Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
Sebelum
membahas mengenai Australia sebagai negara yang meratifikasi konvensi mengenai
imigran tahun 1951, peneliti akan terlebih dahulu membahas mengenai sejarah
singkat dari konvensi PBB mengenai status imigran tahun 1951. Konvensi 1951
merupakan sebuah konvensi yang berlangsung pada tanggal 28 Juli tahun 1951 di
Jenewa yang membahas mengenai pengungsi dan pencari suaka. Pada konvensi
tersebut terdapat sebuah teks protokol, yang berkenaan dengan status pengungsi
yang terdapat pada resolusi 2198 XXI dan diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Konvensi
itu sendiri baru berlaku pada tanggal 22 April 1954. Pada Konvensi tersebut,
memuat sebuah deklarasi universal mengenai hak asasi manusia tahun 1948. Konvensi
tersebut juga mengakui akan hak bagi orang-orang yang mencari suaka dari
penindasan negara lain. Konvensi ini telah memberikan kodifikasi secara
kompeherensif mengenai hak bagi para pngungsi yang berada pada level
internasional. Penekanan dari isi konvensi ini adalah, mengenai perlindungan
bagi pengungsi dari kekerasan dan pengaiayaan. Pada isi dari konvensi 1951
tersebut juga dikatakan, bahwa seorang pengungsi adalah seseorang yang tidak
mau untuk kembali ke negara asal mereka karena berbagai alasan seperti
ketakutan akibat kondisi situasi konflik dan distabilitas keamanan,
penganiayaan dan diskriminasi baik ras, suku, agama, kebangsaan, anggota
kelompok sosial tertentu, ataupun perbedaan pandangan politik.[1]
Dari
segi subtansinya, Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi tersebut
merupakan perangkat hak asasi manusia secara internasional. Oleh karena itu,
konvensi ini berisikan mengenai instrumen dan pemahaman yang berupa
prinsip-prinsip dasar megnenai non diskriminasi, non refoulement, dan non
judgement. Adanya instrumen tersebut merupakan salah satu aspek dalam upaya
memajukan perlindungan HAM secara universal. Hal tersebut juga dikarenakan oleh
kondisi bahwa negara memiliki peran yang besar dalam menyuarakan kepentingan
nasionalnya pada saat proses negosiasi dan penyusunan perangkat internasional.
Pada dasarnya, perlindungan terhadap para pengungsi merupakan tanggung jawab
setiap negara di dunia. Setiap negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban
untuk melindungi warga negaranya dan orang asing yang tinggal di negara tersebut.
Perkembangan
mengenai hak asasi manusia internasional yang terdapat dalam konvensi ini jgua
memperkuat mengenai prinsip dasar bahwa konvensi ini harus diterapkan tanpa
adanya diskriminasi pada jenis kelamin, usia, ras, dan berbagai perbedaan
lainnya. Prinsip ini juga memuat mengenai perlindungan mengenai para pencari
suaka yang memberikan perlindungan terhadap pengungsi dari pengusiran. Prinsip non refoulement telah menjadi dasar dari
aturan yang memungkinkan bagi para pencari suaka untuk dapat tinggal dan
menetap serta melarang negara yang mengadopsi konvensi ini untuk mengusir atau
memulangkan kembali para pencasi suaka ke negara asalnya. Secara khusus,
konvensi ini tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan perang maupun
kejahatan kemanusiaan. Konvensi ini juga mengatur mengenai status para pencari
suaka yang tinggal mengenai kewajiban negara pihak konvensi untuk memenuhi
kebutuhan subtantif dan dapat tinggal tanpa adanya batas waktu.[2]
Masalah
pengungsi merupakan masalah yang paling rentan di dunia, oleh karena itu, pada
konvensi 1951 dan protokol 1967 telah ditekankan kepada negara-negara yang
mengadopsi konvensi tersebut untuk bertanggung jawab penuh dengan memberikan
bantuan perlingdungan terhadap pengungsi dan memberikan perlakuan yang sama
seperti warga negaranya. Konvensi 1951 dan protokol 1967 merupakan satu-satunya
instrumen hukum yang secara eksplisit mencakup aspek penting membahas mengenai
masalah pengungsi. Konvensi 1951 juga mengakui bahwa pentingnya solitdaritas
dan kerjasama internasional dalam menangani masalah pengungsi.[3] Secara
singkat, konvensi ini telah mendefinisikan sebuah perjanjian multilateral
mengenai pengungsi beserta penetapan hak-hak individu dan kewajiban negara yang
memberikan suaka. Dalam konvensi tersebut juga telah didefinisikan mengenai
orang yang tidak berhak menerima perlindungan suaka. Sebagaimana yang tertuang
pada Pasal 1 dari Konvensi 1967 mengenai definisi pengungsi:
“A person who owing to a
well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion,
nationalitiy, membership of a particular social group or political opinion, is
outside the country of his nationalitiy and is unable or, owing to sich fear,
is unwilling to avail himself of the protection of the protection of that
country, or who, not having a nationality and being outside the country if his
former habitual residence as a result of such events, is unable or owing to
such fear, is unwilling to return to it”.[4]
Australia
merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen untuk membantu para imigran yang
merupakan pengungsi korban dari perang dan para pencari suaka yang memasuki
wilayah negaranya. Australia sendiri merupakan salah satu negara yang juga ikut meratifikasi mengenai konvensi 1951 dan
protokol 1967. Sebagai negara yang menandatangani konvensi dan protokol tersebut,
maka Australia harus bertanggung jawab memathui isi dari konvensi dan protokol
tersebut. Oleh karena hal tersebut maka berdasarkan konvensi 1951 dan protokol
1967, Australia harus memberlakukan rezim yang berlaku dan tertuang dalam
konvensi dan protokol. Yaitu untuk terus berperan aktif dalam melaksanakan
fungsi dan membantu UNHCR untuk memantau dan menjamin terselenggaranya
ketentuan tersebut. Selain itu Australia juga wajib memastikan bahwa konvensi
tersebut diterapkan dengan baik di negaranya dan memberikan hak seta perlakuan
yang sama bagi para pencari suaka yang datang ke Australia.
Gelombang
baru-baru iniyang datang ke Australia adalah adanya manusia perahu yang datang
secara ilegal ke Australia. Australia harus menangani kedatangan para pengungsi
ilegal tersebut karena dibatasi oleh kewajiban Australia dibawah konvensi.
Australia harus memusatkan perhatiannya pada kewajibannya tersebut. Yaitu
mengenai bagaimana perlakuan negara terhadap para pengungsi tersebut baik di
laut maupun di darat mengenai pemberlakuan hukum dan kewajiban pemberian hak
kepada para pengungsi dibawah program kemanusiaan. Pemberlakuan konvensi itu
sendiri baru akan dilakukan oleh Australia saat para pengungsi yang lebih
banyak datang sebagai imigran ilegal dengan menggunakan perahu tersebut telah
memasuki wilayah teritorial negara
penandatangan konvensi, dalam hal ini adalah Australia. Kewajiban inti
yang harus dilakukan oleh Australia adalah memberlakukan sistem non refoulement yaitu tidak mengirim
kembali para pengungsi ke dalam situasi yang membahayakan para pengungsi
seperti mengembalikan mereka ke negara asalnya.
Hal
lain yang harus dilakukan oleh Australia adalah tidak memberlakukan hukuman
kepada para pengungsi yang masuk ke negaranya untuk mencari suaka meskipun
dengan cara ilegal. Namun hal tersebut menjadi sebuah masalah bagi Australia
saat adanya dampak yang timbul akibat dari datangnya para pengungsi ilegal di
Australia, namun Australia harus tetap menangani masalah pengungsi tersebut
karena dibatasi oleh kewajiban Australia di bawah konvensi 1951 tersebut. Meningkatnya
dan tingginya tingkat konflik yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,
menjadikan tingkat imigrasi secara ilegal juga ikut semakin meningkat. Dalam
situasi seperti ini, menyebabkan Indonesia menjadi wilayah transit yang sering
dilalui oleh imigran tersebut.
[1] Poynder, Nicky,
Dalam “Recent Implementation of the
Refugee Convention in Australia and the Law of Accomodations to International
Human Rights Treaties”, Australia Journal of Human Rights. Diakses melalui http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJHR/1995/5.html, Pada tanggal
10 Juni 2015. Hal 3.
[3] Protokol Text 1967 and
Resolution 2198, Diakses melalui http://www.unhcr.org/4ec262df9.html&usg=ALkJrhhO-B-FalvAFnEg83VdeOv8yTuK8w//pdf. Hal 4
[4] United Nations High Commission
for Refugees (2012) Text Convention.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar