Tugas Kelompok dalam isu-isu politik global pasca sarjana HI UGM MAIR 23
“Globalization
refers to a process (or a set of
process) which embodies a transformation in the spatial organization of social
relations and transactions-assessed in the terms of their extensive, intensive,
velocity, and impact-generating transcontinental or interregional flows and
networks of activity interaction and the exercise of power”[1]
Definisi
Held di atas memberikan makna detail betapa globaliasi menciptakan
interdependensi dan keterhubungan (interconnectedness)
dalam berbagai bidang. Proses ini didukung oleh tiga faktor penggerak utama
yang menyebabkan interpendensi dan keterhubungan semakin kuat antar Negara.
Faktor pertama adalah revolusi teknologi menyebabkan mobilitas barang, jasa,
dan manusia menjadi semakin cepat dan tidak memiliki batas territorial (borderless).[2] Kecanggihan teknologi yang
mengurangi biaya transportasi telah menjadi katalis globalisasi ekonomi. Kedua,
Surplus kapital di negara-negara maju mendorong mereka untuk memperluas wilayah
baru yang mampu memberikan pasar, sumber daya produksi dan sasaran investasi.[3] Oleh karena itu
perdagangan bebas digalakan untuk mencari wilayah baru yang menjajikan hal-hal
tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Ketiga, Globalisasi
ekonomi juga didorong oleh apa yang disebut Hecksers dan Ohlin sebagai endowments factors yang berbeda-beda seperti tenaga kerja dan
modal sehingga negara satu dapat bergantung yang lain berdasarkan keunggulan
faktor yang mereka miliki.[4] Beberapa negara memiliki
tenaga kerja yang murah dan melimpah, sedangkan negara lain memiliki modal yang
besar. Tujuan dari hal ini adalah untuk mengurangi biaya produksi dan lebih
kompetitif dalam perdagangan internasional.
Perubahan
signifikan menjadi sebuah konsekuensi mutlak dari Globalisasi ekonomi yang
melibatkan Negara sebagai entitas politik, pasar sebagai entitas ekonomi dan
aktor non Negara yang ternyata berperan sangat krusial dewasa ini. Pertama,
Negara bukan lagi aktor utama dalam ekonomi dan politik, Multinational
Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) menjadi aktor baru dalam
ekonomi politik baik internasional dan domestik. Secara domestik MNC dan TNC
memiliki peran besar dalam pembentukan Undang-Undang yang sarat akan
kepentingan mereka. Privatisasi air menjadi contoh konkret betapa kuatnya lobi perusahaan multinasional sebagai aktor
ekonomi politik di ranah domestik. Perda no 12 tahun 1991 dan surat DPRD no
172/074/09 tanggal 28 Januari 2002 di
daerah Klaten merupakan hasil lobi PT Aqua Danone untuk lebih leluasa
mengeksploitasi sumber air sebanyak-banyaknya demi kepentingan bisnis.[5] Walaupun sumber air yang
digunakan merupakan barang publik yang sangat vital bagi penduduk yang hidup
disekitarnya. Secara internasional, TNC sebagai aktor non Negara mampu
mengkonsilidasi operasi global mereka yang borderless
dalam pasar buruh global yang telah
dideregulasi. Tersedianya buruh murah yang melimpah, sumber daya produksi, dan
kondisi yang kondusif di Dunia Ketiga sangat mendukung mobilitas dan
profitibilitas TNC. Konsekuensi kedua, keterhubungan dan ketergantungan batas
territorial ditunjukan dengan jaringan produksi secara transnasional sehingga
membuat antar Negara harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ekonomi di
suatu Negara agar tidak merambat persoalan ke Negara mereka masing-masing.[6] Dengan kata lain, apa yang
terjadi di sebuah Negara mampu mempengaruhi keadaan Negara lain baik secara
ekonomi, politik, dan sosial misalnya Krisis Finansial 2008. Konsekuensi
terakhir, pasar menjadi kekuatan dominan atas Negara. Negara menjadi agen yang
bergerak atas logika pasar. Beberapa undang-undang merupakan pesanan dari
pemilik modal seperti Undang-undang mineral atau undang-undang pendidikan.
Bahkan mungkin negara adalah pasar itu sendiri dengan konsekuensi setiap urusan
publik harus didasarkan logika pasar dan harus menguntungkan secara ekonomi.
Oleh karena itu dalam rangka pencapaian ekonomi yang maksimal melalui
perdagangan bebas, peran negara harus ditekan sedangkan peran pasar
ditingkatkan.
Berbicara
mengenai perdagangan bebas, banyak para ahli seperti Martin Wolf mengemukakan
bahwa perdagangan bebas mampu menciptakan kemakmuran dan standar penghidupan
yang lebih baik.[7]
Senada dengan Martin Wolf yang optimis mengenai perdagangan bebas, Carr mengatakan
bahwa perdagangan bebas merupakan instrument perdamaian antar negara. Carr
menegaskan sebagai berikut:[8]
“Many wars were fought by states to achieve their mercantilist goals. The aim of
mercantilist itself was not to promote the welfare of community and its member,
but to augment the power of the state, of which the state sovereignty was the
embodiment. Wealth was the source of power or more specifically fitness to war”
Immanuel
Kant secara spesifik menyebutkan perdagangan bebas sebagai instrumen mencapai perdamaian melalui kontak antar manusia dengan latar kebangsaan
yang berbeda dengan kepentingan yang sama.[9] Konsekuensinya adalah
negara akan tergantung dengan negara yang lainnya karena negara akan
menspesialisasikan pada produk yang dianggap memiliki keunggulan komparatif
masing-masing. Dalam menjalanakan perdagangan bebas, senada dengan pandangan
liberal bahwa institusi dibutuhkan untuk memfasilitasi kerjasama termasuk
Perdagangan yang bebas dari hambatan proteksi tariff dan non tariff. General Agreement on Tariff and trade (GATT)
yang dibentuk pada tahun 1947
merupakan institusi yang berfungsi untuk memfasilitasi perdagangan
internasional hingga akhirnya institusi ini berubah menjadi World Trade
Organization (WTO). Fokus utama dari WTO dalam perdagangan bebas adalah
bagaimana tariff dapat ditekan serendah mungkin sehingga perdagangan
internasional dapat berjalan tanpa adanya hambatan.[10] Menurutk kaum liberal,
perdagangan bebas ini dipercaya akan membawa dampak yang baik hingga ke level
masyarakat terutama negara dunia Ketiga. Ada dua alasan utama yang
melatarbelakanginya : Pertama, Penurunan tarif akan membuka peluang masyarakat
dunia ketiga untuk mendapatkan barang-barang luar negeri yang berkualitas
bagus. [11]Kedua, kebutuhan
masyarakat dunia ketiga akan barang-barang asing yang berkualitas akan membuka
peluang perusahaan asing untuk berinventasi di negara dunia ketiga[12]. Asumsi keuntungan yang
didapat dari investasi adalah peluang lapangan kerja dan transfer teknologi.
Asumsi-asumsi
positif mengenai perdagangan bebas tidak lepas
dari kritik. Pertama, perdagangan bebas gagal menciptakan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara miskin karena negara-negara maju diizinkan mengenakan
pajak pada barang-barang produksi negara-negara berkembang yang besarnya empat kali lipat daripada
barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara maju. Stiglizt juga mengemukan
bahwa pandangan pembangunan AS merupakan buah kapitalisme adalah hal yang
keliru sebab pembangunan AS pada kenyataannya didasarkan pada proteksionisme
pada industri- industri yang infantil dan campur tangan negara yang kuat dalam
hidup hajat orang banyak seperti kesehatan, pinjaman, hipotek. [13]Kedua, teknologi yang
ditransfer dari negara maju ke negara berkembang adalah teknologi usang dan
tidak tepat guna. Ketiga, perdagangan bebas yang diharapkan penyerapan tenaga
kerja justru memberikan masalah dengan rendahnya standard gaji buruh di
perusahaan asing-asing tersebut. Hal ini disebabkan MNC atau TNC mencoba
mengeksploitasi endowements factors
dari negara dunia ketiga yakni buruh murah dan sumber daya produksi yang
melimpah.selain itu ketergantungan bahan pangan negara dunia ketiga pada negara
maju menjadi persoalan paling penting yang menyentuh hajat hidup orang banyak.
Liberalisasi pertanian yang ditandai dengan penghapusan tariff impor dan
subsidi pertanian menjadi penyebab dari ketergantungan ini. Dalam paper ini
akan mencoba untuk menganalisa bagaimana posisi
negara sebagai entitas politik dan aktor utama dalam Hubungan
internasional terhadap pasar sebagai entitas ekonomi dalam globalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas dengan studi kasus Liberalisasi pertanian kedelai di
Indonesia
[1] Held, David. & Anthony Mcgrew,
2000,”The Globalization Transformation
Reader an Introduction to the Globalization debate”. Cambridge:Polity press
&Blackwell Publisher
[2] WInarno, Prof. Budi.2011,”Isu-Isu Global kontemporer”. CAPS.
Yogyakarta,hal.33
[4] Oatley, Thomas,2004,”International Political Economy : interest
and institutions in the Global Economy”.New York. Hal23-24
[5] Susilo, Rachmad.Dwi.2012.”Sosiologi Lingkungan & Sumber Daya
Alam”.Ar-ruzz Media, Yogyakarta.hal 130
[6] Steger,Manfred. 2002.”Globalis,:The New market ideology”.
Rowman & litlefied publisher. USA.hal 43
[7] Wolf,Martin. 2007.”Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan”.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.hal 39
[8] Carr, E.H. 1945. “Nationalism and after”.New York. Hal.5-6
[9] Burchil, Scott.2005.” Theories of International Relations”.New
York. Palgrave macmillan. Hal. 63
[10] WInarno, Prof. Budi.2011,”Isu-Isu Global kontemporer”. CAPS.
Yogyakarta,hal.40
[12] ibid hal 41
[13]
Stiglitz,Joseph,2006,”Making
Globalization works”. New York. WW Norton &Company inc.hal 69
knp jadi bisa masuk ke sini ya? pas owner nya disamping lagi -___-
BalasHapus